#2

Gavin menghubungi ponsel istrinya berkali-kali, namun selalu saja tidak tersambung ataupun berada di luar jangkauan. Ia meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian kembali berkutat dengan pekerjaannya.

Tak lama, Jack pun masuk ke dalam ruangannya.

"Bos, saatnya makan siang."

"Baiklah, kita makan siang dulu setelah itu kita langsung meeting," kata Gavin.

"Baik bos."

Jack langsung mengambil berkas-berkas yang dibutuhkan kemudian memanggil supir untuk menyiapkan mobil.

Saat Gavin tiba di lobby, mobilnya sudah siap di sana. Jack membukakan pintu belakang untuk Gavin, sementara ia duduk di kursi depan, di samping supir.

"Mau makan di mana bos?" tanya Jack.

"Cari cafe yang dekat dengan tempat meeting saja Jack, aku tidak ingin terlambat."

Gavin memang dikenal sebagai pribadi yang sangat tepat waktu dan ia juga membenci orang yang terlambat.

Jika ia bertemu dengan orang yang akan mengadakan kerja sama dengannya dan orang tersebut terlambat, maka jangan harap Gavin mau bekerja sama dengan orang tersebut. Ia akan langsung membatalkan kerjasama tanpa berpikir lagi. Ia menganggap bahwa kredibilitas seseorang dilihat dari bagaimana orang tersebut menggunakan waktunya.

Jack membukakan pintu mobil tersebut saat mereka telah sampai ke sebuah restoran yang menyajikan masakan Italia.

"Silakan Bos," kata Jack sambil membukakan pintu.

Gavin turun dari mobilnya, lalu memasuki restoran tersebut ditemani oleh Jack.

"Apa perlu kita pesan ruang VIP bos?" tanya Jack.

"Tidak perlu, kita di sini saja," sambil menunjuk salah satu tempat di sana yang langsung menghadap ke arah jendela.

"Baik Bos."

Mereka akhirnya duduk dan meminta buku menu. Selesai memesan, mereka membicarakan sedikit mengenai materi yang akan dibahas dengan PT Triumph.

Saat mereka sedang menyantap makan siang mereka, mata Gavin menangkap sosok istrinya sedang bersama seseorang. Ia mengepalkan tangannya karena melihat begitu mudahnya Elisa bergelayut manja di tubuh laki-laki itu.

Untung saja Gavin bukan pribadi yang suka meluapkan emosi di muka umum. Ia akan melakukannya di belakang dengan cara yang lebih menyakitkan.

Ia terus memperhatikan gerak-gerik Elisa. Jack yang melihat Gavin sedang memperhatikan sesuatu, akhirnya menoleh ke arah tatapan mata Gavin. Di sana ia bisa melihat apa yang saat ini sedang dilihat oleh bos nya itu dengan tatapan membunuh.

"Selidiki laki-laki itu Jack, aku menunggu kabar secepatnya darimu,” perintah Gavin.

"Baik Bos."

Mereka melanjutkan makan siang mereka dan segera pergi menuju lokasi meeting mereka bersama PT Triumph.

Mereka menunggu di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, tapi memiliki interior yang cukup mewah. Tak lama, pintu pun terbuka.

Seorang wanita? - batin Gavin.

"Selamat siang, Tuan Gavin," sapa wanita itu sambil mengulurkan tangannya.

Menggunakan blazer berwarna navy dan rok selutut berwarna senada membuat tampilan wanita itu sangat anggun dan berkelas. Tapi Gavin juga yakin kalau wanita itu masih sangat muda, mungkin seumuran dengan Gia.

Gavin membalas uluran tangan wanita itu dan tersenyum.

"Perkenalkan nama saya Aransena Luca. Anda bisa memanggil saya Sena. Dan ini asisten saya Flo."

Mereka pun akhirnya duduk bersama, membicarakan kesepakatan bisnis yang akan mereka lakukan.

Setelah berhasil meraih kesepakatan dengan sedikit perubahan pada surat kontrak, mereka akhirnya bersalaman.

