"Gimana kondisinya?" Suri datang membawakan pakaian ketika pria asing itu diperiksa oleh dokter ilegal kenalannya.
Suri tak mau harus berurusan dengan polisi jika membawa orang ini ke rumah sakit, karena sekali lagi, ia benci berurusan dengan polisi.
Jadi Suri harus mengandalkan salah satu dokter kenalannya, seorang dokter yang tidak memiliki lisensi tapi sudah sering mengobati orang-orang terutama dengan kasus gelap.
Dengan begitu, Suri setidaknya bisa terhindar dari masalah panjang.
"Kalau harus satu kata; sekarat."
Pria yang dipanggil Dokter Moris itu tampak menyiapkan hal-hal yang tidak Suri mengerti.
"Golongan darah kamu A, kan? Kita transfusi sekarang," cetus Dokter Moris seenaknya.
"Hah?" Suri cengo.
"Kamu kan liat sendiri baju putihnya jadi merah karena darah. Kamu mau masukin air ke dalam buat ngisi darahnya? Kalau enggak transfusi sekarang, dia bisa mati."
Lah, lah, lah. Kenapa jadi begitu?
Suri menatap pria sekarat yang berada di kasurnya itu, lalu pada peralatan Dokter Moris.
Wajah Suri pucat. Oke, mungkin bukan waku yang tepat berkata begini tapi ... Suri takut jarum suntik.
Jangan menghinanya! Jarum suntik memang menakutkan! Apa kalian tidak membayangkan saat jarum besar itu menusuk ke kulit, lalu mungkin menyentuh urat kalian atau mengetuk tulang kalian?
Itu menakutkan.
Tidak mau, tidak mau, tidak mau. Suri tidak mau disuntik!
"Suri." Dokter Moris mendesak, seakan-akan nyawa orang itu lebih penting daripada Suri yang merasa bisa mati karena ngeri.
"Oke, oke. Fine!"
Tapi Suri tidak mau jiwanya terbebani jadi penyebab orang lain mati. Walau bukan ia yang menghajar orang ini, Suri tetap akan salah karena tidak mau membagi darah.
Kenapa dari semua tempat harus Suri yang menemukan dia di sekitar sini? Coba dia sekarat di dekat rumah sakit, Suri jadi tidak harus repot.
Gadis itu pun berbaring di tempat yang diarahkan Dokter Moris, memasang headphone di kepalanya agar bisa teralihkan.
Disuntik sih tidak sakit, tapi secara mental menakutkan.
"Suri, jangan gerak-gerak." Dokter Moris memperingati ketika Suri terus menarik-narik tangannya, tak mau.
"Butuh persiapan mental, Dok, elah." Suri mengepal tangannya lalu melemaskan.
Waktu tangan Dokter Moris memegang Suri, ia mengepal tangan lagi.
"Suri."
"Iya, iya. Ini udah siap."
Suri berusaha tidak menangis terisak. Kenapa pula dirinya harus melakukan ini demi orang asing?
"Dok, jangan kena tulang, yah. Jangan kerasa juga."
"Kamu mau saya suntik pelan-pelan atau saya langsung tusuk sampe ke tulang?"
Suri menoleh horor. "Jahat banget, sih!"
"Makanya diem."
Secara terpaksa Suri tenang.
Tanpa sadar, Suri justru tertidur. Entah berapa lama dirinya terpejam, yang jelas Suri tersadar saat Dokter Moris mengguncang lengannya, pamit ingin pergi.
"Kondisinya sudah mulai stabil. Sisanya tinggal luka dalam. Untuk sementara dia enggak boleh bangun. Sama infusnya, kamu bisa ganti sendiri, kan?"
Suri mengangguk pelan. Yang lebih penting .... "Anu, bayarannya—"
"Saya nemu ini." Dokter Moris mengeluarkan dompet. "Biaya penangannya saya ambil. Masih ada sisa di sana. Kamu pake beli infus kalau habis."
Meninggalkan Suri yang kebingungan, Dokter Moris pergi begitu saja.
Jelas Suri bertanya-tanya, dan bermaksud mencari identitas pria ini lewat dompetnya. Namun yang ada di dompet itu ternyata hanya uang, tanpa adanya kartu apa pun, atau surat-surat yang bisa menunjukkan nama.
Siapa pria ini?
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments