Kendala Di Lapangan

Resha memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Ia berjalan menuju tempat untuk menembak target.

Rambut Resha yang tergerai bergerak ke sana kemari tertiup angin. Ia memastikan senapan miliknya pada titik yang tepat.

Resha menggulung kemeja lengan panjangnya hingga sebatas siku. Ia memosisikan tubuhnya tengkurap di rumput hijau.

“Gerbong nomor enam, kami bergerak,” Diaz melaporkan keadaan. Tangannya membolak-balik koran sementara matanya menatap target yang di jaga oleh tiga orang pengawal.

“Empat alpha.” Diaz kembali mengulang, “Empat alpha, kursi dekat jendela semua tim bersamanya.”

“Baik aku mengerti,” jawab Resha santai.

Resha menggunakan teropong jarak jauh untuk memastikan lintasan kereta sebelum masuk ke dalam terowongan. Sebuah lintasan kereta api cepat di tengah padang rumput, terbebat tidak begitu panjang. Resha tidak memiliki waktu panjang untuk menembak targetnya.

Resha mengukur kecepatan angin dan mencatatnya. Tangan Resha mengambil satu peluru dari sakunya dan memasukkannya. Jari Resha mengatur penyesuaian elevasi dan penyesuaian angin. Resha menutup satu matanya sementara mata lainnya membidik sasaran.

Resha menyisir rambutnya menggunakan jarinya. Tangan kanan Resha berada di bagian pelatuk, kini ia sudah siap untuk menembak.

“Kecepatan?” tanya Resha pada Diaz.

“Dua ratus dua puluh delapan kilometer per jam dan melaju stabil,” jawab Diaz.

“Kau tidak apa di sana?” tanya Resha memastikan.

“Aku suka menghabisi penjahat,” jawab Diaz pasti. Harapan tingginya ia juga ingin menjadi pembunuh bayaran.

Kereta sudah dapat Resha lihat, ia sudah menemukan titik target dan hendak menarik pelatuk. Namun ucapan Diaz menginterupsinya.

“Tunggu! Tunggu warga sipil mendekat. Ku ulangi warga sipil mendekat,” lapor Diaz saat melihat seorang anak kecil menghampiri targetnya.

Terpaksa Resha menggeser senapannya dan kembali membidik target.

Target menatap kepada anak kecil yang menghampiri mejanya. Wajah polos anak kecil itu tersenyum, ia seperti melihat sosok kakeknya.

Sang ibu dari anak kecil tersebut menarik tangan anaknya untuk kembali duduk di kursinya.

“Aman, kode hijau.”

Resha menarik peluknya, “Sial!” maki Resha.

Peluru Resha menembus kaca, sebelum kereta masuk ke lorong gelap.

Diaz tersenyum melihat mahakarya Resha.

***

Resha kembali ke gedung tempat ia bekerja. Resha turun dari mobil, matanya melihat mobil Gilbert.

Resha tidak ingin memedulikannya, lagi pula kini ia sedang ada di jam kerja. Dan Resha sadar diri bahwa dia bekerja pada Gilbert, meskipun cincin pemberian Gilbert melingkar di jari manisnya. Apalagi sikap Gilbert kemarin yang memberi perintah seolah ia menegaskan, bahwa urusan asmara dan pekerjaan adalah dua hal yang berbeda.

Resha membawa kotak senapan dan tas lainnya yang berisi senjata untuk kembali menyimpannya. Namun langkahnya terhenti di lobi gedung saat melihat tubuh Gilbert.

Resha membungkuk hormat pada Gilbert. Matanya menangkap Anny yang tengah bersujud di kaki Gilbert.

Resha masuk ke dalam lift. Ia pergi ke ruang senjata, dan menyimpannya kembali. Langkah Resha terhenti saat Diaz menghadang jalannya. “Tembakan nona sangat hebat,” ungkap Diaz.

“Benarkah, di bagian mana peluruku mengenainya?” tanya Resha penasaran.

“Tepat di urat nadinya, dia meninggal di tempat.” Wajah Diaz tampak semringah menceritakan kejadian yang ia lihat.

“Padahal penembak jitu yang ada di Red Bold pun tidak berhasil membunuh target kita. Ini sangat luar biasa, harusnya kau dapat penghargaan dalam kesuksesan di misi pertamamu ini.”

Resha menepuk pundak Diaz. “Kau terlalu berlebihan Diaz.”

“Tidak nona ini sungguh luar biasa, mari bersama rayakan kemenangan kita. Mau minuman alkohol atau nark’otika?” tawar Diaz.

