"Kenapa kamu kerja, Mala?" Tanya Bu Resti sedikit menekan. "Apa Deva tidak memberimu uang?"
Mala menggelengkan kepalanya, wanita ini mengatakan tidak.
"Mas Deva kasih aku uang, tapi aku merasa bosan saja di rumah makanya aku kerja." Jawab Mala yang berbohong.
Bu Resti menghela nafas pelan, sebenarnya ia tahu jika Deva tidak memberi nafkah untuk Mala.
"Ambil uang ini untuk kamu, setiap bulan mama akan kasih kamu uang. Masalah kamu kerja atau enggak, itu hak kamu dan mama nggak bisa melarang kamu."
"Terimakasih, ma!" Ucap Mala.
"Pandai-pandai mengambil hati suamimu. Mama dan David sedang mencari rumah sakit terbaik yang bisa mempercantik wajahmu kelak."
"Kalau pun ada, sudah pasti butuh biaya yang sangat besar. Iya kan, ma? Apa lagi Dokter bilang jika kedalaman luka bakar di wajahku hampir sembilan puluh persen dan bahkan tulang pipi saja nyaris terlihat."
"Jangan bicara seperti itu, Mala. Setiap penyakit ada obatnya, masalah uang jangan dipikirkan." Ujar bu Resti yang berusaha menyakinkan. "Apa yang kamu lakukan untuk mama tidak sebanding dengan nyawa yang kamu pertaruhkan."
Mala tersenyum mendengarnya, sejak wajahnya rusak, gadis ini tak pernah lagi mengangkat wajahnya. Bu Resti pun pamit pulang, meskipun caranya salah, tapi sesuatu yang sedang bu Resti sembunyikan.
Mala melirik jam yang yang menempel di dinding, gadis ini bergegas berangkat kerja. Selain menjadi tukang sapu, Mala juga bekerja sebagai pencuci piring. Gadis ini tidak memilik teman, sejak wajahnya rusak semua orang menjauhi dirinya.
Sedangkan Deva hanya sibuk dengan kekasihnya, wanita yang begitu manja dan selalu menuntut ini dan itu pada Deva. Bahkan saat bekerja saja, Melia selalu ada di dalam ruangan Deva.
David masuk ke dalam ruangan adiknya, pria ini memasang wajah yang sangat dingin bahkan tak membalas sapaan dari Melia.
"Sebenarnya apa kepentinganmu di kantor ini?" Tanya David pada Melia.
Melia bingung ingin menjawab apa? Wanita ini melirik Deva untuk meminta pembelaan.
"Mas, jangan ganggu dia." Tegur Deva.
"Ingat Deva, kau sudah menikah. Tidak baik jika seorang laki-laki beristri menjalin hubungan dengan wanita lain." Ucap David memperingati. "Mulai besok dan seterusnya, aku tidak ingin melihat dia ada di kantor atau pun berkeliaran tidak jelas di perusahaan ini."
David pun keluar dari ruangan adiknya. Setelah David keluar, barulah Melia berani marah-marah bahkan wanita ini berani melempar gelas tepat di hadapan Deva.
"Kau menikah belum ada satu bulan, aku sudah tidak tahan lagi. Cepat ceraikan perempuan cacat itu...!" Pinta Melia dengan nada tinggi.
"Aku tidak akan menceraikan dia sampai mamaku mengeluarkan pembagian ahli waris. Sabarlah, sayang. Aku akan membuat perempuan itu yang angkat kaki dari pernikahan ini." Ucap Deva yang berusaha menyakinkan.
Melia menghela nafas pelan, ia tidak mungkin melepaskan Devanio yang terkenal dari keluarga kaya raya. Deva pun mengantar Melia pulang ke apartemennya setelah itu barulah dia kembali ke kantor.
Sekali lagi Deva harus berhadapan dengan kakaknya. Pria ini sebenarnya merasa sangat malas sekali.
"Kau sudah dewasa, Deva. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun. Jangan bertingkah seperti anak kecil."
"Berhenti menasehatiku, mas. Aku menjadi seperti ini karena mama!"
"Lebih baik kau menikah dengan perempuan cacat dari pada kau harus menikah dengan Melia. Kau tahu sendiri jika mama tidak akan pernah merestui hubungan kalian."
"Terserah apa kata kalian, aku tidak peduli. Bagiku Melia adalah wanita yang paling aku cintai dan dia adalah perempuan baik-baik." Ucap Deva kemudian keluar dari ruangannya sendiri.
David membuang nafas kasar, harus bagaimana lagi caranya agar Deva membuka mata agar ia bisa melihat siapa Melia yang sebenarnya?
Siang telah berganti malam, tepat pukul delapan malam Mala pulang. Seperti biasa ia akan menggunakan sepeda yang selama ini selalu setia menemani dirinya. Tiba-tiba saja.....
Tiiiiiit...... suara klakson yang begitu nyaring membuat Mala terkejut hingga membuat dirinya kehilangan keseimbangan lalu jatuh. Mala merintih kesakitan, tapi ia mendengar suara gelak tawa dari dalam mobil. Dia lah Deva, pria ini merasa sangat puas sudah mengerjai Mala.
"Rasain tuh. Emang enak? Mati aja sana sekalian." Ucap Deva dengan kata-kata kasarnya.
Mala hanya diam, bukan tak ingin melawan, hanya saja gadis ini malas untuk berdebat. Mala mendirikan sepedanya kemudian pulang sambil menuntun sepeda sedangkan Deva sudah melajukan mobilnya sampai ke rumah.
Sesampainya di rumah, Mala melihat Deva yang sedang berdiri di ambang pintu sambil melipat kedua tanganya di dada.
"Aku memperingatimu, awas saja jika kau mengaku sebagai istriku. Sekali pun kita berpapasan di luar sana, jangan pernah menegurku. Hai perempuan cacat, aku jijik melihatmu. Apa kau mengerti?"
"Ya, aku sangat mengerti...!!" Jawab Mala.
"Satu lagi, jangan pernah mengadu apa pun pada mama dan mas David. Jika tidak, kau akan tahu akibatnya." Ucap Deva memperingati.
"Ya. Aku mengerti...!" Jawab Mala yang sudah tidak tahu lagi ingin menjawab apa.
Devan yang merasa geram justru menjorokkan Mala hingga membuat gadis ini jatuh ke lantai. Sekali lagi Deva tertawa, baginya Mala sangat pantas untuk di siksa.
Malam telah berganti pagi, Deva yang baru saja bangun merasa perutnya keroncongan saat ia mencium aroma masakan yang sangat menggugah selera. Pria ini pun bergegas turun ke lantai bawah untuk melihat siapa yang memasak.
Tapi, saat Deva memasuki ruang makan, hanya ada beberapa makanan yang terhindang tiada satu orang pun di sana. Deva manggut-manggut, pria ini mencicipi makanan tersebut.
"Perempuan cacat itu ternyata bisa masak juga." Ucap Deva setengah tertawa.
Tanpa berpikir panjang Deva langsung melahap makanan tersebut. Ia tahu jika Mala yang memasak, selama tidak melihat wajah Mala, maka ia akan memakannya.
Mala mengintip dari dapur, gadis ini tersenyum tipis. Meskipun hubungannya dengan Deva sangat buruk, setidaknya Deva masih mau makan masakan darinya.
Selesai makan, Deva kembali ke kamarnya untuk mandi setelah itu berangkat ke kantor. Pria ini memang seperti anak kecil karena sejak kecil sudah biasa dimanja oleh almarhum papa-nya.
"Sayang....!!" Panggil Melia dengan nada pelan hingga membuat Deva merasa sangat terkejut.
"Astaga sayang. Ngapain sembunyi di situ?"
"Kupikir kakakmu, makanya aku sembunyi di sini."
Hidup Melia bak benalu, wanita selalu menempel pada Deva. Bahkan untuk biaya sewa apartemen dan makan sehari-hari pun di tanggung oleh Deva.
Wanita ini enggan untuk bekerja padahal ia sendiri lulusan sarjana. Sarjana pun dibantu oleh Deva karena memang latar belakang Melia berasal dari keluarga yang kurang mampu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
🥀⃟ʙʀ🇹ᴿᴵᴱ 𝓓𝓮𝔀𝓲ˢⁿ᭄🌀🖌:
jangan mau di intimidasi Mala, kamu kalau diam saja pasti di injak injak harga diri mu
2023-04-06
1
🥀⃟ʙʀ🇹ᴿᴵᴱ 𝓓𝓮𝔀𝓲ˢⁿ᭄🌀🖌:
GK punya hati kamu Deva, belum aja kena karma kamu
2023-04-06
1
lovely
Mala Melia bingung🥺
2023-03-13
1