"Ibu, kamu tungguin Mala ya. Kasian dia sendiri tidak ada temannya. Doni mau kerja." pamit Doni saat keduanya tengah menikmati sarapan pagi di restoran dekat rumah sakit.
"Apa! Enak saja, kok ibu sih yang di suruh jagain Mala. Kalau dia ingin pipis atau lainnya gimana? Ibu kan tidak kuat mengangkat tubuhnya. Bukan kah di rumah, ia memiliki banyak pembantu. Suruh saja mereka kesini. Biar ibu tidak capek mengurusnya." sanggah ibu dengan ketus.
"Benar juga apa yang ibu katakan." Doni tersenyum, lalu menelpon nomor telepon rumah Mala.
"Hallo bi. Ini Doni. Tolong bibi segera ke rumah sakit Cempaka untuk menemani Mala. Jangan lupa bawa baju ganti. Soalnya aku tidak tahu berapa lama Mala
di rawat di rumah sakit." setelah asisten rumah tangga menjawab, Doni pun mematikan teleponnya.
Keduanya kembali menikmati sarapan pagi dengan lahap, tanpa mempedulikan Mala.
Sedangkan di dalam ruang perawatan, dengan di bantu oleh petugas yang mengantar makanan, Mala duduk untuk sarapan pagi seorang diri.
Air matanya mengalir begitu saja ketika kembali teringat dengan kedua orang tuanya yang telah tiada.
Bahkan untuk sekedar mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya saja, ia tidak bisa. Karena kemarin ia belum sadar.
"Tuhan, berikan aku kekuatan. Agar aku bisa tabah melewati ujian dari-Mu." gumamnya lirih.
"Nona yang sabar ya. Jangan terus menerus bersedih. Sebaiknya segera habiskan makanannya. Habis itu minum obat, agar segera sembuh." ujar petugas pengantar makanan menasehati.
Mala mengangguk, menghapus air mata yang sempat meleleh, dan berusaha mengulas senyum pada wanita dihadapannya.
Dengan tidak berselera, Mala menyuap makanan ke mulutnya. Hanya beberapa kali suap, ia meletakkan piringnya di atas nakas, lalu meraih obat yang telah disediakan.
"Non Mala." ucap bibi ketika membuka pintu dan melihat Mala tengah duduk seorang diri.
Wanita sepuh itu segera mendekat ke arah majikannya dan memeluknya. Keduanya menangis bersamaan.
"Non, harus sabar, harus kuat. Bibi yakin, non Mala bisa melewati semua ini." ucap bibi sambil menghapus air mata di wajah Mala. Wanita itu pun mengangguk sambil menyunggingkan senyum.
"Oh iya, mas Doni kemana non?" bibi menyapu ke seisi ruangan, namun tidak menemukan orang yang tadi menelponnya.
"Entahlah bi, bangun tidur sudah tidak ada mas Doni disini. Mungkin sedang mencari sarapan pagi bersama ibunya. Kasian mereka sudah menunggu Mala sejak kemarin siang."
Bibi manggut-manggut mendengar penjelasan majikannya.
"Oh iya, bibi kesini bawa tas besar sekali. Memangnya mau kemana?"
"Ini tadi mas Doni menelpon bibi, menyuruh kesini cepat-cepat. Katanya disuruh nungguin non Mala. Soalnya mas Doni mau kerja."
"Kamu sudah bangun Mala?" ucap Doni ketika membuka pintu dan melihat Mala sedang duduk. Wanita itu pun tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Benarkah mas kamu menyuruh bibi kesini untuk menemaniku?"
"Iya sayang, aku kan harus kerja. Uangnya nanti juga untuk membayar biaya rumah sakit mu kan?" kilah Doni.
Padahal sebenarnya ia tidak mau menggunakan uangnya sepeser pun untuk membayar biaya rumah sakit istri barunya.
Ia berniat menggunakan uang sumbangan dari para pelayat kemarin, yang nilainya mencapai satu milyar. Untuk membayar biaya rumah sakit istrinya. Dan jika masih ada sisa, bisa digunakan untuk dirinya sendiri.
Ia datang ke rumah Mala dan mengatakan pada asisten rumah tangganya untuk mengambil uang itu atas perintah Mala. Padahal saat itu Mala tidak berkata demikian, dan justru ia tengah tertidur lelap malam itu.
"Betul apa yang dikatakan Doni, Mala. Biarkan ia kerja. Toh ada ibu dan bibi yang akan menemani mu di sini." timpal ibu mertua, dan akhirnya Mala mengangguk setuju.
Tak berselang lama, seorang dokter dan perawat membuka pintu ruangan Mala. Keduanya menghampiri Mala yang tengah duduk di kerubungi keluarganya.
"Selamat pagi." ucap dokter itu ramah.
"Selamat pagi juga dok." balas mereka kompak.
"Permisi, mari kita periksa dulu ya keadaan nona." ucap dokter sambil membenarkan letak stetoskopnya.
Mala berbaring untuk melewati serangkaian pemeriksaan.
"Kondisi nona Mala cukup baik. Untuk luka diwajahnya, nanti bisa hilang jika rutin mengoleskan salep yang saya beri. Dan untuk kakinya in shaa Allah cepat atau lambat juga akan sembuh. Yang penting nona Mala rutin periksa dan melakukan terapi." beber dokter menjelaskan keadaan Mala.
"Berapa lama kemungkinan istri saya akan sembuh dan bisa berjalan lagi dok?" tanya Doni dengan tidak sabar.
"Saya tidak bisa memastikannya pak. Tapi menurut diagnosa, kemungkinan bisa berjalan perlu waktu sekitar satu tahun.
"Apa! Satu tahun?" ucap mereka kompak.
Mala seketika menitikkan air mata, dan bibi langsung memeluknya untuk memberi dukungan.
Sedangkan Doni dan ibunya saling beradu pandang dengan mimik wajah yang memperlihatkan suatu ketidaksukaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments