Cara paling mudah supaya tidak sakit hati adalah jangan terlalu berharap kepada sesuatu yang tak pasti.
.
.
.
Melihat pagar mansion, jantung Isabell mulai berulah, meletup-letup tidak karuan. Sebentar lagi, hanya dalam hitungan menit, ia akan bertemu dengan Austin. Pria yang selalu ia sebut namanya sebelum ia memejamkan mata setiap malam. Tangannya mulai berkeringat, sungguh ia merasa sangat gugup. Berulang kali ia merapikan rambut yang sudah sejak awal disanggul rapi. Tidak sehelai pun anak rambut yang keluar dari ikatannya. Menyadari gerakan unfaedahnya tersebut, Isabell beralih ke gagang kacamatanya.
"Kita sudah sampai," Alena Willson mengumumkan seraya menyentuh pundaknya. Isabell menelan saliva sebelum menganggukkan kepala. Pintu pagar bergerak terbuka. Tidak ada yang berubah sejak satu tahun yang lalu. Ya, tahun lalu terakhir kali ia datang ke sana dan tidak bertemu dengan Austin sama sekali. Pria itu tidak terlihat di pernikahan saudarinya. Sebuah tanda tanya di benaknya, tapi ia tidak memiliki keberanian untuk bertanya.
Isabell memperhatikan penampilannya, sedikit menyesal kenapa ia tidak mengganti seragam bekerjanya. Seragam yang terdiri dari rok juga kemeja. Bagi rekannya, seragam itu terlihat indah juga sangat cocok saat mereka kenakan, tapi terlihat berbeda saat ia yang mengenakannya.
Rok yang harusnya digunakan sedikit di atas lutut dan dipadukan dengan stoking, ia kenakan dengan cara berbeda. Ia bahkan tidak mengenakan stoking sama sekali. Roknya tidak memamerkan paha juga bokongnya. Rok itu hampir menutupi seluruh kakinya. Tidak bisa bisa dikatakan rok panjang juga karena ujungnya berhenti dia pertengahan betis.
"Silakan, Nona."
Isabell tersentak kaget saat pintunya dibuka oleh sopir dan mempersilakannya dengan sopan untuk turun.
Ada dua mobil sport yang parkir di halaman. Melihat hal itu, jantungnya yang tadinya sudah normal berulah lagi. Ia menebak jika salah satu mobil sport itu pastilah milik Austin.
"Ayo, Sayang." Alena Willson menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam rumah. Para pelayan langsung menyambut kedatangan mereka. Kopernya langsung diambil alih dan dibawa ke lantai tiga sesuai perintah calon ibu mertuanya.
"Aku tidak melihat Daddy," juga Austin, imbuhnya dalam hati.
"Mungkin Daddy belum menyadari kedatangan kita. Mom akan memanggilnya. Mungkin kau juga sebaiknya membersihkan diri sebelum kita bertemu di meja makan untuk makan malam."
Apa yang dikatakan calon ibu mertuanya itu benar juga. Ia akan terlihat lebih segar saat bertemu Austin nanti.
"Baiklah, Mom. Aku juga merasa sangat gerah."
"Kopermu sudah diantar ke kamarmu. Kau tentu masih ingat kamar yang kau tempati, bukan?"
Isabell menganggukkan kepala. Kamarnya ada di lantai tiga. Ia tinggal mencarinya nanti.
"Setengah jam lagi kita akan bertemu kembali."
Isabell menaiki anak tangga. Memperhatikan setiap figura yang ada di sana. Austin memiliki dua orang kakak. Darren dan Lexi. Dengan Lexi, ia berteman dekat. Sementara Darren, mereka tidak sering bertemu, tidak pernah berkomunikasi. Terakhir kali ia melihat calon iparnya itu satu tahu lalu dalam keadaan terluka. Kakinya tertembak.
"Apakah dia juga ada di sini?" ia bergumam seraya melanjutkan langkah. Kemudian ia berhenti di depan figura lainnya. Foto pernikahan Lexi bersama suaminya. Suami kedua yang juga merupakan temannya. Steven Percy. Pria yang pertama kali dikenalkan kepadanya sebelum keluarga Willson. Ayah angkatnya pernah secara khusus melamar Steven untuk menikahinya. Dan sekarang mereka berteman baik. Ia memuja pasangan itu. Pasangan yang saling mencintai satu sama lain.
Isabell sampai di ujung tangga. Keningnya berkerut bingung. Ke arah mana ia harus pergi. Kanan atau kiri. Ia lupa.
"Kanan biasanya jalan yang lurus," pun ia melenggang santai. Ada empat pintu di lantai tiga. Ia ingat jika kamar yang ia tempati bukan pintu paling ujung. Tapi ia meragu untuk masuk begitu ia berdiri di depan pintu ke dua.
Isabell memindai sekitar, berharap jika ada salah satu pelayan yang lewat untuk bertanya dimana tepatnya kopernya di bawa. Tapi sepertinya semuanya sedang sibuk dengan tugas masing-masing mengingat jam makan malam akan segera tiba.
"Sepertinya tidak ada orang. Aku tinggal memeriksanya." Perasaan Isabell tidak nyaman saat tangannya menggenggam handle pintu. Perasaan tidak nyaman itu ia definisikan sebagai kegugupan karena akan bertemu dengan Austin.
Isabell mendorong pintu kamar. Hal pertama yang ia lihat adalah ranjang dengan ukuran besar yang dibalut dengan seprei dark grey yang senada dengan warna yang mendominasi ruangan tersebut. Tidak banyak pernak pernik yang terlihat sehingga ruangan itu terlihat sangat luas.
Perlahan, kakinya melangkah masuk. Tidak ada foto yang dipajang di sana sehingga ia tidak yakin siapa pemilik kamar tersebut. Pun ia segera melintasi ruangan untuk mencari kopernya yang entah berada di mana.
Berkeliling sebanyak dua kali, ia tidak melihat keberadaan koper pinknya sama sekali. Di mana benda itu?
"Mungkin dilemari." Isabell melangkah lebar menuju lemari pakaian. Dengan semangat, ia menggeser pintu lemari. Dahinya seketika mengernyit ketika menemukan isi lemari yang dipenuhi dengan pakaian pria.
"Harus kuakui pijatanmu sangat enak."
Tubuh Isabell mendadak kaku begitu mendengar suara berat seseorang. Siapa itu? Apakah Austin?
"Jangan ragukan kemampuanku," suara bariton lainnya menyusul.
Ada dua pria! Batinnya menjerit.
"Aku melihat tanda lahir di selangkaanganmu." Kelakar pria itu diiringi tawa renyah.
"Pengintip!" Sahut pria lainnya dengan nada tidak acuh.
"Apakah masih ada tanda lahir yang belum kulihat? Ah, atau mungkin itu bukan tanda lahir melainkan tanda keliaran. Aku harus memastikannya!"
"Stop! Singkirkan tanganmu!"
"Aku penasaran."
"Enyahlah!"
"Kenapa kau mendadak pemalu begini? Kita sudah melakukan banyak hal di dalam toilet."
Seketika Isabell terbatuk-batuk membuat kedua pria itu terkejut dan menyadari kehadirannya.
"Lexi?"
Panggil salah satu pria tersebut.
"Lexi tidak akan masuk ke kamarku tanpa permisi dan Steven tidak akan membiarkan istrinya menyanggul rambut indahnya, juga Lexi tidak akan mengenakan pakaian buruk seperti itu. Hei, penyusup! Siapa kau?"
Isabell tidak sanggup untuk berbalik. Kata-kata pria itu sedikit melukainya. Pakaian buruk. Ia tidak akan sanggup menahan tangis jika pria yang mengatakan hal blak-blakan tersebut adalah tunangannya dan ia tidak memiliki keberanian untuk menatap wajah Austin.
Sebuah tangan kekar menyentuh bahunya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Kemudian dengan gerakan memaksa, pria itu memutar tubuh Isabell.
"Ka-kau?" Sakit hati yang ia rasakan tadi berubah menjadi kemarahan. Beraninya pria itu mengejek caranya berpakaian.
Darren menukik alisnya, kemudian bergumam malas. "Ya, aku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
~Kaipucino°®™
😱😱😱😱😱
2023-03-23
0
~Kaipucino°®™
😉😉😉😉😉😉
2023-03-23
0
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Darren...
kamu ngapain d toilet sama pisang ..🤣🤣🤣🤣
2023-02-15
1