Resha menggelengkan kepalanya dengan seulas senyum di bibirnya. “Aku tidak terlalu suka keduanya, tapi aku akan mentraktirmu makan siang. Kau mau?”

“Ini namanya bukan pesta, tapi ayo pergi,” ucap Diaz semangat. Mereka keluar dari gedung, kini Resha tidak melihat Gilbert di lobi.

Diaz membawa Resha ke kantin Red Bold. Mereka duduk dan membaca menu. “Bolehkah aku membeli banyak makanan?”

“Silakan pesan apa yang kau mau,” jawab Resha santai. Bagaimana pun juga keberhasilannya tidak luput dari campur tangan Diaz.

Diaz memesan empat menu sekaligus, sementara Resha hanya memesan salad saja.

“Kau vegetarian?” Tanya Diaz saat melihat menu yang di pesan Resha.

“Tidak juga, aku pemakan segala,” jawab Resha santai ia menusuk salad miliknya dan segera memakan suapan pertamanya.

“Lalu kenapa? Ambil ini proteinku terlalu banyak.” Diaz menyerahkan satu piring lechona miliknya pada Resha.

“Tidak perlu,” tolak Resha.

“Kau menghemat karena aku pesan banyak?”

Resha tertawa ringan mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Diaz. “Aku tidak semiskin itu Diaz, makanlah semuanya.”

Resha menikmati salad miliknya. Tiba-tiba saja Anny duduk di samping Resha. Ia mengambil mangkuk lechona milik Diaz dan memakannya.

“Anny itu milikku,” keluh Diaz tidak rela makanannya di ambil Anny.

Anny tidak menghiraukan Diaz dan memakannya segera. “Kau senang Gilbert memuji keberhasilanmu?”

Resha menengok ke samping. “Apa maksudmu?”

“Jangan pura-pura tidak tahu, kau pasti mendengarnya kan.”

“Tidak,” jawab Resha cuek dan meminum soda miliknya.

“Kau mengadu ya pada Gilbert?” Tuduh Anny lagi.

“Mengadu apa? Lagi pula apa untungnya aku mengadu pada Gilbert jika berhasil menembak target.” Jawab Resha sewot.

“Seharusnya itu pekerjaanku, tapi aku melimpahnya padamu,” ketus Anny.

“Lalu apa masalahnya, yang penting target sudah mati.” Resha mulai merasa jengah dengan sikap Anny dan memilih berdiri.

“Gara-gara kamu mengadu, aku hampir di habisi oleh Gilbert,” teriak Anny.

“Itu bukan urusanku,” jawab Resha sambil berlalu untuk membayar makanannya.

“Sombong sekali dia, lihat saja aku akan membuatnya di keluarkan dari Red Bold,” sungut Anny. Tangannya menyendok dengan kasar makanan yang ada di hadapannya.

“Sudahlah Anny jangan membuat masalah terus,” Diaz mengingatkan sang Kakak. Mereka harusnya bersyukur ada dalam lindungan Red Bold. Pasalnya karena ulah ayah mereka, Dia Anny di kejar-kejar puluhan penagih hutang dari berbagai negara.

Resha membuka pintu ruangannya. Tubuh Gilbert duduk di kursi kerja Resha. Tangannya membuka lembaran berkas Resha pagi tadi. “Aku tidak salah memilih pembunuh bayaran sepertimu,” ujar Gilbert tanpa menatap Resha.

Entah pujian atau hinaan namun dari suaranya tidak ada rasa bangga sedikit pun dari yang Resha tangkap. Ia duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Gilbert. “Ini permulaan dari pekerjaanku, dan aku tidak mungkin mengecewakan Tuan Gilbert Abhivandya.”

“Lain kali pastikan jika dalam berkas yang kau terima tertulis namamu, jangan sembarang ambil pekerjaan yang bukan untukmu,” Gilbert memberikan peringatan. Dia sedikit kesal karena akhirnya makan siang sendiri tanpa di temani Resha.

“Baik tuan,” jawab Resha patuh.

Gilbert bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu. Namun langkahnya terhenti. “Nilson akan mengantarmu pulang, ada sedikit pekerjaan yang harus aku lakukan. Minta ijin padaku jika kau ingin pergi.”

Terpopuler

Comments

Triiyyaazz Ajuach

Triiyyaazz Ajuach

datar bgt Gilbert

2023-02-04

1

Radya Arynda

Radya Arynda

semangaaat💪💪💪💪💪

2023-02-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!