Bagian 4:
{Nak Pongot dan Abangnya}
Kenzo sedang berbaring di kamarnya dengan pose mayat. Tubuhnya membujur dengan kedua tangan dilipat di atas perut. Cuma matanya melek liatin langit-langit kamar yang gelap karena lampu ia matikan.
Ceritanya anak itu ngelamun bayangin dirinya sendiri pas kecil.
Flash back on.
Kenzo kecil masih sesegukan sehabis nangis. Matanya sembab dengan hidung memerah. Ia merentangkan tangan minta gendong ke Neneknya yang muncul di pintu kamarnya.
"Loh, cucu kesayangan nenek ini kenapa? Habis bobo kok nangis?" ujar Nenek sambil mengambil Kenzo untuk ia gendong. Tangannya menepuk pelan punggung anak itu, "Kenapa? Masih pusing kepalanya? Ada yang lain yang sakit? Kenapa, ayo bilang sama nenek?"
Kenzo narik ingusnya lalu meluk leher Nenek dengan erat, "Ade cakit."
Nenek membawa Kenzo untuk ditidurkan lagi ke atas ranjang, "Iya adek sakit, makanya harus istirahat biar cepat sembuh."
"Mama kewlja."
Sang Nenek jadi terdiam.
"Papa kewlja. Mas El ma Mbak Ca, kolah."
Kenzo liatin neneknya yang jadi diam. Gak tau kenapa, dia merasa sesak saat lanjut bicara lagi.
"Ade cendili, ade cakit."
Flash Back Off
5 tahun setelah hari dimana ia merengek ke Neneknya begitu, Kenzo sakit lagi. Dan dia benar-benar sendirian saat itu. Gak ada yang nemenin dia padahal siangnya ia habis terima rafor disekolah dan dapat ranking 2. Gak ada seorangpun yang ngucapin selamat ke dia. Semua orang pada sibuk. Karena hari itu, semua anggota keluarga terlalu sedih bahkan untuk menghibur diri sendiri. Hari itu adalah... hari dimana Nenek diantar menuju peristirahatan terakhirnya.
Sejak saat itu Kenzo jadi belajar mandiri. Walau selama ini ia sudah kelewat mandiri. Tapi setidaknya ia belajar satu hal lagi, bahwa dia bukan satu-satunya objek yang harus diperhatikan oleh orang-orang setiap saat. Gak selamanya Kenzo bisa terus-menerus mengeluh pada orang lain. Karena setiap orang juga punya keluhan tersendiri.
Makanya, meski sekarang badannya ngilu bukan main, Kenzo sama sekali tak ada niatan untuk mengadu. Padahal sekarang malam minggu. Mamanya ada di rumah. Papanya yang jarang pulang kerumah karena tuntutan perkerjaannya sebagai astronom, sekarang juga sedang di rumah. Kedua kakaknya yang sudah berumah tangga juga ada di rumah, quality time dengan keluarga katanya.
Tapi kembali lagi, Kenzo gak mau merepotkan orang lain. Dia keburu gak enakan sebelum sempat ngadu pada siapa saja.
"Dek, kamu udah tidur?"
Kenzo berbalik memunggungi pintu dan menarik selimut. Setelah itu cahaya dari luar masuk ke dalam kamarnya melalui pintu yang terbuka.
Raisya, Kakak pertama Kenzo melongok pelan melihat adiknya. Lalu ia menutup pintu kembali. Di luar, Kenzo mendengar samar-samar Ibunya dan Mbaknya bicara.
"Si Adek mana?" Itu suara Emily, Mama Kenzo.
"Udah tidur dia. Tumben banget ya ma? Biasanya juga dia jam segini masih sibuk bolak-balik ke dapur nyari makan."
"Kecapean mungkin, dari pulang sekolah udah kusut aja mukanya mama lihat."
Suara kedua wanita itu menjauh dari pendengaran Kenzo. Ia mengerjab pelan, lalu semakin membenamkan dirinya di balik selimut.
"Iya, deh. Kayaknya gue kecapean, deh.... Cape banget."
……………………
"Bahagaiakan diaaa.... Aku tak apaa.... Biar aku yang pura-pura... lupa."
Yang tampangnya sudah kayak suami kematian istri itu adalah Geri. Dia duduk di bawah pohon beringin di belakang sekolah sambil memangku gitar. Padahal jam pelajaran sedang berlangsung tapi dia malah memilih bolos.
"Kalau patah hati bikin lo semenderita itu—"
Kenzo belum sempat menyelesaikan ucapannya tapi Geri sudah nyerobot saja.
"Bukan patah lagi sih ini," katanya dengan lesu. Jemarinya berhenti memetik gitar. Ia berpandang-pandangan dengan Kenzo. Beberapa saat, mereka sama-sama menghela nafas capek, kayak penuh beban banget.
Sebenarnya yang mengajak Geri bolos itu adalah Kenzo. Mereka berdua satu jurusan meski beda kelas, jurusan Bahasa. Sementara yang lainnya beda jurusan dengan mereka, beda gedung juga. Kenzo males jalan jauh-jauh menghasut teman-temannya yang lain untuk bolos jadi dia hanya bisa mengajak Geri saja. Kayaknya Kenzo lupa, kalau dia bisa tinggal berkoar di grup chat mereka saja kalau memang mau mengajak yang lainnya membolos.
