Tanjung baru bisa membuka mata lagi ketika efek obat di tubuhnya hilang. Pemuda itu sadar tidak bisa banyak bergerak, jadi yang Tanjung lakukan hanya menolehkan kepala ke sekeliling.
Matanya menemukan gadis itu—Tanjung lupa namanya—berbaring di lantai begitu saja.
Sulit dimengerti. Nampaknya dia tinggal sendiri, cuma punya satu kasur kecil, bahkan tak punya AC, tapi malah sempat-sempatnya menolong orang.
Kalau Tanjung adalah dia dan dia adalah Tanjung, akan ia biarkan saja seseorang tergeletak mati. Toh, bukan urusannya.
Ingatan Tanjung memutar sekali lagi kejadian malam itu. Meski hidup dalam dunia yang memaksanya harus bertangan besi, malam itu adalah malam terburuk. Ia kalah sampai nyaris mati akibat itu.
Tanjung harus segera menghubungi anak buahnya. Namun untuk sementara, Tanjung tak ingin muncul. Ia butuh istirahat.
"Abang."
Kepala Tanjung menoleh, mendengar gadis itu mengigau samar.
"Pulang." Gadis itu nampak kedinginan. "Gue takut."
Tanjung bisa memperkirakan siapa gadis ini.
Yang jelas dia masih muda, mungkin baru awal dua puluh atau bahkan masih sembilan belas tahun. Bukan anak kuliahan, karena dia berani menolong orang asing tapi tak ada satupun yang terganggu, berarti dia juga tak punya keluarga.
Orang seperti dia banyak di gang-gang sempit.
Bedanya, dia menolong Tanjung. Bukan pura-pura tak tahu.
...*...
Pernah tidak sih bangun pagi dan benci ternyata kalian bangun lagi?
Maksud Suri, hidup memang anugrah, tapi sesekali ia berharap hidup itu tidak ada.
Tubuhnya capek, tapi lagi-lagi harus bangun, menatap tanggal masih hitam alias bukan libur alias harus kerja.
Saking capeknya, kadang-kadang Suri berharap ia menikahi kakek-kakek cukong kaya asal bisa libur sepuas hati.
"Udah bangun?" Suri mengisap dalam-dalam rokok di sela bibirnya, sebelum menepikan itu. "Perut lo gimana?"
Diam.
"Kenapa? Ah, belum kenalan? Gue Suri, yang nolongin lo." Yang dia repotin juga sih, kalau harus jujur. "Nama lo siapa?"
Tidak ada jawaban lagi.
Orang ini tidak mau bicara, yah?
Suri mendengkus kesal, tapi memutuskan tidak memaksa. Kembali ia mengambil rokok tadi, menyalakannya ulang sambil mulai memindahkan makanan ke piring.
Diam-diam ada perasaan sesak di dadanya. Mungkin karena terlalu capek, Suri jadi mengingat hal yang tidak seharusnya ia ingat.
Ayo jangan stres.
Ia selalu merokok tiap stres dan Suri sudah memberi aturan pada dirinya sendiri bahwa rokok hanya boleh dibeli sekali sebulan.
"Nama lo siapa?" Tiba-tiba, suara itu terdengar.
Mengalihkan Suri dari lamunan menyebalkannya.
Suaranya nyeremin, pikir Suri spontan. "Suri. Suriana. Nama lo?"
"...."
Dia bertanya, balik ditanya malah diam.
Suri mendengkus sebal, duduk di meja makannya dan mulai makan sambil melirik jam. Ia harus bangun sangat pagi cuma untuk makan, dan sekarang malah hampir jam kerjanya.
Demi Tuhan, kapan rutinitas melelahkan ini berakhir?
Mengeluh juga percuma sih, jadi Suri buru-buru makan, buru-buru mandi, buru-buru ganti baju, lalu buru-buru memakai sepatu.
"Gue balik mungkin jam satu atau jam dua malem." Suri juga harus mengganti infus. Mengatur tetesannya agar tidak kering sebelum ia kembali. "Dokter udah bilang lo enggak bisa bangun dulu beberapa hari. Sama, makan juga enggak bisa. Jadi enggak perlu ke mana-mana."
Baru saja Suri mau berbalik, orang itu mendudukan diri, berlawanan dengan perkataan Suri.
"Eh, eh. Jangan dulu."
Tapi dia tetap bangun, memaksakan diri untuk berdiri.
...*...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments