Kenapa aku tiba-tiba menjadi kosong. Aku masih terpaku pada tatapan tajam tapi terluka milik Wewen sebelum ia meninggalkanku.
Sehebat apapun kamu bisa menjaga dirimu sendiri, tolong tetap jaga hati orang lain yang menghawatirkanmu. Karena yang ditinggalkan lebih menderita karena penyesalan.Tolong jaga keselamatanmu.
Perkataanya membuatku mengasihaninya. Aku tahu dia kawatir sebagai teman, kakak atau saudara. Tapi ada sesuatu yang membuatnya bersedih. Apa dia menganggapku sedalam itu dari diriku sendiri terhadapnya atau dia pernah kehilangan seseorang karena sesuatu dan trauma karenanya?
"Hmm ... sebaiknya aku segera tidur."
Aku baru saja sampai di depan butik tempatku bekerja saat Rara hanya berdiri di depan pintu. Tapi kenapa ia tidak masuk dan hanya menatap sesekali kedalam?
" Ngapain di sini? "
Rara menoleh dan menyuruhku untuk tidak bersuara. Dia dengan takut-takut melirik kedalam sebelum menjelaskannya padaku.
" Didalam ada bu Karin dan suaminya. ada Adik iparnya juga. Hmm... mereka sedang debat dan aku disuruh keluar."
"Kenapa mereka tidak di dalam ruangan bu karin saja?"
Rara mengajakku duduk di bangku panjang depan butik yang disediakan untuk pengunjung.
"Saat aku baru sampai, Butik sudah dibuka. bu' Karin sedang rapi-rapi, dia juga bawa sikembar. Di dalam ruang dia kan ada satu ruang istirahat. Sepertinya tadi malam dia tidur disana. Saat aku membantu, suami dan adiknya datang."
Aku tidak tahu siapa suami dan adiknya, tapi dari cerita Rara dulu, adik iparnya juga mendirikan perusahaan diluar milik keluarga. lalu kenapa ia seoalah ikut dalam masalah keluarga kakaknya?. Aneh sekali, tapi apa peduliku, itu urusan mereka kan?
Pintu butik terbuka dan seorang pria dengan tinggi sekitar 178 cm keluar dengan menggendong dua anak kecil. Aku tahu mereka anak bu' Karin, kami sering bermain dengan mereka. Vio dan Via, dua balita kembar yang menggemaskan.
Pria ini masih muda, aku rasa dia adik iparnya, tidak mungkin yang ini suami bu' Karin kan?. Tapi ... kenapa dia berhenti di depanku?
"Tolong gendong Via dan ikut denganku."
Apa-apaan orang ini. Aku menoleh ke Rara yang menggeleng pelan tidak mengerti.
"Ini perintah kak Karin!" tambahnya sebelum aku sempat menyela. Oh, oke ... jadi jika ini perintah bos ku aku harus menurutinya?
Dengan terpaksa aku mengambil Via dari tangan kanannya dan mengendongnya di dada. Pria ini berjalan ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan dan aku mengikutinya masuk kedalam.
Vio dan Via masih tertidur dengan pulas. Aneh sekali kenapa dua balita ini tidak terganggu sama sekali. Vio duduk di depan, dengan selfbel terpasang dan Via di pangkuanku duduk di belakang.
"Maaf ... kita akan kemana? kenapa anda membawa Vio dan Via dari orang tuanya?"
"Mereka lebih aman denganku saat ini. Jika mereka berhenti aku akan mengembalikan mereka."
"Lalu kenapa saya harus ikut?"
Dia melirikku dengan mata tajamnya namun tidak menjawab. Apa pertanyaanku salah?
Ah ... karena perintah bu Karin begitu?
"Saya hanya karyawannya, pekerjaan saya hanya di butik. Saya rasa hal ini tidak ada di kontrak kerja. Saya tidak terlalu nyaman terlibat dalam urusan pribadi orang lain."
Aku terhuyung mendadak kedepan saat mobil mendadak berhenti, dan ini di tengah-tengah jalan. Apa orang ini sudah gila?
"Apa kamu anti sosial? "
Kalimat itu lagi, kenapa aku mendengar kalimat itu dari dua orang sekarang?
"Tunjukkan empatimu sebagai manusia. Kakakku sedang minta tolong padamu. Apa aku perlu membayarmu juga untuk hal ini?"
Nada rendah dan datarnya sangat menohok. Apa aku terlihat sejahat itu? aku bukannya tidak mau menolong, hanya saja aku benar-benar tidak nyaman dengan masuk ke urusan orang lain. Aku tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Aku terbiasa sendirian.
Aku tahu dia melirikku sambil menginjak gas lagi, dia mengabaikan klakson mobil lain hanya untuk menjawab dengan sarkas ucapanku barusan.
"Panggil aku Kenzo."
Aku tidak peduli namamu omong-omong. Dia benar-benar pria menyebalkan yang pernah aku temui.
Sesampainya di dalam apartemen, kami disambut seorang wanita paruh baya yang sedang memegang vakum cleaner.
"Ah ... Tuan kembali lagi? maaf saya belum selesai membersihkan__"
"Tidak masalah, lanjutkan saja."
Aku menunduk sedikit memberi sapaan pada ibu itu sebelum mengikuti Kenzo masuk ke kamarnya. Membaringkan Via di samping Vio yang tampak terusik.
Oh tidak! anak ini bangun dan menangis. Via yang mendengar tangisan saudaranya terbangun dan ikut menangis juga. Aku buru-buru menggendong Via lagi dan Kenzo menggendong Vio. Kami berusaha menenangkan mereka.
"Aku akan menyuruh pengasuh mereka datang, tolong tetap bermain dengan mereka selagi aku pergi."
Aku melirik dua balita yang akhirnya bisa diam dan sedang menonton kartun sebelum bangkit dan menghadap pria ini. Apa-apan dia mau meninggalkan kami.
"Tidak bisa! aku tidak bisa menangani dua sekaligus. Aku tahu seberapa rewelnya mereka omong-omong."
Kenzo memijit pangkal hidungnya pelan sebelum kembali menatapku dengan pandangan geram.
"Mereka keponakanmu dan mempercayakan orang asing sementara kamu pergi? "
"Kamu karyawan kakakku!"
"Aku tetap orang asing!"
Dia menghela nafas. Aku tidak salah, aku masihlah orang asing meskipun karyawan kakaknya. Bagaimana bisa dia sembarangan begini.
Ponselku bergetar, Wewen menelepon. Kenzo tampak diam saja menunggu, memberiku waktu. Aku akhirnya mengangkat telepon itu tampa beranjak.
"Kenapa?"
"Apa kamu masih diikuti pagi ini?"
"Tidak, aku pikir dia berhenti karena kedatanganmu tadi malam."
"Jangan berbohong!"
"Aku tidak, dia benar-benar tidak muncul_ atau belum. Aku akan mengabari jika terjadi sesuatu, oke?"
Aku tidak mengerti kenapa aku harus meyakinkannya. Tapi dengan begini dia jadi bisa berhenti kawatir. Aku mematikan telfon dan menatap Kenzo lagi, masih dengan keras kepala.
"Kamu memiliki penguntit?"
"Bukan urusanmu! Jadi yang akan terjadi selanjutnya adalah ... kamu menunggu pengasuh sikembar baru pergi dan aku bisa berangkat sekarang karena aku harus bekerja."
Kenzo menatapku lama, seakan sedang memikirkan sesuatu. Aku mengernyit heran, ada apa dengannya?
"Butik ditutup hari ini. Aku harus ke kantor karena rapat penting. Kamu tidak punya pilihan."
Usai berbicara dengan tatapan yang aneh itu, ia segera pergi. Aku melirik sikembar yang tertawa-tawa karena kartun yang lucu. dengan lesu ikut duduk di dekat mereka.
Bagus sekali pria ini, aku tidak punya nomor teleponnya. Pengasuh yang dia bilang akan datang bahkan tidak kelihatan batang hidungnya sampai detik ini. Aku melirik jam di dinding dan sudah waktunya makan siang. Kabar baiknya sikembar tidak terlalu rewel, cukup penurut.
Aku berjalan ke dapur dan memeriksa kulkas, hebatnya tidak ada apapun disana kecuali minuman kaleng. Bibi yang bekerja tadi pagi juga sudah pulang karena tugasnya hanya bersih-bersih dan mencuci. Lalu aku harus apa? bahkan nomor bu' Karin juga tidak bisa dihubungi. Ibu macam apa dia?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
M'bak Embem
like n hadiah untuk mu thor
salam dari ' sepenggal cerita '
2021-12-20
1
Mis Nia
hahaha...apes sudah hari ini...
2021-12-10
1
hany
hai kakak....
ceritanya menarik....
jejak dulu...
salam Dari *senyum anya
2020-06-11
0