"Terima kasih Tuan Gavin atas kesempatan yang diberikan untuk bekerja sama dengan perusahaan kami."

"Saya juga mengucapkan terima kasih. Kalau ada sesuatu mengenai project ini, anda bisa langsung menghubungi asisten saya, Jack."

"Baik Tuan. Saya akan meminta Flo mengirimkan surat kontrak itu setelah kami selesai merevisinya."

Mereka akhirnya bersalaman, dan meninggalkan tempat itu.

**

"Flo, kamu revisi semua sesuai kesepakatan kita tadi. Apakah aku masih ada meeting setelah ini?" tanya Sena saat ia sudah berada di dalam ruang kerjanya.

"Tidak ada Miss."

"Baiklah, aku keluar dulu ya kalau begitu dan mungkin tidak akan kembali lagi ke kantor."

"Baik Miss."

**

Di sebuah cafe,

"Giaaaa, apa kamu sudah lama menungguku?" tanya Sena.

"Tentu saja, aku sudah mulai berlumut," katanya dengan wajah datar dan sedikit berdecak kesal.

"Ah jangan merengut begitu, nanti cantikmu pindah ke meja," kata Sena sambil terkekeh.

"Apa sekarang kamu sudah tidak sibuk? belakangan susah sekali rasanya bertemu denganmu, meski hanya untuk sekedar minum kopi," gerutu Gia.

"Sorry, Gi. Oya, mana Anna?" tanya Sena.

"Dia lagi, sudah pasti lebih ngaret daripada kamu,” gerutu Gia.

"Apa kamu tidak bersamanya? bukankah kamu berlatih taekwondo bersama?”

"Hari ini aku tidak ada latihan. Lagi pula, dia itu udah master of master, mana perlu latihan, yang ada sekarang dia sedang mendapat jatah untuk melatih anak-anak."

Seketika Sena tertawa saat membayangkan Anna sedang melatih anak-anak.

"Dia pasti akan sangat kerepotan."

Tak lama, bel di pintu cafe kembali berdenting. Seorang gadis dengan T-shirt berwarna putih yang dipadu dengan cardigan di bagian luar, serta celana jeans, memasuki cafe tersebut.

"Aku tahu kalian pasti sedang membicarakanku," kata gadis itu pada dua orang sahabatnya yang duduk tidak jauh dari pintu cafe.

"Memang!" ungkap Gia.

"Dasar kamu ini," kata Anna sambil menjitak kepala Gia.

Anna memesan segelas teh hangat, sementara kedua temannya sudah menyesap kopi di hadapan mereka.

"Anna, bagaimana keadaan Uncle?" tanya Sena.

"Masih sama, bahkan saat ini Daddy sudah tidak bisa lagi menggerakkan kakinya."

"Apa kamu tidak ingin membawa Uncle ke dokter?" tanya Gia yang terlihat kuatir.

"Aku sudah membujuknya, bahkan berkali-kali. Tapi Daddy tetap dengan pendirian yang sama. Ia bilang itu hanya akan membuang-buang uang. Katanya akan lebih baik jika aku menyimpannya untuk masa depanku."

"Bawalah ke rumah sakit. Aku punya kenalan seorang dokter," kata Sena.

"Aku akan coba membujuk Daddy lagi, mudah-mudahan kali ini ia mau mengubah pendiriannya," kata Anna sambil menyesap teh hangat miliknya.

"Daddy dan Mommyku akan pergi ke Indonesia. Grandpaku sedang sakit."

"Apa kau akan ikut ke sana?" tanya Anna.

"Tidak. Aku sedang malas bepergian, ada sesuatu yang harus aku lakukan."

"Apa kau memerlukan bantuan kami?" tanya Sena.

"Belum. Saat ini aku bisa mengatasinya."

Mereka pun melanjutkan obrolan mereka. Anna dan Gia adalah teman sejak mereka SMA, sementara Sena adalah teman Gia saat mereka menempuh pendidikan master di London. Kini ketiganya menjadi sahabat.

🌹🌹🌹

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!