Akhlaknya Kembar Siam

Bagian 3:

{Akhlaknya Kembar Siam}

"Gue mau pamer...."Itu Ares yang ngomong. Habis dipanggil ke BK dia menyusul teman-temannya ke kantin. Entah kesambet apa di jalan, datang-datang langsung bicara begitu.

"Sayangnya gak ada yang mau dipamerin," Geri yang menyela. Tatapannya tampak fokus ke buku dengan tangan bergerak cepat menyalin apa-apa saja yang ia lihat. Ceritanya anak satu ini sedang ngebut mengejar membuat PR.

Ares duduk dengan tenang. Mau menyangkal juga tidak bisa karena ucapan Geri itu mutlak benar. Dia melirik ke samping pada Kenzo yang tampak serius berpikir.

"Ngapa lo?"

Kenzo menoleh, lalu menunjukkan lembar TTS yang sedang diisinya. "Kasih liat doang, gak minta tunjukkin. Lo kan bego."

Memang kurang ajar. Tapi, lagi-lagi, Ares pasrah saja. Toh, apa yang dibilang Kenzo bukan opini melainkan fakta.

"Res, lo tau Herma kan?"

Tiba-tiba Geri masuk ke mode gibah. Buku PR-nya di anggurin begitu saja.

Ares mengedikkan bahu, "Entah."

"Ngapain lo bahas sesama jantan?" Aslan muncul dengan tampilan bak murid teladan. Ada buku di tangannya serta kaca mata yang masih dipakainya. Jarang-jarang Aslan terlihat pakai kacamata kecuali saat sedang belajar atau aktivitas lain yang berhubungan dengan buku. Katanya sih, matanya mendadak minus kalau sudah urusan begitu.

Ares seakan baru menyadari sesuatu yang janggal, "Lah anying! Lo belok??!"

Geri sepet duluan. Dia kemudian memilih lanjut membuat PR ketimbang bicara dengan Ares. Daripada berkata kasar, lebih baik bersabar.

"Juna mana?" tanya Aslan setelah melihat Kenzo duduk sendirian. Bukannya apa-apa, tapi dua orang itu sudah sangat lengket. Hal langka jika mereka berdua tidak berada di tempat yang sama.

Kenzo menjawab acuh, "Sama ceweknya."

"Oh," Aslan ikut duduk kemudian membuka halaman tengah buku yang dibawanya tadi. "Tadi Altair pesen katanya lo berdua disuruh ke gudang," ujarnya menunjuk Ares dan Geri bergantian.

Geri menggosok hidungnya yang terasa geli, lalu bertanya, "Ngapain?"

"Iya, ngapain?" Ares membeo.

Aslan menghela nafas dengan raut serius. Ia membuka kacamatanya kemudian menatap dua orang pemilik nama yang ia sebutkan tadi. Sedang keduanya sudah menyimak dengan serius menanti jawaban.

"Nanya mulu kayak Dora!"

"Oalah asu!"

….……………..

Sampai di gudang Ares dan Geri benar-benar menemukan keberadaan Altair. Padahal mereka udah su'udzon duluan ngira dibegoin Aslan. Lagian buat apa juga Altair sok keren pake acara nitip pesan segala? Teknologi sudah maju, dia ketik beberapa kata juga informasi itu sudah sampai ke alamat tujuannya.

Dua cecunguk itu tidak tau saja kalau ponsel Altair kehabisan kuota habis dipakai streaming oleh Vela.

"Bukannya gue mau ikut campur urusan pribadi kalian...." Altair mulai bicara dengan tangan terlipat di depan dada. Posisinya ia setengah menyender pada meja yang tersusun disana.

"Tapi karena Geri temen gue, dan gue tau masalahnya makanya gue gak bisa sepenuhnya menutup mata dan telinga."

Mendegar namanya disebut, Geri jadi melangkah untuk masuk lebih dalam. Rupa-rupanya Altair tidak sendiri. Disana ada satu sosok manusia lagi yang maha shining, shimmering, splendid, Hendrio Mahesa alias Herma. Manusia blasteran surga satu-satunya yang digelari prince charming top one di sekolah ini. Dan dia juga manusia yang hampir jadi gibahan Geri tadi.

Usut punya usut, Herma yang kabar-kabarnya anak konglomerat ini, yang baru pindahan semester yang lalu, ternyata naksir berat pada temannya manajer klub basket sekolah. Sampai dia bela-belain masuk basket buat deketin temennya gebetannya itu. Tapi malah dia jadi ketua tim basket. Niatnya ngalus, kok sukses?!

Manajer klub basket saat ini namanya Dinda. Lalu Dinda ini walau terkenal juga disekolah tapi cuma punya satu teman. Namanya Sera. Herma naksir Sera. Niatnya gabung basket mau pedekate. Eh malah kebablasan main basket sampe mampus, sampe lupa tujuan awal. Tapi akhir-akhir ini ia terlihat mulai melancarkan serangan demi serangan untuk mencoba menempati hati Sera.

Lalu hubungannya sama Geri apa?

Herma dengan Geri jelas gak ada hubungan. Yang ada hubungan itu Geri dengan Sera. Dua orang ini sudah pacaran dari jaman SMP. Dari kelas 2 SMP sampai sekarang mereka kelas 2 SMA, itu sudah tiga tahun. Selama itu hubungannya mulus-mulus saja. Dibilang mulus juga tidak, karena hampir setiap hari kedua oknum bilang putus-putus-putus, tapi hubungannya jadi malah makin erat. Tapi selama ini belum pernah ada pihak ketiga diantara mereka.

Sera ceweknya judes, susah ditaklukan meski ia welcome saja bagi orang yang mendekatinya. Geri, orangnya biasa saja, tidak mencolok, meski dia ramah tapi paling handal dalam bersikap tak peka makanya cewek-cewek nyerah duluan dengan sifat leletnya. Dengan keanekaragaman karakter itu makanya hubungan mereka bisa dijauhkan dari benda berlabel 'PHO'.

Biasanya juga Geri oke-oke saja ceweknya dekat dengan laki-laki manapun. Instingnya masih mengatakan 'aman'. Tapi saat kedatangan Herma, alarm seketika menyala. Dan menilik dari seberapa populer dan maha sempurnanya Herma dimata para wanita, Geri jadi tau, Herma itu berbahaya. Bahaya untuk hati Sera, bahaya untuk hubungan mereka.

"Lo juga, ikutan nyoh! Rapat pleno."

Itu kalimat terakhir Altair sebelum ia melangkah pergi meninggalkan tiga orang itu disana.

"Hubungannya ini sama gue apa?" Ares planga-plongo, tidak paham maksud Altair ikut memanggilnya kemari.

Saat itu Altair yang sudah hilang di balik pintu kembali menyembulkan kepalanya, "Karena akhlak kalian kembar siam."

"...."

"Kalau gak ada lo akhlak Geri tinggal setengah, gak bakal mampu ngadepin kesempurnaan yang ada di depannya."

Semua yang ada di gudang itu melongo dengan jawaban Altair. Bisa-bisanya otaknya memikirkan hal semacam itu.

"Ger, takutnya keluar dari sini lo bakal cacat mental kalau gak ada Ares."

Geri ingin mengumpat tapi tertahan ketika Altair meletakkan telunjuk di bibirnya mengisyaratkan untuk diam.

"Dan Res, takutnya kalau gak ikut kesini lo malah nyari kesempatan buat nikung."

Herma yang manusia normal mana paham pembicaraan mereka. Jangankan dia, Geri dan Ares yang abnormal juga gak paham dengan omongan sok misterius Altair.

Sang Leader Of Sekte itu ngacir begitu saja setelah membuat orang yang di dalam bertanya-tanya. Baru juga Geri mau mulai buka suara dengan rangkaian kalimat luar biasa di otaknya. Altair malah muncul lagi dengan wajah datarnya yang entah kenapa kelihatan tengil dan membuyarkan semua kata-kata di otak Geri.

"Ares, gue tau lo suka Sera. Jadi lo boleh hujat Herma."

Ares dibuat speechless.

Geri ketar ketir saja.

Dan Herma menatap mereka bergantian berulang kali sampai kepalanya pusing sendiri.

………………………….

"Abang, meninggal tuh apa?"

Geri lagi nyisirin rambut adeknya yang barusan nanya. Posisinya mereka lesehan di teras depan dengan mainan yang bertebaran di sekitar mereka. Dengan Si Bocil yang bernama Cila itu duduk di atas pangkuan abangnya.

"Meninggal tuh...." Geri mikir dulu. Bingung mau mendeskripsikan bagaimana. Disaat begini ia rasanya butuh ada Rigel disini. Meski rada senewen, tapi temannya itu tergolong dalam kategori manusia dengan otak brilian.

"Iya, meninggal tuh apa???" Cila mendongak sambil goyang-goyangin kakinya gak sabar nunggu jawaban Sang Abang.

"Sabar atuh, abang lagi mikir ini."

"Emang abang bisa mikir?"

Geri liatin adeknya kemusuhan, "Dek, kamu jangan kebanyakan gaul sama Ares, deh."

Cila bodo amat dengan tampang sepet abangnya. Malah dia nambah muji Ares dengan bilang, "Aa' Ales itu baik tau. Seling ngajak Cila main, jajanin Cila, pokoknya baiiikkk banget. Selu! Olangnya lame!"

Geri mau marah juga gak jadi karena adeknya yang ngomong cadel. Heran. Padahal Cila sudah TK tapi masih juga tidak bisa ngomong 'R'.

"Jadi, meninggal tuh apa?"

Bisa-bisanya dia balik ke pertanyaan itu lagi. Geri kira sudah lupa.

"Meninggal tuh... ya gak napas."

Cila menahan nafasnya lalu menengok pada Geri, "Belalti ini Cila meninggal?"

"Ya kagaklah!"

"Tapi katanya meninggal itu gak napas?"

"Y-ya bener sih?"

"Jadi—" Cila sudahi acara tahan nafasnya, "—tadi itu Cila meninggal?"

Geri menggaruk pelipisnya, "Iya, kali."

Lalu kakak beradik itu tentram lagi. Cila asik dengan slime-nya, lalu Geri kini fokus mengepang rambut anak itu.

"Abang, udah belum?"

"Bentar, nih tinggal ngikat doang. Udah deh cakep!"

Cila meraba-raba hasil kepangan abangnya. Meski tidak bisa melihatnya tapi anak itu tetap saja menghina, "Jele."

"Iya kamu jelek."

Tanpa aba-aba Cila menabok wajah Geri, "Cila itu kelen!"

Cila itu paling anti dengan kata 'cantik', jadi dia mendeskripsikan dirinya dengan keren. Aneh. Tapi masih bisa Geri toleransi ketimbang anak itu ngaku-ngaku ganteng padahal kelaminnya bukan lakik.

"Entar abang mau main keluar, kamu abang titip di warung depan, ya."

Cila yang sudah berdiri mau ngambil bolanya yang jatuh ke halaman depan jadi berhenti bergerak seketika, "Iiihhh gak mauuuu! Ikut abangg...."

Geri tidak memperdulikan adeknya yang gelendotan di kakinya kayak jenglot. Dia berjalan tanpa hambatan dan memunguti mainan Cila satu persatu.

"Awas kamu, abang mau beres-beres!"

"Tapi, Cila diajak kan ya?"

Geri diam saja dan memasukkan mainan Cila satu persatu ke dalam tas milik anak itu. Sementara Cila masih heboh ingin ikut. Padahal tanpa anak itu minta pun pasti akan Geri bawa. Di rumah tidak ada siapa-siapa, yakali Geri nekat ninggalin adeknya apalagi sampai nitipin di warung. Bisa-bisa dia digantung terbalik oleh ibunya di pohon rambutan depan rumah.

"Cila mau nanya,"

Cila sudah tenang lagi setelah Geri belikan es potong yang baru saja lewat. Acara beres-beres di tunda. Mereka justru kini sibuk makan es potong sambil main ayunan di bawah pohon rambutan. Ayunan yang dibuat dari ban bekas itu cuma ada satu. Jadi mereka berbagi dengan adil, dimana Cila duduk dipangkuan abangnya.

"Perasaan kerjaan kamu itu nanya mulu kayak Dora."

"Orang jaat, nih," Cila liatin abangnya kemusuhan.

Geri ketawa pelan lalu meletakkan dagunya di puncak kepala sang adik, "Sok atuh, mau nanya apa?"

"Tadi di sekolah Cila disuluh celita sama bu gulu."

Aduh, perasaan Geri gak enak.

"Telus, Cila cerita, Cila punya Ibu yang kelen sama abang jele."

Muka Cila serius resek banget pas ngomong 'abang jele'. Geri pengen nabok tapi gak jadi begitu adiknya lanjutin cerita.

"Ibu gulunya nanya, 'ayah Cila gimana?'", sampai disitu Cila noleh ke Geri sementara Geri sudah menatap lamat adiknya itu.

"Emangnya Cila punya ayah ya, bang?"

Hari ini Geri patah hati kedua kalinya. Pertama karena melihat Sera ketawa bareng Herma di sekolahan tadi. Kedua karena pertanyaan adiknya. Dan jujur, sekarang rasanya jauh lebih sakit ketimbang saat dia nahan cemburu setengah mati pagi tadi.

……………………..

Anggota sekte lagi pada hadir semua. Mereka bergerombol di satu ruangan dengan berbagai kegiatan random. Dimana ruangan yang mereka tempati ini adalah ruangan pribadi yang ada di bengkel milik Ares. Memang atas nama Ares, tapi pengelolaannya dilakukan oleh mereka semua.

Aslan dan Rigel sedang main catur. Altair sibuk chatan dengan ceweknya. Juna ngelus-ngelusin bulu kucing kesayangannya yang selalu di bawa kemana-mana sambil baca komik. Vino sedang menelungkup di lantai nonton netflix dari ponselnya. Geri sama Kenzo lagi seru-serunya main PS. Cuman Ares yang gak ada kegiatan. Makanya dia jadi sasaran kegabutan Cila. Si Bocil memang sering diajak nongkrong sama abangnya walau ujung-ujungnya malah dianggurin karena Geri sibuk sendiri.

"A' pegangin dulu," pinta Cila menyerahkan ponsel Geri yang dari tadi dimaininnya.

Ares nurut, nerima ponsel yang disodorkan Cila. Tatapan matanya mengikuti gerak-gerik anak itu. Dilihatnya Cila menghampiri Juna lebih dahulu. Mengobrol sebentar Cila tampak manggut-manggut dan lanjut kepada Aslan dan Rigel. Anak itu tidak berhenti sampai kemudian dia kembali ke Ares lagi.

"Loh, Si Geri sama Kenzo gak sekalian lu samperin Cil?"

Cila ngelirik abangnya yang sibuk sama stik PS, sebelum balik liatin Ares lagi. "Aa' dulu," katanya.

Ares jadi bingung. Ini bocil kok tampangnya serius banget.

"A' Ales punya ayah gak?"

Tanpa mikir, spontan Ares jawab, "Yakali kagak!"

Cila mengangguk dengan wajah sok serius, "Yaudah," katanya kemudian berjalan ke arah Geri dan Kenzo. Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba tangan mungilnya menabok wajah Geri dengan kuat sampai menimbulkan bunyi yang membuat semua mata tertuju pada mereka.

"Duh! Dek, kenapa lagi? Abang lagi main, awas ih!"

"Tuh!"

Geri bingung, ini maksudnya apaan?

"Tuh apanya?"

Cila menunjuk Juna, Altair, dan semua temen-temen abangnya satu persatu, "Mas Jun ada ayah, Kak Al ada ayah, bang Gel ada ayah, semua ada ayah! Kenapa Cila enggak?!"

Kenzo nunjuk dirinya sendiri, "Kak Zo belom ditanyain loh padahal."

"Kak Zo diem, ya. Cila nda ajak ngomong kak Zo."

Geri menghela nafas penuh beban. Harusnya pas dari awal adeknya nanyain itu dia langsung aja jawab—

"YA KALO GAK PUNYA BAPAK, MASAK EMAK LU MEMBELAH DIRI  ONEEEENGGG!"

Ajaib sih. Pemikiran Geri bisa tersuarakan lewat mulutnya Ares. Entah ada unsur mistis, atau memang unsur ketidaksengajaan.

"Noh, denger," akhirnya Geri cuman bisa ngomong begitu. "Lagian mana ada manusia yang gak punya Ayah didunia ini?!"

Lagi serius padahal, tapi Juna menyela membuat suasana jadi ambyar. Cila juga jadi gagal percaya sama abangnya.

"Nabi Isa gak ada Ayah, Ger."

"Belalti Cila gak punya ayah juga?"

"Gak, gak punya, dah diem!" Geri cape sih, ngadepin adeknya yang bawel banget itu. Dari tadi itu mulu yang diungkit.

"TAPI YANG LAIN PUNYA??!"

Tuh kan, malah ngamok. Mana bibirnya udah gemeteran gitu mau nangis. Cuma Altair yang cepat tanggap buat mengatasi bocah itu.

"Cila punya ayah kok, sama kayak kita."

Tapi bukannya tenang Cila malah menatap Altair kemusuhan, "Bo'ong. Kak Al kalau bo'ong ental lambutnya kayak dola."

Altair jadi speechless, beneran ngebayangin rambutnya berubah kayak rambut dora. Style mangkuk and poni yang norak banget menurut dia. Ew.

Lain lagi dengan Geri yang malah menjitak kepala adeknya itu, "Denger mitos darimana dah. Mending kita pulang, hawa kamu udah gak enak gini."

Geri lupa kalau omongan itu adalah doa. Besoknya dia keteteran sendiri lantaran adeknya demam tinggi. Rewel minta ampun. Sedang Ibu mereka lagi sibuk-sibuknya di toko roti, dari subuh udah gak keliatan batang hidungnya.

Geri mengutuk dalam hati. Menempelkan plester demam di dahi adeknya.

'Gara-gara ayah nih!'

Dan Geri lupa lagi. Kalau ayah mereka gak mengambil andil apapun untuk kondisi Cila saat ini. Bocah itu demam karena dijajanin es potong kemaren sore sama abangnya.

Cila liatin abangnya sebel, "Gara-gara abang, nih!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!