Rumah Sean jauh lebih besar dari perkiraan Nathan, ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di bangunan belakang dekat hutan buatan yang dijuluki The Nanos basecamp. Menurut Ilham, bangunan itu dihadiahkan untuk Sean saat ia berulang tahun ke sepuluh.
“Lu bawa apa Sat?”
“Mie instan dong. Produk baru nih, belum launching tapi udah gue bawa duluan kesini biar lu semua ngerasa eksklusif” kata Satya menunjuk mie rasa iga sapi.
“Aneh banget pilihan rasanya” komen Cecep heran tapi tidak menolak mie itu.
“Biar anak kos tetap ngerasa oke diakhir bulan karena masih bisa mengkonsumsi iga sapi dalam bentuk mie instan.”
Nathan yang mendengar perkataan itu hanya tersenyum geli, ia keluar ke balkon belakang bergabung bersama Sean dan Atlanta yang sedang berenang. “Loh Ilham mana? Gue kira berenang”
“Tidur. Katanya tolong dibangunin kalo mau makan” jawab Atlanta.
“Nggak turun Nath?” tanya Sean saat Nathan malah duduk di pinggiran kolam, cowok itu menggeleng.
“Nath, Artha itu gimana orangnya?” tanya Atlanta tiba-tiba.
Nathan angkat bahu. “Kenapa nanya?”
“Lu dekat sama Artha. Jangan-jangan Artha suka lu”
“Nggak. Artha emang friendly kesemua orang” geleng Nathan.
“Jadi gimana prosesnya? Udah sampai mana?” tanya Sean naik ke tepian.
“Udah sampe di tuh cewek jual mahal banget. Agak sulit-sulit dikit, tapi gue yakin bener dalam waktu dekat Artha bisa gue taklukan” kata Atlanta ikut naik ke tepian. “Gara-gara Ilham gue sampe harus bohong udah putus sama cewek gue.”
Kening Sean berkerut. Atlanta meringis menjelaskan. “Si bajingan pernah ngasih tau Artha gue ada cewek di Aussie. Gue bilang aja udah putus”
“Ooh.” Sean mengangguk paham.
“Hati-hati, lu suka beneran sama Artha” ujar Nathan serius.
Atlanta langsung menggeleng. “Nggak akan. Gue punya tipe gue sendiri. Cewek gue juga lebih cakep dari Artha”
“Tapi lu greget banget pengen dapetin Artha”
“Demi SIM” jawab Atlanta. “Gue mau ngambil es teh, mau nitip nggak?”
Nathan dan Sean mengangguk. Pandangan Nathan jauh menatap ke arah pohon-pohon di tempat itu. Dari penjelasan Atlanta, di seberang pohon ada danau kecil yang dibangun Papa Sean dan dibiarkan dengan satu orang penjaga, tujuannya biar tidak ada orang yang berkeliaran di sekitaran situ. Rumah Sean sendiri dibangun sejak jaman kakeknya dulu dan seiring berjalannya waktu dipugar sampai seluas sekarang, bahkan keluarga Sean rela menghabiskan bermiliaran rupiah untuk membangun hutan buatan.
“Pohonnya mahal, biasa old money, bingung mau dikemanakan uangnya makanya dibuat jadi pohon. Kalo keluarga Sean punya satu Indonesia, udah jadi hijau negara ini” kata Atlanta tadi sesaat sebelum mereka masuk ke gerbang rumah Sean.
“Rumah lu sepi banget. Ada rusa nggak?” tanya Nathan tiba-tiba. Sean nyengir.
“Bokap gue suka yang hijau-hijau, tapi ini bukan istana negara yang piara rusa”
“Ya siapa tahu. Di rumah ada siapa?”
“Asisten rumah tangga”
“Oh”
“Bokap gue di Paris, minggu depan pulang. Makanya gue ajak kalian nginep disini” jelas Sean tanpa ditanya. Nathan tidak bertanya lagi, tanpa perlu diberitahu Nathan sudah pernah mendengar kisah orang tua Sean yang bercerai berapa bulan lalu, sebagai anak tunggal dan pewaris Sean terpaksa tinggal bersama papanya. “Rumah gue emang sepi”
“Dengan rumah segede ini gue kasihan sama asisten rumah tanggal lu yang harus capek nyapu rumah tiap hari, belum lagi nyapu hutan.”
Sean nyengir. “Biarin Nath, mereka digaji kok..... Dulu rumah ini dibangun bokap pas ngelamar nyokap, karena nyokap gue cinta banget sama alam.....tapi sekarang nyokap pergi” lanjut Sean muram.
Nathan berpaling. “Nyokap lu sekarang dimana?”
“New Zealand”
“Nggak mau ketemu?”
“Liburan semester gue kesitu” jawab Sean, pandangannya menatap jauh ke arah hutan di depannya. Nathan bisa menangkap perasaan sedih muncul dari pancaran mata cowok itu. “Lu kenapa pindah sekolah?”
“Perusahaan bokap gue merger. Beliau nggak mau bolak-balik, jadi semua diboyong pindah.”
Sean menarik napas. “Lu sama Artha sedekat apa?”
“Dia teman duduk gue”
“Gue benci Artha” kata Sean tenang.
Kening Nathan berkerut bingung. Sepengetahuannya Artha anak yang supel dan jarang membuat masalah. “Kenapa?”
“Gue benci aja ngeliat dia senyum atau ketawa-ketawa senang kayak nggak ada masalah”
“Sifat Artha emang gitu”
“Tetap aja gue benci dia” balas Sean bersikeras, wajahnya berpaling menatap Nathan serius. “Gue nggak ngelarang lu berteman dengan Artha, cuman gue pengen lu tau aja gue benci sama cewek itu.”
Gantian Nathan yang menghela napas. “Kalo lu benci Artha kenapa lu nantang Atlanta buat ngedeketin Artha?”
“....”
“Woi, bantuin dong!” teriakan Atlanta membuat kedua cowok itu berpaling. Sean tersenyum kecil tidak melanjutkan perkataannya, ia menepuk pundak Nathan kemudian berdiri membantu Atlanta membawa es teh.
...----------------...
Kelas 2-MIA 1 tampak sepi, aura suram kebingungan terpancar dari raut wajah penghuninya akibat ulangan Kimia dadakan. Satu demi satu menghela napas membaca pertanyaan diatas kertas, nomor demi nomor dikerjakan membuat beberapa siswa menyesal kenapa harus masuk jurusan ilmu sains. Ada yang ingin menangis tapi waktu ulangan terlalu singkat untuk dipakai menangis. Ada juga yang mencak-mencak melihat Pak Tono duduk santai di depan nyengir membaca catatan kimia yang dikumpulkan sebelum ulangan. Tidak nampak keinginan Pak Tono untuk berkeliling dari meja ke meja, sesekali matanya mengawasi namun tidak seketat biasanya, mungkin Pak Tono tahu ulangan hari ini tidak akan ada yang mencontek atau memberi contekan, wong terlihat jelas hampir semuanya tidak belajar! Hanya beberapa murid yang terlihat santai menjawab, termasuk Nathan di pojok belakang terlihat sangat tenang.
“Nath, nulis apa?” senggol Artha pelan sekali. Tanpa diminta Nathan menggeser kertas jawabannya sampai terbaca Artha. “Lah ada tabel? Gue kira cuman jawab Ya atau enggak” ujar Artha bego melihat jawaban nomor tiga Nathan lengkap beserta pembuktian jawaban. Buru-buru cewek itu menyalin dan dari sepuluh soal yang diberikan Artha hanya bisa menjawab delapan, itupun lima diantaranya hasil menyontek Nathan.
“Ayo-ayo dikumpulkan, waktu berpikir sudah habis” perintah Pak Tono tersenyum geli melihat wajah-wajah lemas berebutan mengumpulkan kertas jawaban di urutan terbawah. “Buku catatannya silahkan diambil. Terima kasih atas partisipasi kalian di ulangan kali ini, bapak nggak nyangka kalian cinta banget sama Kimia. Sampai bertemu di gelombang ujian kimia selanjutnya”
“Wuuuuuu” teriak anak sekelas keki mengiringi langkah kaki Pak Tono.
“Tha tadi gimana? Gue sih yakin ulangan kali ini dapat delapan” tanya Cantika mendekat. “Tapi dibagi dua sama Edi”
“Gue yakin lima, nyontek Nathan. Kalo nggak lima gue hajar Nathan” balas Artha cuek.
“Nath, pindah duduk aja. Kasihan elu tekanan mental duduk disitu”
“Mau pindah kemana Tik? Udah penuh semua”
“Tuh dipangkuan Edi” kata Cantika cekikikan geli dan berlalu pergi. Artha menghela napas mengeluarkan komik.
“Tha, gue mau nanya”
“Apa?”
Nathan diam sejenak memperhatikan Artha seksama, sampai kemudian cewek itu mendongak. “Mau nanya apa?”
“Lu kenal Sean dimana?”
“Sean? Sean The Nanos?”
“Iya”
“Di sekolah lah. Dia kan sahabatnya Ilham”
“Pernah ngobrol?”
“Boro-boro, senyum aja nggak pernah. Kan gue udah pernah bilang ke elu, tuh anak kalo ngeliat gue kayak lagi ngeliat setan!”
“Oh, oke,” angguk Nathan semakin tidak mengerti kenapa Sean membenci Artha. Memang itu bukan urusannya, tapi perkataan Sean tempo hari membuat Nathan sedikit tidak tahan untuk tidak bertanya, ia hanya ingin tahu, tapi jawaban Artha membuat Nathan mengambil kesimpulan; Sean membenci Artha tanpa alasan dan Nathan tidak ingin lagi mencari tahu.
“Kenapa nanya?”
“Nggak papa Tha, iseng dong. Lu setelah latihan hari ini mau kemana?” tanya Nathan mengalihkan pembicaraan.
“Pulang, kenapa? Mau ajak gue jalan? Sorry nggak ada duit.”
Nathan nyengir. “Pede lu Tha, gue nanya doang. Penasaran rutinitas lu sehari-hari ngapain aja”
“Kepoan lu ya ternyata” canda Artha. “Gue mau pulang cepat hari ini, mau ngambil jahitan gaun gue yang dikecilin. Oh iya. Kenapa lu nggak nawarin gue numpang sepeda lu? Tempat jahitannya dekat rumah gue”
“Yeuh, emang rumah kita searah?”
“Searah Nath, gue udah lihat didaftar siswa. Rumah lu beda tiga kompleks dari rumah gue” jawab Artha.
“Nggak ah Tha, lu berat keseringan makan batu-bata” geleng Nathan langsung kena geplak Artha.
“Jahat lu, tega biarin cewek jalan sendiri, kalo gue diculik gimana?”
“Nggak ada yang mau nyulik lu Tha, lu makannya banyak bikin bangkrut penculik”
“Ihs” dengus Artha hendak mengeplak Nathan tapi cowok itu buru-buru menghindar dengan tawa geli.
“Iya Tha iya, gue tebengin, tapi jajanin gue es teh ya”
“Yes! Oke Nath. Baik banget sih Nathan Atmaja, kayak malaikat Ridwan” ujar Artha senang.
Nathan ketawa. “Manis banget mulut lu Tha kalo ada maunya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments