“Karena Rita mendadak pindah sekolah, maka dengan ini Sasa resmi diangkat menjadi kapten baru tim putri. Ayo tepuk tangan. Prok prok prok” Sesingkat itu pengumuman dari Pak Imam pelatih club basket sekolah, tapi mampu membuat Sasa melongo dari barisan belakang.
“Lah kok saya pak? Kan ada Artha” protes Sasa setelah tepuk tangan meredah.
“Dih! Lu yang dikasih tanggung jawab malah narik-narik gue, udeh sana lu nikmati rasanya jadi penguasa” dengus Artha mendorong Sasa maju ke depan.
Sasa mendumel cemberut. “Kenapa nggak Artha aja sih pak?”
“Artha masih kecil, jiwa pemimpinnya belum kelihatan” jawab Pak Imam.
“Masih sumbu pendek juga” celetuk Dio dari samping langsung kena tinju Artha. “Lah emang bener, coba deh lu berdua ukuran tinggi. Tinggian Artha tahu”
“Karena kepala Artha gede” tambah Bara. Dio menggeleng tidak setuju.
“Bukan palanya gede, tapi emosinya tinggi” lanjut Dio menimbulkan tawa. Artha korek-korek kuping cuek, sudah biasa menghadapi godaan cowok itu.
“Eh sudah-sudah. Nah Sasa, sebagai ketua baru, ayo pidato”
“Hmm....Baiklah, terima kasih kepada pihak sekolah yang telah memberikan saya kesempatan untuk menjadi kapten tim, meskipun saya juga enggak paham kenapa harus saya, tapi tetap saja saya bersyukur untuk kepercayaannya, kedepannya kalo saya masih dipercaya terus mungkin saya akan buat sekte baru dimana saya adalah pusatnya. Oh iya, tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih untuk rakyat jelata di depan saya ini, makasih ya udah pilih saya” kata Sasa langsung mendapat sorakan wuuu, Sasa nyengir lebar lanjut berpidato. “Kedepannya saya berharap tim putri mainnya makin bagus, makin oke, makin kompak, dan kalo kita kalah salahin Artha. Sekian pidato dari saya, apakah ada pertanyaan? Tidak ada, oke baik, saya pamit.”
Teman-temannya cekikikan geli, Sasa itu memang terkenal cerewet dan gokil, jadi tidak heran lagi kalau ia suka nyerocos sembarangan saat diberikan kesempatan untuk berbicara di depan umum. Setelah Sasa selesai berpidato Pak Imam lanjut memberikan beberapa pengumuman mengenai pertandingan basket antar sekolah yang akan diadakan beberapa bulan lagi, termasuk pantangan anak basket sebelum memulai pertandingan nanti seperti misalnya main hujan, mandi di comberan, nyolong jambu tentangga, dan berbagai perbuatan yang melanggar norma masyarakat.
“Ibarat kuman, jangan mau terlalu bau. Sampai bertemu di gelombang rapat selanjutnya” ujar Pak Imam asal sembari melambaikan tangan.
“Sasa dan Artha itu anak emasnya Pak Imam untuk tim putri, makanya kali ini pemilihan kapten nggak pake tes dulu.” kata Atlanta pada Nathan saat mereka menyusuri koridor lantai satu.
“Sehebat apa?”
“Sehebat bisa buat tim lawan kewalahan 50-3. Bahkan selama pertandingan musim kemarin Pak Imam duduk manis ketawa-ketawa ngeliat tim lawan kewalahan ngadepin tim putri sekolah. Minggu depan kita ada jadwal tanding campur, lu bakal lihat sendiri kemampuan dua orang itu”
“Kalo di tim putra? Siapa anak emasnya?”
“Kak Rangga, tapi udah lulus, tahun ini sih nggak kelihatan, tapi main kita lumayan, meskipun harus kalah di final tahun kemarin.”
Nathan mengangguk-angguk paham, mengambil sepedanya dari parkiran. “Ngomong-ngomong...Lu serius mau taruhan sama Sean?”
“Iya. Kenapa? Lu mau ikutan?”
“Kata Satya lu ada cewek di Australia”
“Yaelah Nath, ini cuma taruhan biasa, gue nggak berniat pacaran sama Artha, ini murni karena gue pengen menang aja. Tampang Artha emang lumayan, tapi nggak secantik itu sampai bikin gue klepek-klepek.”
Nathan geleng-geleng. “Hati-hati karma, sakit hatinya cewek itu kayak neraka.”
Atlanta ketawa geli mengayuh sepedanya keluar dari area sekolah. “Lu tenang aja. Gue pasti bakal menangin taruhan ini.”
...----------------...
Berteman dengan Artha ternyata sangat menyenangkan. Cewek mungil itu punya kepribadian yang bertolak belakang dengan wajah datarnya. Artha supel, lucu, dan sering melemparkan candaan sarkastik yang kerap kali membuat Nathan terpingkal-pingkal, bahkan meskipun Artha sering diledek Cecep cewek itu selalu terlihat anteng membalas candaan Cecep.
“Tha, lu kalo pake lipstik merah gitu kayak tante-tante yang sasak rambutnya setinggi monas” ledek Cecep iseng ketika melihat Artha jadi bahan uji coba lipstik Cantika.
“Lah niat gue dandan gini kan biar bisa gaet bapak lu”
“Ih amit-amit! Nggak sudi gue punya emak kayak lu. Cuih, najis”
“Biarin! Kalo bokap lu cinta sama gue, lu bisa apa?”
Cecep ketawa geli menjitak kepala Artha gemas. “Nggak sudi Tha, mending gue dicoret dari kartu keluarga daripada punya emak kayak lu”
“Lah gue kalo jadi nyokap lu, gue baik banget. Tiap pagi lu bakal gue kasih makan roti dan minum jus, siangnya nasi kuning, malamnya tulang ayam”
“Emang gue anjing?” cibir Cecep berlalu pergi.
“Punya tisu nggak?” tanya Artha berpaling pada Nathan yang sejak tadi cekikikan geli melihat tingkahnya dan Cecep. Nathan menggeleng lugu menyodorkan penghapus, Artha mendengus. “Tik, lipstik lu ngontrak! Jelek banget lagi warnanya. Woi Edi minta tisu, kalo nggak kehapus juga gue hapus pake bensin” dengus Artha mengambil tisu milik Edi, si cowok cantik yang barang bawaannya selengkap toko kelontong.
“Norak lu Tha, lipstik ini punya nyokap gue, mahal, jadi harus gue betak, nggak ngerti make up lu!” bela Cantika.
“Udah ilang kan?” tanya Artha pada Nathan, cowok itu mengangguk. Setelah itu terdengar bel berbunyi, tanda pelajaran berikutnya dimulai. Beberapa anak buru-buru mengambil buku biologi dan berlari kencang menuju lab, termasuk Artha dan Edi yang sedang rebutan tempat paling pojok belakang melawan Cecep.
“Tha, jangan mau kalah ntar kalo paling depan kita ditanya-tanya Bu Roma” jerit Edi panik melihat Cecep berlari kencang. Saat sedang berlari tidak sengaja tubuh Artha bertabrakan dengan bahu seseorang. Bruk. Artha jatuh ke belakang, beruntung sebagian tubuhnya ditahan Edi, kalau tidak mungkin kepala Artha akan bocor terkena lantai koridor.
“Wadow! Sakit banget!” pekik Artha kesakitan. Ia mendongak mendapati Sean, cowok 2-MIA 3 menatapnya. Tanpa perlu diberitahu Artha langsung tahu Sean yang telah membuatnya terjatuh. Tapi aneh, bukannya membantu atau meminta maaf cowok itu malah melengos dan berlalu pergi. Artha bengong menatap kepergiaan Sean sampai menghilang dari tangga menuju lantai dua.
“Dasar cowok kurang ajar!” teriak Artha sekencang mungkin. Tapi Sean cuek bebek saja terus berlalu.
“Tha, Tha, udah, yuk cabut, keburu tempatnya diambil Cecep. Lu marahnya setelah kelas biologi aja” ujar Edi menengahi. Artha mendengus terpaksa mengikuti Edi dengan tampang tertekuk.
“Sean babi!” maki Artha untuk terakhir kali menatap ke arah belakang dengan pandangan benci.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments