TINGGAL SENDIRI

“Permisi,” kata Ale begitu memasuki ruang OSIS.

Tampak di sana hanya ada Gabriel seorang yang tengah membaca beberapa berkas. Mungkin itu adalah catatan dari beberapa anak yang sering tertangkap oleh razia OSIS.

“Ada apa, Gab?” tanya Ale begitu duduk di kursinya, di sebelah Gabriel.

“Tugas lu udah kelar?” tanya Gabriel balik.

“Tugas yang mana?” tanya Ale seraya mengercitkan dahinya.

“Pertama, tugas lu buat rekap anak-anak yang sering kena razia,” jawab Gabriel sambil menunjukkan satu jarinya.

“Kedua, tugas lu buat menyusun kerangka proker yang belum selesai,” tambah Gabriel juga mengangkat dua jarinya.

“Tiga, tugas proyek video lu yang pidato,” lanjut Gabriel menunjukkan tiga jarinya.

Ale terdiam. Merasa aneh, mengapa ia melupakan tugas tersebut? “Astaga,” gumamnya.

“Why?” tanya Gabriel.

“Sorry, Gab. Gua lupa,” jawab Sila menatap Gabriel penuh harap.

“Kesambet apaan lu?” tanya Gabriel heran.

“Biasanya lu paling rajin kalau soal tugas. Terus juga satu lagi nih ya, enggak biasanya lu lupa sama tugas OSIS,” timpal Gabriel lagi.

“Ya gimana? Namanya juga manusia,” kata Ale santai.

“Lu mau bikin video kapan?”

“Gua juga belum buat. Kita kan satu kelas tu kan, bikin aja barengan,” usul Gabriel.

“Seriusan?” tanya Ale tak percaya.

“Bohongan,” jawab Gabriel sekenanya.

“Ishh,” kesal Ale menggaplok lengan kekar Gabriel.

“Eh santai dong. Oke, gua serius. Deadline kan nanti malam. Ya udah nanti sore buat,” kata Gabriel sambil mengusap bekas pukulan Ale. Rasanya lumayan juga di lengan kekar miliknya.

“Di mana?”

“Rumah lu gimana? Biar gua bisa main.”

“Boleh, nanti gua sharelok,” jawab Sila kemudian bangkit dari duduknya.

“Gua ke kelas dulu,” pamitnya seraya menutup pintu.

Gabriel hanya mengangguk kemudian ia segera merapikan berkas-berkas tadi dan mengikuti Ale untuk ke kelas.

***

Sepulang dari sekolah, mobil Honda Jazz merah milik Ale mulai membelah jalanan. Dengan kecepatan sedang dan nyanyian lagu-lagu POP kesukaannya, ia mengemudikan mobilnya.

Sesampainya di tempat tinggalnya, Ale segera memarkirkan mobilnya. Ia segera mandi dan membersihkan diri. Tak lupa ia juga menyuruh Mbak Ela untuk menyiapkan makan siang untuknya. Bukan siang sebenarnya, karena jam sudah menunjukkan pukul 16.00.

Selesai dengan urusan mandinya, Ale segera bersiap. Hanya memakai kaos santai dan celana selutut yang senantiasa menemaninya di tempat tinggalnya.

“Oh, ya, lupa,” katanya seraya mengambil benda pipih berlogo apel tersebut.

Jemari lentiknya mencari nomor seseorang dan mulai mengirimkan sesuatu.

“Apartemen White Jasmine lantai no. 7 unit ke 15,” tulisnya.

Ale kemudian turun ke meja makan untuk mengisi perutnya yang sudah berbunyi sedari tadi.

“Oke. Gua otw sekarang,” balas seseorang dari seberang sana.

Saat Ale sampai di meja makan, ia segera menarik kursi. Benda pipih yang ada di genggamannya menyala menunjukkan ada notifikasi.

-Gabriel Ketos- nama id notifikasi itu.

Tak menjawab, Ale mulai mengambil nasi, sayur dan lauk untuknya makan.

“Tadi, Mbak buat kue kamu mau coba?” tawar Mbak Ela menghampiri Ale di meja makan.

“Boleh. Tapi nanti saja, Mbak. Nanti ada teman Ale mau ke sini,” jawab Ale seraya mengunyah makanannya.

“Siapa?” tanya Mbak Ela penasaran.

“Cowok apa cewek? Apa Viola?”

“Cowok. Nanti, Mbak Ela juga tahu,” jawab Ale yang sudah selesai dengan urusan makannya.

Ale segera menuju dapur untuk mencuci piringnya. Memang sudah kebiasaannya untuk mencuci bekas makannya. Begitu pula dengan Mbak Ela yang langsung membersihkan sisa makanan dan menyimpannya di lemari.

Ale tengah mempersiapkan beberapa peralatan untuk membuat tugas proyeknya. Namun, bel apartemennya terus berbunyi sedari tadi. “Sebentar,” sahut Ale berjalan membuka pintu.

Begitu pintu terbuka, muncullah lelaki berpostur tegap yang tetap terlihat berwibawa meski hanya memakai kaos biasa dan celana panjang.

“Eh Gabriel. Masuk, Gab,” kata Ale mempersilakan Gabriel masuk.

Gabriel pun mengekor di belakang Ale untuk memasuki apartemennya. “Mau minum apa?” tanya Ale begitu Gabriel duduk di sofa.

“Apa aja,” jawabnya.

“Es cokelat mau?”

“Boleh.”

“Oke. Bentar, ya,” kata Ale berlalu ke dapur guna meminta tolong pada Mbak Ela.

“Lu tinggal sendiri?” tanya Gabriel begitu melihat Ale kembali datang.

“Sama, Mbak Ela,” jawab Ale seraya duduk di sebelah Gabriel.

“Oh jadi ini, tamunya?” tanya Mbak Ela yang datang sambil membawa dua gelas es cokelat dan camilan.

“Iya, Mbak,” jawab Ale.

“Gab, kenalin ini Mbak Ela, asisten rumahku, asisten pribadiku juga udah seperti kakakku,” kenal Ale pada Gabriel.

“Dan Mbak Ela, ini Gabriel, teman sekelas Al,” kenal Ale pada Mbak Ela.

“Hai, Mbak,” sapa Gabriel.

“Halo,” balas Mbak Ela.

“Diminum dulu,” kata Mbak Ela mempersilakan.

“Kamu beruntung, Gab. Karena jadi yang pertama diajak Al ke sini,” kata Mbak Ela yang kini sudah duduk di sebelah Ale.

“Maksudnya?” tanya Gabriel bingung.

“Ale kan baru pindah ke sini. Ya sekitar tiga bulanlah, selama ini enggak ada yang tahu kalau Ale pindah. Kecuali Viola emang,” jelas Mbak Ela.

“Oh,” Gabriel ber-oh ria.

“Kalau Ale rada bandel maklum in, ya, emang gitu anaknya. Bawaan dari bapaknya,” ujar Mbak Ela membercandai.

“Ishh, Mbak Ela apa-apaan sih,” protes Ale tak terima.

“Ga usah bawa-bawa Papa, deh,” tambah Ale merasa kesal dengan Mbak Ela.

“Ga usah cemberut gitu kali. Iya maaf,” kata Mbak Ela beranjak pergi.

“Kalian lanjut gih nugasnya. Mbak mau istirahat dulu,” kata Mbak Ela langsung menghilang ke kamarnya.

***

Sepeninggalan Mbak Ela, Gabriel dan Ale mulai fokus mengerjakan tugasnya. Tak ada kecanggungan di antara mereka. Bagi Ale, teman hanyalah teman. Mencintai adalah suatu hal yang asing baginya. Bahkan tabu sebelum ia benar-benar mewujudkan mimpinya.

“Lu nyaman gitu tinggal di sini?” tanya Gabriel saat tugas mereka sudah selesai.

Kini keduanya sedang menikmati camilan dan beristirahat.

“Nyaman sih. Banget malahan,” jawab Ale.

“Alasan lu pindah kenapa? Bukannya rumah lu di Perum Merdeka juga luas?” tanya Gabriel penasaran.

“Panjang si ceritanya. Cuman gua bosan aja sama lingkungannya. Pengen sendiri,” jawab Ale sekenanya.

“Oke. Gua paham, anak sultan ma bebas.”

“Ck,” Ale hanya berdecak menanggapi perkataan Gabriel.

Baginya kekayaan orang tuanya tidak berarti baginya. Mengenai alasan Ale tinggal di apartemen karena ia merasa jenuh berada di lingkungan perumahan elitenya yang selalu saja mengagung-agungkan nama Mrs. Melina seorang desainer kondang yang bisnisnya sampai luar negeri. Juga Mr. Alex seorang pembisnis properti yang sukses. Tak ayal bila Ale selalu diperlakukan spesial oleh mereka-mereka yang mengidolakan orang tuanya.

Juga mengenai masalah lain agar ia bisa menghindar dari seseorang. Begitu pula Mbak Ela yang setia menemani Ale. Mbak Ela secara khusus memang ditugaskan untuk menjaga Ale sebagai ganti kedua orang tuanya yang selalu sibuk.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!