Allooooo
Terimakasih sudah mampir ke lapak saya, moga betah dan suka.
And sesuai judul, berikut potret para kampret kesayangan saya di work ini yang semoga menjadi kesayangan kalian juga.
1. Altair
si leader yang hobinya makan dan sedikit------sedikiiiiiiiiiiittttt------suka game karena bisa bikin dia punya alasan untuk menggabut.
2.Kenaslan Giovandra
tampilannya memang alim. dari sononya juga dia aslinya memang anak baik-baik. tapi karena salah peragaulan yah.. makanya jadi produk gagal. percaya atau nggak, dia adalah biang zinnnah sesungguhnya di sekte alih-alih Vino. dan taukah kalian kalau Aslan itu merupakan manusia perusak suasan numbero uno?
3.Rigel Arcturus
ini nih manusia kampret yang meracuni Aslan si anak mama. Tapi dulunya Rigel juga gak nyangka kalau Aslan bisa lebih kampret darinya. Rigel ini dulu orangnya blangsak banget. Tapi setelah dihadiahi bogem penuh cinta dari Altair dia berbalik jadi babu Altair dan Aslan. Tau gitu ogah banget Rigel gangguin meeka dulu.
4.Regian Antares
Ares ini bisa dibilang tipe sadboy sih. tapi gak segitunya juga, dia gak segalau itu kok. cuman ya itu, memang sial aja dia malah naksir sama pacar temennya sendiri. kasian, mana masii muda. oh ya, gitu-gitu Ares ini pintar masak loh. soalnya cita-cita Ares kecil itu masakin mama jani setiap hari seumur hidupnya. soalnya kasian, mama jani cuman bisa bikin telor ceplok.
5.Geri Argata Mulkan
widih! dari namanya keren nih. tapi jangan tertipu, Geri tidak seperti yang kalian hayalkan. dia bukan cowok badboy tajir melintir yang tunggangannya saban hari kuda besi yang bunyi knalpotnya brum brum atau pun lamborghini dan sekelasnya. dia cuman manusia biasa, yang kalau tiap pulang sekolah kerjaannya ngebabu dirumah dan menyumpal lambung adik ciliknya dengan semangkok mi rebus penuh micin. tapi gitu gitu, Sera cinta mati loh sama makhluk tuhan yang satu ini.
6.Arjuna Maheswara
dia ini manusia classy yang paling gercep soal kocheng, nyebat, dan satu lagi yang gak ketinggalan adalah Karin. kalau rokok bisa Juna turunkan peringkatnya untuk sang pacar tercinta, tapi kalau untuk kucing terlebih Queen (majikan kesayaangan Juna, anggora putih yang berhawa bangsawan) jangan harap ada yang bisa menukar urutan prioritas Juna terhadapnya.
7.Kenzo Alviano
si pewaris keluarga Alviano yang tajir melintir ini nyatanya tidak setajir itu pemirsah. adik angkat Juna tersebut dikabarkan kerap mengalami krisis moneter lantaran nilainya yang bablas melulu dan berakibat uang jajannya disetrap. tapi mau gimana lagi, orang udah goblok dari lahir, mau dipaksa begimanapun ya tetap aja begitu hasilnya, begitu pikir Kenzo. kasian, mana bukan anak tunggal kaya raya.
8.Alvino Gerrant Wijaya
*tahukah kalian wahai human siapa nak Alvino ini? dia adalah si bontot sekte sekaligus bungsu dari tiga bersaudara. orang bilang Vino itu playboy , bngsat sejati yang berkelana hati ke hati. tapi tau gak sih kalau sebenernya Vino itu cuman manusia yang ternistakan oleh moncong julid para manusia jahanam. asal kalian tau nih bocah bahkan gak punya riawayat asmara sepanjang dia hidup**
...............................................................................................................
Mereka Sesepuhnya
_________________
"Gue udah negatif jangan lo positifin lagi, deh!"
Aslan mengangguk syahdu, "Emang iya, sih. Pengaruh buruk lo emang, gak ada baiknya."
Rigel sepet melihat pose Aslan yang setengah berbaring di sofa dengan memeluk toples berisi camilan keripik kentang. Ia yang berbaring di atas lantai dengan penuh kedengkian menendang Aslan dengan tumitnya.
"Mati lo!"
Tak puas begitu saja, Rigel juga mengambil bantal membekap wajah Aslan dan merebut keripik lelaki itu.
"WEH SIALAN!"
"KEN!"
Tepat sebelum Aslan meluncurkan serangan balasan, terdengar teriakan dari arah dapur. Disusul dengan kemunculan seorang wanita tua yang memegang kentang dan pisau di masing-masing tangannya.
"Bahasanya, Ken...."
Ken itu adalah panggilan kesayangan dari Oma untuk Aslan. Dan sesuai dugaan, mereka; tepatnya Rigel, Aslan dan Altair kini tengah berada di rumah Aslan yang ditinggali hanya oleh mereka berdua. Padahal rumah ini megah sekali bak istana, tapi penghuninya hanya terdiri dari wanita tua itu dengan cucunya.
"Kenapa Oma?" Aslan mengerjap dengan tampang tak bersalah. Lalu dengan curang ia tersenyum manis dengan mata yang melengkung bak bulan sabit. Jelas Oma tidak jadi mengomel, dia hanya menghela nafas sejenak lalu kembali ke dapur lagi.
"Aaa.... Oma gak adil, kemaren aja aku diomelin," protes Rigel tapi tak digubris oleh wanita tua itu.
Aslan menaik turunkan alisnya memanasi, "Setiap makhluk hidup berhak mendapat keadilan bro. Lah lu bentukan begini golongan mana yak?"
Baru saja Rigel berniat membalas dengan lebih pedas, keluhan Altair justru terdengar. Lelaki itu berkutik dengan laptop Aslan yang dipinjamnya. Tampak moodnya tak terlalu baik, terbukti dengan decakan serta kening yang berkerut.
Rigel penasaran, ingin mengintip layar laptop. Tapi belum juga tampak bayangan apa-apa ia sudah ditabok.
"Resek!"
"Gue yang harusnya ngomong gitu ye anjing!"
Rigel tidak terima Altair memukulnya terlebih ujung jari Altair mengenai matanya, perih. Sedang Aslan tertawa senang, ingin mengintip juga karena pemasaran tapi Altair sudah keburu mematikan laptopnya.
"Heh mau kemana???"
"Vela."
Altair ini memang aneh. Sebagai Leader dari S3KT3 B1R1-B1R1 dia terlalu sulit ditebak. Kadang ngeselin, kadang dingin. Sifatnya berubah-ubah dengan pola dan sebab yang tak jelas.
Tapi bodo amat dengan itu. Rigel tidak peduli. Yang ia pedulikan di detik pertama Altair menyebut nama Vela adalah ia harus mengikuti sohibnya itu. Karena, jika ada Vela maka 99,9999% pasti ada Spica, cewek yang kalo kata Altair sudah putus hubungan dengan Rigel.
"Buru nyet, lo musti ikut!" Rigel menarik paksa Aslan yang tidur malas-malasan di sofa, tampak tak berminat. "OMA KITA PERGI DULU YAAA!"
Aslan berjalan gontai, "Kenapa gue harus ikut kalian membucin? Ngapain coba?!"
"Karena kita bertiga sesepuh sekte," Rigel menjawab asal sambil membukakan pintu belakang mobil menyuruh Aslan masuk. Sudah seperti bodyguard saja lagaknya.
Aslan mengernyit, bergeming di depan pintu mobil yang terbuka, "Apa hubungannya coba?"
"Kalo misal Altair berubah edan pas nyetir, kami mati lo juga harus ikut mati!"
TIN! TIN!
DUGH!
"******!"
👎👎👎👎👎👎
Sinar matahari sedang redup-redupnya hari ini. Baru juga jam empat sore tapi gelagatnya sudah seperti suasana senja saja. Langit mendung dan suram, sesuram wajah Altair yang duduk dengan penuh hawa gelap di balik kemudi.
"Hah! Omegat!" Rigel berseru dramatis dengan tangan menutup mulutnya yang terbuka lebar, persis banci di perempatan lampu merah. Tapi tatapan matanya tidak sesyok itu. Justru lebih terlihat nyeleneh dan mengejek.
"Duhai Kakanda, siapakah gerangan yang bersama Kakak Ipar? Apakah ini pertan-mph!"
Rigel melepeh keluar tisu yang disumpalkan Aslan ke mulutnya. Niatnya mau protes tapi mendapati jidat Aslan memerah serta aura mematikan yang dikeluarkannya, Rigel jadi menciut. Untung saja Aslan duduk sendirian di jok belakang. Kalau Rigel ikut duduk disana bersamanya, sudah dipastikan mereka akan baku hantam sepanjang perjalanan.
Semua berawal ketika Altair menekan klakson dengan tidak sabaran membuat Rigel reflek mendorong paksa Aslan untuk masuk ke mobil. Dan... tentu sudah bisa ditebak bagaimana endingnya.
"Pokoknya kemusuhan gue sama lo! Benjol nih anying!"
Tidak peduli teman-temannya yang cekcok, Altair keluar dari mobil. Kaki jenjangnya melangkah pasti dengan pandangan datar. Mulai dari dirinya yang menyeberangi jalan saja sudah menarik perhatian orang sekitar, terutama para kaum hawa. Sampai kemudian ia mendudukkan dirinya pada bangku yang disediakan di salah satu warung disana.
"Anjir udah teleportasi aja tuh orang!"
Rigel tidak mau ketinggalan. Ia menyusul Altair, bergabung di tempat yang sama. Tidak peduli meski kedua gadis yang menghuni meja itu tidak menyambut ramah kehadiran mereka.
Aslan yang ditinggal sendirian mau tak mau ikut menyusul. Meski akhirnya ia hanya bisa berdiri canggung karena tidak kebagian tempat duduk.
"Liat situasi. Pergi."
Yang ngomongnya suka sepotong-sepotong ngikut-ngikutin Juna itu adalah Altair. Wajahnya kusut sekali. Menatap tidak bersahabat pada seorang cowok di hadapannya. Masih tidak ada pergerakan ia lalu menoleh ke samping pada Vela yang makan dengan tenang seolah tak yang terjadi.
Kerutan di kening Altair bertambah berkali-kali lipat saat ia melihat Vela yang makan mie dengan belepotan.
"Lo pilih!"
Vela menatap acuh sambil mengelap mulutnya dengan punggung tangan, "Apa?"
"Disini. Atau ikut gue."
Tidak ada nada bertanya. Sepertinya Altair sudah menetukan jawaban mutlak yang harus Vela ucapkan. Tapi, gadis itu sengaja mengulur-ulur dengan pura-pura berfikir.
Sedang tempat duduk Rigel kini sudah diduduki oleh Aslan, karena Rigel sudah kabur mengejar Sang Mantan yang mendadak sakit mata melihat kedatangannya.
"Sori bro, tapi dia gak akan pergi sama lo. Mending lo aja yang cabut."
Cowok asing di depan Altair yang menyahut. Tapi Altair tidak menggubris dan hanya terfokus pada Vela. Sampai kemudian cewek itu menjawab dengan enteng.
"Bener juga kata Gilang," ujarnya dengan ekspresi seolah baru mengingat sesuatu yang sangat penting. Ia kemudian tersenyum manis, "Lo balik aja, gih! Gue masih mau disini."
Altair meradang mendengarnya. Lain dengan Aslan yang menopang dagu dengan malas. Ia heran dengan Vela ini, selalu saja memancing amarah Altair padahal sangat tau kalau Altair itu orangnya emosian.
"Gue gak suka. Ayo pergi!"
Dengan santai Vela mengangguk, "Ogah!"
"Harusnya kepala lo ngegeleng kalo itu jawabannya."
Suara itu mengalihkan atensi Aslan. Seorang cewek dengan setelan serba abu-abu baru saja datang dan menduduki tempat yang semula diduduki Spica. Fokus Aslan terpaku pada sosok itu, meski telinganya masih juga mendegar suara kekehan Vela dan decakan sebal Altair.
"Lo masih gak pergi juga bahkan setelah diusir cowok gue?" Sarkas Vela pada lelaki bernama Gilang itu.
Gilang tampak salah tingkah. Meski masih dengan raut arogan tapi ia tidak bisa membalas apa-apa akibat rasa malu setelah berlagak di depan cowok orang. Sial! Mana dia tau kalau ternyata Vela sudah ada pawangnya. Lantas dengan sendirinya dia membawa diri untuk mundur dari sana.
"Jangan dipelototin gitu amat! Ntar lu belok kan gak lucu," tutur Vela dengan satu tangan menangkup rahang Altair dan mengarahkan wajah suram lelaki itu padanya.
"Penolakan lo juga gak lucu!"
Untuk kesekian kali, Vela lupa lagi kalau Altair itu cowok yang pendendam.
👎👎👎👎👎👎
Spica menghentakkan kakinya kuat-kuat karena kesal, "Kita udah selese ya anjing!"
"Yang selesai kan kita, bukan Rigel dan Spica," balas Rigel nyeleneh sambil terus bergerak ke kiri dan kanan menghambat langkah Spica.
"Ngeyel banget sih jadi orang!"
Spica menyerah. Ia capek terus-terusan menghindar tapi ujung-ujungnya juga ketangkap oleh Rigel. Kini dia berkacak pinggang, menatap lamat-lamat dengan wajah kusut lelaki yang pernah menjadi kekasihnya itu.
"Mau lo tuh apa sih?!"
Pertanyaan yang klise memang. Tapi hal itu sudah sepantasnya Spica pertanyakan disini. Dia sudah susah payah untuk tak lagi terjebak di zona yang sama. Dia sudah melangkahkan kaki untuk keluar. Tapi sialnya, Rigel justru terus menghalangi langkahnya untuk meninggalkan semua tentang mereka.
"Gue kan udah bilang, meski udah putus pun, gue mau kita putus baik-baik. Gak musuhan begini!"
Spica kesal. Lantas tanpa aba-aba ia menendang tulang kering Rigel sampai cowok itu mengaduh kesakitan terbungkuk-bungkuk memegangi kakinya.
"Dan seharusnya lo juga ingat," Spica menjeda ucapannya sambil mengambil sebuah kerikil di jalan ia melanjutkan, "... kata 'putus' dan 'baik-baik' gak seharusnya lo gabungin dalam satu frasa!"
Lalu sekuat tenaga dilemparnya kerikil kecil itu ke muka Rigel dengan penuh dendam.
"MATI LO BAJING!"
Sakitnya sih tidak seberapa, tapi bagai ada kekuatan mistis Rigel dibuat jatuh terduduk olehnya. Cowok itu hanya bisa berwajah pasrah melihat langkah lebar Spica yang begitu tergesa menjauh darinya.
"Kurang digebuk lo kayaknya."
Rigel menoleh, mendapati Ares dan Geri yang datang menenteng sebuah gitar. Ia tertawa hambar sambil mengelus bekas lemparan Spica di keningnya.
"Iya nih, kurang."
Geri mendengar itu hanya bisa ikut tertawa saja. Menertawakan kebodohan temannya yang satu itu. Wajar jika Spica sampai sebenci itu padanya.