"Ada acara apaan nih, kok tumbenan nak pongot ngajak diriku bolos?"
Kenzo melirik dengan sinis, "Masa depan lo udah jelas suram soalnya, mubazir kalo belajar. Gak guna banget. Mending bolos, kan?"
Geri sudah mengangkat gitar ingin menghantam wajah Kenzo saat itu juga. Tapi seketika ia ingat gitar itu didapat dengan hasil jerih payahnya di toko roti Sang Ibu. Fix, Geri masih waras makanya ia letakkan gitarnya baik-baik, disandarkan pada pohon beringin.
"Yaudahlah, gak pa-pa," ucap Geri menenangkan diri sendiri. "Tapi gak etis banget lo ngajakin bolos ke beringin gini."
Kenzo acuh saja rebahan dengan wajah lempeng, "Kalo gue ajak ke hadapan Yang Maha Kuasa takutnya lo belum siap."
"Si anying!"
Nah loh. Keluar juga umpatan yang Geri tahan-tahankan dari tadi.
"UKS lah kuy!"
Geri bangkit menenteng gitar lalu menepuk-nepuk debu yang menempel di celananya. Sementara yang diajak makin ngegleser di tanah, heran gak tau kotor banget itu anak.
"Lo tau UKS tuh artinya apa?"
Geri mengernyit, "Unit Kesehatan Siswa kan?"
Kenzo menggeleng dengan tatapan prihatin.
"Undangan Kemaksiatan Siswa. Spot maksiat paling top setelah WC."
Geri jadi terdiam. Gak ngerti mau menghadapi Kenzo dan berbagai teori pembodohannya. Tak lama kemudian darah Geri dibuat mendidih sampai ke ubun-ubun karena ucapan Kenzo berikutnya.
"Gue takut lo khilaf kalo kita masuk ke UKS."
"Kalau mau zina gue juga milih-milih kali, babi. Gak mau gue sesama batang meski populasi wanita musnah dari muka bumi sekalipun!"
Kenzo menatap dengan pandangan merendahkan, "Oh ya?"
Akhirnya hari itu, gitar yang Geri jaga dan sayangi seperti pacar sendiri, menderita lecet di beberapa sisi dan kehilangan beberapa senarnya. Besoknya cowok itu juga mendapat lecet di berbagai sisi tubuhnya karena dibogem Juna.
Setelah itu, Geri bersumpah. Gak lagi-lagi dia berani macam-macam sama Kenzo apalagi sampai menghantam dengan gitar seperti yang dilakukannya kemarin. Takut dengan abang angkat anak itu.
Juna serem banget anying!
…………………………….
Bayi lelaki gembul umur lima bulan itu adalah ponakan Kenzo, anak kedua dari Raisya. Pipinya merah dan plisss, chubby banget. Kenzo yang gemas tak henti-hentinya menusuk-nusuk pipi bayi itu dengan telunjuk.
"Iiihhh nda boyeh!"
Kenzo memutar bola matanya mendengar suara anak pertama Mbaknya yang bawel banget dari tadi. Sibuk ngelarang-larang orang megang-megang adeknya.
"Iiii ndi biyih," ledek Kenzo yang langsung mendapat tabokan dari bocah perempuan itu. Kenzo memasang tampang tersiksa, pura-pura menghapus air mata ia berdrama di depan ponakannya itu. "Jahat! Gak kawan sama Teteh ya dek ya?" tanyanya pada Si Bayi yang telungkup di lantai.
Miya, anak sulung Raisya itu memeluk adiknya dengan menatap penuh permusuhan pada Kenzo.
"Ni de Ian nya Mi, Om jangan pegang-pegang."
Kenzo gemas sih. Ngeliat dua buntelan lemak lengket banget di depannya. Ian juga ateng banget dipeluk kakaknya. Mana ketawa lagi bayi itu. Tapi tetap saja omongan Miya ada yang mengganjal buatnya.
"Uncle, ini uncle. Bukan Om."
Padahal kan artinya sama saja. Tapi Kenzo berasa pedofil kalau di panggil Om oleh Miya.
"Papa pulang!"
Jeremy, abang ipar Kenzo datang-datang langsung heboh. Kenzo gak heran sih. Dia sudah kenal Jeremy dari dia masih orok, jadi sudah hapal tabiatnya.
"Yeeyy Papa!" Miya langsung lupa sama adiknya. Dia lari begitu saja ke arah papanya yang baru muncul masih dengan setelan jas kantor.
Jeremy gemas melihat langkah tertatih anak sulungnya. Ia angkat anaknya itu dan dicium sana sini, "Ahahah, miss me princes?"
Miya mengangguk kuat lalu memeluk leher papanya erat, "Miss papa banyak-banyak."
Astaga. Gimana Jeremy gak gemas coba?
Sedang Kenzo kini mengurus Ian yang mengulurkan tangan minta digendong olehnya. Ia angkat anak itu. Rasanya mau Kenzo gigit pipi tembamnya yang memerah itu. Kayak squishy, kenyal banget.
"Allo jagoan papa!"
Ian langsung heboh begitu Jeremy mendekat, minta digendong juga seperti kakaknya. Jeremy tertawa pelan lalu menurunkan Miya beralih mengambil Si Bungsu.
Kenzo keki sendiri melihat kedua ponakannya lengket banget sama Jeremy. Padahal Jeremy kan jarang dirumah, sibuk kerja. Kenzo saja yang sering ngajak main dua bocah itu malah dimusuhi.
Ya kan dia bapaknya mereka toohh Keeenn.
"Kenapa mukamu kusut begitu?" Jeremy bertanya sebelum ikut duduk lesehan di atas karpet dekat Kenzo.
"Iri dia tuh, Miya sama Ian lebih milih kamu."
Raisya yang menjawab. Wanita itu datang membawa kukis yang baru selesai di panggangnya dan duduk di dekat Jeremy.
"Lah, aku kan papanya," Jeremy tergelak.
"Iri apaan, Mbak jangan fitnah," gerutu Kenzo mencomot satu kukis tapi tangannya malah ditepuk Miya.
"Om jangan malah-malah mama Miya, ya!"
Kenzo jadi gak selera makan lagi, "Udah dibilang, ini Uncle bukan Om!"
"Om!" Miya kekeh.
Kenzo manyun. Sementara Jeremy mengernyit. Ia mengusap kepala anaknya dengan sayang.
"Uncle aja, Nak. Kayak pedofil kalau kamu pakai Om."
Ian yang dari tadi ngeliatin interaksi orang-orang dewasa di dekatnya itu hanya mengerjab lucu. Ia menepuk-nepuk wajah papanya.
"Eell."
"!!!"
Well. Meski kata-kata bayi itu tidak begitu jelas tapi Kenzo yakin Ian bilang 'uncle'. Okay! Dari sepotong kata pertama Ian itu Kenzo pastikan, Ian akan jadi pengikut setianya di masa depan.
………………………
"Jaga sikap!"
"Huh?"
Karin yang semula sibuk dengan sosis goreng menatap bingung Juna yang duduk di sampingnya. Emang dasarnya cewek itu absurd. Lain yang dibilang, lain pula tanggapan yang ia berikan. Dia menyodorkan sosis yang sudah ia gigit pada Juna.
"Mau ini?"
Juna menggeram tapi tak urung menerimanya. Dimakannya sampai habis guna meredam kesal menghadapi sikap ceweknya itu.
"Jangan kecentilan, jangan modusin cowok lain, jangan nempel-nempel cowok lain, terutama Rama. Lu udah ada gue, jangan cari yang lain lagi."
Juna itu tipe cowok posesif. Dan ia nyaris sinting karena memacari cewek liar kayak Karin. Spesies bar-bar yang matanya berbinar-binar melihat yang bening sedikit aja. Sikapnya yang welcome kesemua cowok dan sialnya lagi punya daya tarik tinggi, membuat ia banyak disukai. Karin tipe yang friendly, jadi meski rada gatel tidak membuat dia jadi dibenci. Orang-orang justru maklum dengan sifat itu. Karin dengan keliarannya adalah hal yang afdol dan sah dimata hukum rimba mereka.
Tapi, kewajaran itu tak berlaku bagi Juna. Kalau sudah jadi miliknya, ya berarti hanya miliknya. Gak ada cerita berbagi segala macamnya.
"Mulai deh sifat tukang ngaturnya. Mau gue putusin tapi sayang. Lo ganteng banget."
Juna menampilkan wajah datarnya. Bagai robot ia bangkit dari duduknya meningggalkan area kantin begitu saja. Namun buru-buru berbalik lagi saat Karin dengan heboh mengangkat tangan memanggil seorang cowok di pojok kantin.
"Rama! Sini mabar!"
Juna menangkap tangan Karin dan menurunkannya. Kalau dilihat posisinya seperti sedang memeluk Karin dari belakang. Ia menghela nafas penuh beban. Susah memang punya pacar titisan wild animal begini. Ditinggal meleng dikit bisa kecolongan.
"Jangan ganjen!"
Karin mana mau patuh begitu saja, "Rama, woi!"
Sementara yang dipanggil justru menatap ogah-ogahan dan memilih mengacuhkannya. Rama itu sahabat dari kecil Karin. Udah kelewat capek dia ngadepinnya. Berhubung Karin sudah ada pawangnya, ya sudah. Rama lega meski kadang suka horor sendiri saat Karin memakai dirinya untuk memanasi Juna. Mana Juna serem banget anjir!
"Tampang lo selow dikit, Si Ramayana jadi ciut begitu."
"Nyebut cowok lain lagi, gue makan tuh mulut!"
Serem sih iya. Tapi ini yang diancam kan Karin. Karin loh Jun! Mana takut dia. Malah cewek itu balik badan menatap Juna dengan mata berbinar.
"Ke rooftop yuk! Nyicil zina."
Damn! Karin dan segala sisi liarnya asdalah godaan terberat untuk Juna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments