Awal Kebencian

Cinta datang karena terbiasa bersama. Mungkin itu yang sedang dirasakan oleh Sean Brandon Bagaskara. Ia jatuh cinta kepada gadis yang tumbuh bersama Strala Melodi Purnama. Namun ternyata gadis itu justru akan menikah dengan adiknya, Marcello Giovan Bagaskara.

Masih teringat jelas di benak Sean, malam kelam itu. Sean berdiri di ruang tengah rumah Starla, memandang tawa bahagia semua orang. Akan tetapi hal itu membuat hati Sean teriris. Ia mengepalkan telapak tangannya menahan amarah di dalam dirinya. Perlahan kepalan tangannya mengendur bersamaan dengan langkah mundur Sean.

Sean yang tidak kuat menahan rasa sakitnya memilih menjauh dari tempat itu. Sean melangkah menyusuri taman buatan yang ada di belakang rumah Starla. Ia memilih menjauh dari keramaian. Langkah Sean terhenti di jembatan kecil di mana ada kolan ikan di bawahnya. Pandangannya mengarah ke langit yang berwarna gelap tidak ada bintang, hanya rembulan yang menerangi malam.

"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Starla.

Sean menoleh melihat Starla berdiri tidak jauh darinya.

"Tidak ada. Hanya ingin sendiri," jawab Sean.

Starla melangkah dan berdiri di samping Sean. " Apa kamu terkejut dengan kabar ini?"

"Sangat. Sudah sejak kapan kalian berhubungan?" tanya Sean.

"Baru dua bulan. Tapi kami memutuskan untuk ke jenjang yang lebih serius secepatnya," jawab Strala.

"Dua bulan?" Sean menertawakan kebodohan dirinya.

Amarah Sean datang tiba-tiba, ia masih tidak terima akan hubungan Starla dan Marcello. Sean menatap Strala dengan tatapan penuh amarah lalu mencengangkram kedua pundak Strala.

"Sean, lepaskan! Ini sakit."

"Hatiku lebih sakit!"

"Apa maksudmu.

"Sudah sejak lama aku mencintaimu. Tapi aku belum bisa mengatakannya. Aku ragu untuk mengatakannya. Saat malam ini aku memberanikan diri untuk bicara, tapi ... lihat! Lihat apa yang terjadi. Kamu akan menikah dengan adikku!"

Sean mendorong tubuh Starla membuat gadis itu mundur beberapa langkah.

"Maaf, Sean ... aku tidak tahu. Tapi aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya menganggapmu seperti kakakku dan sahabatku. Dari dulu aku hanya mencintai Ello dan aku pikir kamu tahu," ucap Starla.

"Itulah kesalahanku! Aku tidak tahu. Aku hanya berpikir kamu juga mencintaiku."

"Maaf, Sean. Aku sama sekali tidak pernah mencintaimu," ucap Starla.

"Apa yang membuatmu tidak menyukai? Apa yang membedakan aku dan Ello?"

"Kamu dan Marcello sangatlah berbeda. Dia sangat sempurna bagiku, dia sopan, lembut, dan juga tidak pernah bicara kasar. Satu lagi yang membedakan dia dengan dirimu adalah dia tidak pernah bermain wanita, dia tidak pernah melakukan hal menjijikan seperti itu."

"Asal kamu tahu Starla! Aku tidak pernah benar-benar melakukan itu. Aku hanya ingin membuatmu cemburu."

"Tapi aku tidak pernah cemburu. Aku marah padamu karena menurutku itu sangat menjijikan. Kamu menjijikan, Sean!"

"Jadi ... menurutmu aku ini menjijikan?

"Ya! Kamu menjijikam, Sean!"

Sean tidak bisa lagi bicara. Ucapan Starla membuat semua kata-kata yang ingin Sean keluarkan tertahan di tenggorokan. Sean juga merasa lehernya tercekik oleh ucapan Starla membuatnya sangat sesak. Sean memilih pergi dari rumah Starla dan mungkin itu adalah terakhir kalinya Sean menginjakkan kakinya di tempat itu.

******

Kelakuan buruk Sean makin menjadi setelah hatinya dihancurkan oleh gadis yang ia cintai. Sean melakukan hal yang Starla bilang menjijikan. Dia juga tidak segan-segan menghabiskan malam dengan wanita yang berbeda-beda dan juga mematahkan hati mereka.

Awalnya Sean menggunakan para wanita itu untuk membuat Starla cemburu, tetapi kini Sean menggunakan wanita-wanita itu untuk membalas sakit hatinya kepada Starla.

Perubahan sikap Sean dirasakan oleh adiknya. Marcello berusaha untuk bicara ia ingin Sean kembali seperti dulu.

"Kapan lo pulang, Bang?" Marcello mendekati Sean yang sedang berdiri bersandar di balkon kamarnya.

Marcello menyandar punggungnya pada besi pembatas balkon, tepat di samping Kakaknya. Ia melihat Sean sedang merokok.

"Kapanpun gue pulang itu nggak ada urusannya sama lo, 'kan? Ini rumah orang tua gue, gue bebas keluar masuk," jawab Sean.

Marcello diam sejenak, ia memikirkan kata-kata yang akan ia ucapkan kepada kakaknya.

"Lo marah sama gue karena Starla?" tanya Marcello.

"Kenapa gue harus marah sama lu karena Starla? Gue gak ngerti apa maksud lu?" Sean memang tidak mengerti karena ia tidak tahu Marcello sudah mengetahui semuanya.

"Gak usah menyembunyikan apapun dari gue. Gue sudah mengetahui semuanya. Gue denger pembicaraan lu sama Strala malam itu."

Sean berhenti menghisap rokoknya lalu menatap Marcello sejenak. Jantung Sean terasa berhenti. Pada saat itu Sean tidak tahu harus bicara apa, ia memilih untuk kembali menghisap batang bernikotin yang terselip di jarinya.

"Kenapa tidak bilang kalau lu suka sama Starla. Kalau lu bilang gua bakal —" Ucapan Marcello terpotong oleh Sean.

"Bakal apa? Apa lo bakal mengalah demi gue?" Sean tersenyum sinis selalu kembali memasukan batang rokok itu ke mulutnya. "Lo denger sendiri, bukan? Dia gak pernah cinta sama gue. Dia hanya cinta sama lo. Meskipun lo ngalah, dia gak akan mau sama gue."

"I am sorry, Bang," ucap Marcello.

"Kenapa lo minta maaf sama gue?" tanya Sean tanpa melihat ke arah Marcello.

"Setidaknya jika gue tahu lo suka sama Starla ... gue gak akan melamar dia," jawab Marcello.

"Demi menjaga perasaan gue?" Sean tersenyum sinis. "Gue gak putuh dikasihani."

"Maksud gue bukan seperti itu —" Lagi-lagi ucapan Marcello dipotong oleh Sean.

"Apa kalau sekarang gua minta lo buat batalin pertunangan lo sama Starla lo bakalan mau?" tanya Sean.

Pertanyaan Sean jelas membuat Marcello bingung. Tidak mungkin ia melakukan hal itu. Semua persiapan sudah dilakukan, tidak mungkin dengan tiba-tiba membatalkan semuanya.

Lagi-lagi Sean tersenyum sinis. Ia tidak akan membuang waktu untuk menunggu jawaban dari Marcello diamnya Marcello sudah mewakilinya. Sean juga tidak sepenuhnya serius dengan pertanyaan itu.

"Tidak usah dipikirkan! Gue cuma bercanda. Sekarang gue gak peduli dengan ini. Gue yakin suatu saat nanti gue akan menemukan gadis yang lebih baik dari Starla yang bisa sayang dan mau menerima gue apa adanya."

Sean membuang sisa rokok ke lantai lalu menginjakkannya untuk mematikan batang bernikotin itu.

"Semoga lo sama Starla bahagia." Sean menepuk pundak Marcello sebelum pergi.

Beberapa minggu belakangan Sean memang memilih untuk tinggal sendirian di apartemen. Ia masih butuh waktu sendiri untuk move on dari Starla. Sean terpaksa datang karena ayahnya menyuruhnya datang.

Sean berjalan menuruni anak tangga, ia menemui ayahnya di ruang kerjanya. Sean membuka pintu ruangan kerja sang ayah, ia melihat ayahnya duduk sambil membolak-balikkan berkas di hadapannya.

"Malam, Pi," sapa Sean.

"Malam, Nak," balas Pasha.

Sean duduk di hadapan ayahnya menatap serius pria paruh baya yang sedang serius bekerja. Sean mengagumi sosok sang ayah yang serius jika sedang bekerja.

"Papi ada apa memintaku datang?" tanya Sean sambil memainkan bola dunia yang ada di hadapannya.

"Papi lupa ada berkas yang harus ditandatangani oleh Arya. Tapi Papi ada acara sama mami kamu. Bisakah kamu yang mengantarkan berkas ini ke rumahnya sekarang?" tanya Pasha.

Sean berhenti memainkan bola dunia di hadapannya lalu menatap Papi dengan raut muka yang sedikit heran. Dalam hatinya Sean berkata, "Bercanda"

"Kenapa kamu menunjukkan raut wajahmu seperti itu?" tanya Pasha.

"Papi memintaku datang ke sini hanya untuk ini?" tanya Sean.

"Ya," jawab Pasha tanpa rasa bersalah.

"Pi, di sini ada Marcello dan juga asisten pribadi Papi. Hanya untuk melakukan hal ini Papi menyuruh Sean?" Sean mendengkus merasa kesal dengan ayahnya.

"Kenapa? Kamu tidak mau?" tanya Pasha.

"Bukannya tidak mau, Pi. Aku ada janji," jawab Sean.

"Janji dengan salah satu pacarmu?" Pasha memicik tajam ke arah Sean yang justru sedang cengengesan.

"Ayolah. Papi seperti tidak pernah muda saja," ucap Sean.

"Papi tahu. Tapi Papi ingat tidak pernah melakukan hal sepertimu. Hanya satu perempuan yang ada di hati Papi yaitu mami kamu," ucap Sean.

"Papi cinta mati banget sama mami. Apa tidak ada niatan Papi untuk mencari wanita lain?" ledek Sean.

"Diam, Kamu! Jika mami kamu dengar habis kamu. Papi tidak yakin bisa menyelamatkanmu," ucap Pasha.

Sean cengengesan, membuat Pasha menggelengkan kepalanya dengan senyuman tipis menghiasi bibirnya. Anaknya memang benar, dirinya cinta mati kepada sang istri.

"Jangan mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Papi tidak mau kamu menjadi anak nakal," ucap Pasha.

"Aku hanya ingin bersenang-senang, untuk hiburan saja menghilangkan penat setelah bekerja," elak Sean.

"Terserah kamu. Papi hanya mengingatkan jangan sampai kamu melewati batas. Papi tidak suka itu. Jika kamu melakukan hal yang sudah melewati batas Papi tidak akan pernah memaafkanmu," pesan Pasha.

"Baik, Bos." Sean memberikan hormat kepada Pasha.

Suasana hati Sean lebih baik setelah bicara dengan ayahnya. Selama ini Sean mengaggap Pasha bukan hanya sebagai seorang ayah, tetapi juga seorang teman.

"Pergilah, berikan salam Papi untuk Keisha dan keluarganya. Katakan pada mereka, kapan-kapan mainlah ke sini," ucap Pasha disambut anggukkan kepala oleh Sean.

Sean beranjak dari kursi ia mengambil berkas di meja lalu keluar dari ruangan itu. Sean berjalan menuju garasi rumah ia melihat Marcello berdiri di anak tangga. Meskipun melihat Marcello memperhatikannya, Sean tidak memiliki niat untuk menyapa adiknya. Sean melakukan itu bukan karena marah, tetapi tidak dipungkiri Sean masih membutuhkan waktu untuk sendiri untuk meredam rasa kecewaannya.

Sean masuk ke mobilnya duduk di bangku kemudi. Berkas di tangannya ia letakan di jok tepat disampingnya. Perlahan mobil itu melaju meninggalkan kediaman Bagaskara. Sepanjang perjalanan Sean menggerutu, tidak habis pikir ayahnya menyuruhnya untuk melakukan hal sepele seperti itu.

"Seperti tidak ada orang lain saja," gerutu Sean.

Akan tetapi Sean tidak tahu, ayahnya mulai menyadari ada yang aneh dengan sikap Sean. Pasha tahu Sean tidak mudah untuk mengatakan masalahnya, maka dari itu Pasha meminta Sean untuk datang ke rumah Keisha, Pasha tahu Sean sangat dekat dengan Keisha berharap anaknya bisa mencurahkan isi hatinya di sana.

"Tapi aku juga sudah lama tidak bertemu dengannya. Aku tidak tahu kabarnya lagi setelah masalah yang kemarin dia hadapi."

Sean menghentikan laju mobilnya ketika melihat sebuah toko kue. Ia ingat jika kakak sepupunya sangat menyukai salah satu kue yang ada di toko tersebut. Sean memutuskan untuk membeli kue kesukaan Keisha. Setelah mendapatkan apa yang Sean mau ia kembali ke mobilnya dan melaju menuju rumah Keisha. Sean tidak akan menduga setelah sampai di sana hidupnya akan berubah.

Terpopuler

Comments

Bundanya Robby

Bundanya Robby

pemeran utamanya siapa ya Thor Sean atau Ello...

2023-02-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!