"Lo yang mutusin, lo juga yang gamon. Sinting!"
👎👎👎👎👎👎
Ini.... Entah Aslan sedang simulasi jadi penguntit atau memang sudah benar-benar jadi penguntit. Yang jelas penampilannya sok misterius dengan sebuah topi hitam di kepala. Gerakannya mencurigakan. Berjalan sebentar, lalu berhenti. Berjalan lagi, lalu tiba-tiba sembunyi.
Kemudian langkahnya memasuki sebuah gang yang tampak sempit dan lengang. Aura di sana juga terasa lebih mencekam lantaran sore yang hampir bersinggah di pelabuhan senja.
"To the point aja deh. Lo ada perlu sama gue?"
Aslan belum sempat berfikir apalagi menghindar saat orang yang berjalan di depannya berbalik dan dengan gerakan cepat mencengkram kerah bajunya.
Tampilannya kasual. Dengan nuansa abu-abu dari atas ke bawah. Rambutnya dipotong sebahu dengan warna karamel yang tampak pas. Kulitnya tidak terlalu putih, namun tampak cerah dan enak di pandang. Lalu bola matanya juga, berwarna coklat seperti orang kebanyakan namun terlihat lebih terang dengan daya tarik yang memabukkan.
Sebut saja dia Liora. Salah satu dari tiga serangkai, sahabat karib Vela dan Spica. Niatnya hari ini ingin bersenang-senang dengan teman-temannya, namun begitu datang semua sudah bubar. Vela juga pergi bersama Altair beberapa saat setelah kedatangannya tadi. Lalu tinggal dia dengan pria penguntit yang sudah ia tangkap basah ini.
Gerimis turun secara samar, menyelamatkan Aslan dari tatapan tajam Liora. Gadis itu melepas cengkeramannya kemudian berbalik pergi. Tapi, ya, Aslan itu tak ada kapok-kapoknya. Sudah ketahuan begitu masih juga ia mengekori langkah Liora dari belakang.
"Gue saranin lo mending pergi! Gue gak suka berurusan sama orang asing!"
Nada yang Liora gunakan begitu datar. Namun Aslan justru tak memberikan balasan yang berarti. Dia hanya diam dengan patuh mengikuti setiap langkah Liora memasuki lika-liku gang yang sempit dan kumuh.
Hingga kemudian mereka sampai di jalan buntu. Liora menghela nafas capek. Dia akhirnya menyender di dinding gang dengan tangan terlipat menatap penuh selidik pada Aslan yang masih juga belum menyerah mengikutinya.
"Gue terus terang aja, ya. Gue masuk ke sini buat ngindarin lo. Dan sejujurnya gue gak hapal jalan sini. Jadi tolong lo hargai usaha gue ini. Jangan. Ikutin. Gue. Lagi!"
Setelahnya Liora melangkah pergi sambil merogoh saku membuka google maps di ponsel untuk mencari jalan keluar. Baru berjalan beberapa meter ia sudah berhenti. Terdengar cowok di belakangnya yang sedari tadi diam seperti orang bisu, kini mengeluarkan suara jernihnya yang khas.
"Liora...."
"Hoo.... See! Lo ternyata tau nama gue. Good job! Tapi mulai hari ini, lupain nama itu dari otak lo selupa-lupanya!"
Aslan mengerjab satu kali. Dalam otaknya seakan terpampang papan tulis besar dengan tulisan 'larangan=perintah'.
"Liora."
Liora mengernyit tidak suka, "Dengar, baik hari ini maupun di masa lalu, kita itu hanya orang asing. Just remember this one... Ken."
Aslan tersenyum sampai matanya menyipit, "O-ow, I have forgot it again."
Liora menatap Aslan dengan rumit. Lalu ia pergi dari sana begitu saja.
👎👎👎👎👎
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments