Aku adalah seorang mahasiswi sebuah universitas ternama di kotaku. Teman-teman ku kebanyakan lelaki. Mereka suka mabuk, bermain wanita, bahkan beberapa diantaranya mengonsumsi narkoba.
Sebagai seorang teman, tentu saja aku menutupi semua perbuatan bejat mereka. Aku tidak akan mengatakan pada siapapun. Terutama karena satu hal. Di antara mereka ada yang aku cintai sejak duduk di bangku SMA.
Namanya Michael. Sejak SMA, teman-teman ku sering menjodohkan kami. Ya, sebenarnya karena nama kami hampir mirip. Dia Michael dan aku Michaela. Karena saat itu aku belum pernah jatuh cinta, ledekan teman-teman ku membuat cinta tumbuh perlahan di hati. Meskipun aku tahu bahwa Michael sering berganti-ganti pasangan tidur, aku tidak peduli.
Bagiku, cinta tidak harus menuntut. Apapun yang ada dalam diri orang yang kita cintai, kita harus mencintainya juga. Entah itu hal baik maupun hal buruk.
Mama seringkali memperingatkan aku agar berhati-hati dalam berteman. Kekhawatirannya mulai terlihat ketika aku mulai berpenampilan urakan. Padahal keluargaku tidak ada yang mengajarkan seperti itu.
Papa adalah seorang polisi. Ia sudah meninggal tiga tahun lalu saat bertugas. Kepergiannya membuat kami harus mandiri dan mama semakin bekerja keras. Wanita paruh baya itu harus membiayai sekolah kedua adikku. Karena aku sudah mulai bekerja part time di sebuah restoran. Jadi
aku bisa sedikit mandiri.
Saat bekerja di restoran itulah aku mulai senang dengan dunia malam. Meskipun aku tidak melakukan sex bebas seperti teman-teman ku. Tapi orang-orang tetap memandangku sebelah mata.
"Aela!" Panggil mama setelah aku selesai mengeringkan rambut.
"Iya, ma. Aela buru-buru ke kampus nih. Kalau mau bicara penting ntar aja ya. Sepulang dari kampus!" Seruku dari dalam kamar.
Sebenarnya jadwal masuk kuliah masih nanti siang. Aku tidak terlalu buru-buru karena jarak antara rumah dengan kampus lumayan dekat. Aku hanya menghindari pembicaraan yang akan mama sampaikan padaku. Tentu saja aku tahu hal itu, sudah hapal!
Kalian tahu kenapa? Mama pasti akan membahas soal warna rambut baruku. Pink-putih-biru. Hahaha... Aku suka dengan gaya rambut seperti ini.
"Mama harus bicara sekarang. Jangan membantah!" seru mama yang tiba-tiba sudah masuk kamarku.
"Ayolah mama... Nanti aku telat masuk kuliah" kataku, lalu mendengus kesal.
Mama menghampiri ku dan menarik rambut yang sangat aku cintai. Beberapa kali ia kucek-kucek sampai rambutku terlihat berantakan.
"Ma, aku sudah dandan dari tadi dan mama seenak hati merusaknya!"
"Ganti warna rambut kamu! Mama tidak suka!"
"Tapi aku suka, ma. Ini diri aku banget. Aku mau bebas seperti teman-teman yang lain"
"Tidak!" seru mama sambil melotot.
"Come on mama... aku sudah besar. Biarkan aku menentukan jalan hidupku sendiri. This is my style! My hair is everything!"
Aku berjalan saja menuju pintu. Tidak memedulikan mama yang masih berdiri di depan cermin.
Pertengkaran seperti ini sering terjadi di rumah kami. Mama selalu mengatur apapun pada diriku. Padahal aku ingin sebuah kebebasan. Ya, hanya sebuah kebebasan untuk mengekspresikan diri!
Sebenarnya dulu aku adalah gadis yang penurut dan tidak neko-neko. Tapi semenjak papa meninggal, aku menjadi seperti sekarang sebagai pelampiasan. Ya, karena sebenarnya aku lebih dekat dengan papa ketimbang mama. Aku merasa kehilangan perhatian dan kasih sayang yang biasanya menyelimuti hari-hari ku.
"Kak Aela ke kampus pagi banget. Kayak aku aja" celetuk Morin, adikku yang pertama saat aku melewati meja makan.
"Ada tugas" kataku pendek.
"Kakak kok sekarang nggak pernah main sama kita, sih? Kita kangen lari-lari sama Kak Aela loh..." kata Lucky, adikku yang kedua.
"Morin, Lucky... Kak Aela sayang sama kalian. Kak Aela juga pengen main sama kalian lagi. Tapi kakak sibuk. Ada tugas kuliah, kakak juga kerja part time" aku mencoba menjelaskan pada kedua adikku yang sudah memakai seragam itu.
Sebelum adikku berkata lagi, aku bergegas keluar rumah. Ujung mataku bisa melihat mama yang mendekat. Aku hanya tidak ingin melanjutkan pertengkaran yang terjadi di kamarku tadi.
☠☠☠
"Haiii Aela..." sambut Mic, panggilan Michael ketika aku sampai di basecamp.
Dia berjalan sempoyongan ke arahku. Rupanya dia baru saja mabuk. Hihi, aku geli melihatnya.
"Hai Mic... kamu mabuk ya? Habis berapa sampai sempoyongan begitu?"
Reynald menunjukkan beberapa botol yang berserakan di lantai. Aku tersenyum, enam botol rupanya. Mic tidak akan mati kebanyakan minum alkohol karena ia sudah terbiasa begitu. Gila!
"Kalian di sini dari tadi malam?" tanyaku pada Reynald yang terlihat sadar. Mungkin ia tidak minum alkohol, hanya menemani Mic saja.
"Baru tadi pagi jam tiga. Katanya Mic sedang terbayang-bayang perbuatan di masa lalunya. Makanya dia mabuk, katanya ya gitu..."
"Biar nge-fly dan lupa sejenak?"
"Yoi! Kamu tahu lah..."
Aku memperhatikan Mic yang sudah tergeletak di lantai. Tadi masih mengingatku, kenapa langsung tepar begini? Dasar teler!
"Po-li... si tidur... Haha" Mic mulai berkicau tidak jelas. "Aku puas.... tapi wajahmu hahaha"
"Loh... kok polisi tidur? Dia kenapa Rey? Apa habis jatuh?" tanyaku penasaran.
Belum sempat Reynald menjawab pertanyaanku, Mic sudah berkicau lagi "Di sana... aku senang hahaha! Pergi saja... pergi!"
"Kenapa dia?" tanyaku penasaran.
Reynald tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kedua bahunya. Tapi dari sorot matanya, aku tahu bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu.
"Aku cabut ya, Aela. Tolong urus dulu cintamu itu" kata Rey dengan wajah sebal.
Aku tahu kenapa dia pergi. Tentu saja dia tidak mau melihatku berdua dengan Mic. Wajar lah, Reynald sebenarnya mencintaiku. Tapi aku menolaknya ketika dia memintaku menjadi pacarnya.
"Bye, Rey..."
Setelah Reynald pergi, di basecamp hanya tersisa aku dan Mic yang sudah seratus persen kehilangan kesadaran. Sebentar lagi jam kuliah. Tapi aku berniat untuk tidak masuk. Ya kali, aku meninggalkan orang yang aku cintai sendiri saat masih tidak sadar. Nanti kalau ada tikus yang menggerogotinya bagaimana? Bisa ikut hancur hatiku!
Pelan-pelan aku seret tubuh Mic. Badannya yang kurus memudahkanku untuk menaikkannya di kursi. Lama-lama tidak tega juga melihatnya tergeletak di lantai.
Sampai sore aku hanya duduk menemani Mic. Tidak makan, minum, atau melakukan apapun selain mengusap kepalanya yang tertidur di pangkuanku.
Sudah pukul tujuh malam.
Mic mengerjapkan kedua matanya. Rupanya ia mulai sadar.
"Kamu di sini?" tanya Mic padaku.
"Ya, aku menemani kamu dari tadi pagi"
"Tidak ada kuliah?"
"Tidak akan ada kuliah selama kamu masih di sini dalam keadaan teler. Aku tidak akan meninggalkan kamu, Mic"
Mic manggut-manggut. Ia berjalan ke sudut ruangan untuk mengambil sesuatu lalu kembali duduk di sampingku.
"Minum lagi? Sudahlah, ayo kita pulang. Sampai kapan mau di sini?" aku mulai khawatir jika Mic terlalu banyak minum alkohol.
"Biarkan aku menghabiskan dua botol lagi dan antarkan aku pulang lewat jalan lama" kata Mic.
Setelah Mic menghabiskan dua botol minuman keras, aku menuntunnya masuk mobil. Dia aku dudukkan di kursi belakang. Bukan apa-apa, aku hanya khawatir ke-telerannya menggangguku saat menyetir.
Aku melajukan mobilku pelan. Seperti kata Mic, melalui jalan lama. Sudah cukup lama aku tidak melewati jalan ini.
Jalannya gelap karena tidak ada cahaya lampu atau apapun yang menjadi penerang jalan. Kanan-kiri nya masih banyak pepohonan. Sebenarnya jalan ini lumayan lebar, tapi jarang dilewati lagi karena banyak yang rusak.
Sampai di dekat sebuah tikungan, tiba-tiba bayangan papa datang di benakku. Entah bagaimana ceritanya. Padahal aku tidak pernah merasakan seperti ini.
Aku berusaha tidak peduli dan terus melakukan mobil. Perasaanku mulai tidak enak semenjak melewati sebuah polisi tidur. Tapi aku mengabaikannya karena ingin cepat sampai rumah.
Setelah mengantarkan Mic di rumahnya, aku segera pulang. Jam sembilan malam tentu saja mama sudah tidur. Tapi ia tidak akan mengunci pintu karena setahunya, aku masih bekerja.
☠☠☠
Setelah malam itu aku mengantarkan Mic pulang lewat jalan lama, dia jadi sering memintaku mengantarnya pulang saat malam. Dan selalu melewati jalan lama. Entah mengapa dia menyukai jalan yang sepi karena terkesan angker itu.
Entah mengapa setiap lewat jalan itu bayangan papa selalu hadir di benakku. Perasaanku juga mulai tidak enak. Apa tujuan Mic sebenarnya?
Suatu malam, lagi-lagi Mic memintaku mengantarnya. Kali ini kamu tidak hanya berdua. Reynald dan Viona ikut bersama kami karena aku yang meminta.
"Polisi tidur..." kata Mic yang tentu saja masih teler.
"Setiap kali mabuk dia selalu mengatakan hal yang sama. Ada apa sebenarnya?" tanya Viona.
"Entah, aku juga heran. Dan perasanku selalu tidak enak jika lewat sini"
"Kenapa kamu nurut aja?" tanya Reynald.
"Hanya iba... Aku tidak tega meninggalkan dia"
"Kan bisa lewat jalan lain, Aela"
"Aku hanya berusaha menyenangkan hatinya" jawabku dan otomatis membuat semua orang diam.
"Polisi tidur... di situ... Hahaha" lagi-lagi Mic menggumamkan hal yang sama sambil menunjuk sebuah polisi tidur di depan sana.
"Ada apa Mic? Katakan yang jelas..." kata Reynald yang mulai muak.
"Berhenti!" seru Mic.
Reynald mengerem mendadak, membuat kepalaku terbentur.
"Aw, sakit!" seruku.
Saat Reynald akan melajukan mobil kembali, tiba-tiba mobil tidak bisa dinyalakan. Karena kebingungan, kami turun dari mobil dan memeriksa bagian depan. Tentu saja tanpa Mic. Dia masih teler di dalam mobil.
"Sial! Rem mendadakmu membuat polisi tidur ini terkikis. Bannya jadi bocor karena ada paku yang menancap" kataku ketika melihat kondisi ban depan.
"Wah... banyak paku di sini. Apa kemarin juga seperti ini?" tanya Viona sambil menunjuk paku-paku yang tertanam di dalam polisi tidur.
Aku menggeleng. Seingatku perjalanan selama beberapa hari melewati jalan ini mulus-mulus saja. Tidak pernah ada hambatan meskipun hanya sebuah paku. Tapi kenapa sekarang banyak paku bertebaran, ya?
"Sebaiknya kita dorong saja ke belakang. Nanti kita periksa dulu polisi tidurnya" kata Reynald.
Setelah mobil didorong ke belakang, kami memeriksa polisi tidur yang sudah terkikis. Dengan bantuan senter dari smartphone, kami bisa melihat apa yang terjadi. Ternyata benar-benar banyak paku.
"Hey, lihat ini!" kataku sambil menunjukkan kain yang terlihat di dalam polisi tidur.
Reynald segera memeriksanya. Sebelumnya ia mengambil sebuah batu yang agak runcing untuk menggali polisi tidur lebih dalam.
Betapa terkejutnya kami ketika mendapati kain itu adalah sebuah seragam polisi yang sepertinya membalut daging di dalamnya. Kami segera membongkar polisi tidur tadi. Setelah semua terbongkar, aku mulai mengidentifikasi wajah orang berseragam polisi yang mulanya tertimbun semen.
"Oh My God!" aku menutup mulutku karena sangat terkejut.
Badanku tiba-tiba terasa sangat lemas. Air mataku mengalir sangat deras. Dan rahang ku mengeras. Aku merasa terkejut sekaligus marah!
"Papa kamu, Aela!" seru Reynald dan Viona bersamaan.
Setelah itu aku tidak ingat apapun. Kata orang-orang aku pingsan. Tapi dalam ingatanku, papa datang dan mengucapkan terimakasih.
Setelah saku sadar, Reynald memberitahu sebuah kebenaran. Sebuah perilaku bejat oleh orang yang aku cintai selama ini.
Katanya begini :
Suatu hari Mic sedang melakukan jual beli narkoba bersama kakaknya. Papaku yang sedang bertugas memergoki mereka dan berniat menangkapnya. Tapi Mic dan kakaknya malah lari. Hal itu membuat papa harus menembak kaki mereka.
Tepat sasaran! Peluru mengenai kaki kakak Mic. Tapi mereka terus berlari sampai akhirnya hilang dari pandangan papa.
Setelah kejadian itu kaki kakak Mic terkena tetanus karena tidak segera diobati lukanya. Mereka takut orang-orang curiga. Beberapa saat kemudian kakak Mic meninggal.
Mic tidak terima atas kematian kakaknya. Ia mengatur strategi sedemikian rupa agar papa mengejarnya dan ia menjebak papa. Akhirnya Mic membunuh papa dan membuat cerita seolah-olah papa gugur saat bertugas.
Rupanya Mic memang sangat ingin menghancurkan papa. Setelah papa dikubur, ia menggalinya dan mengganti dengan pohon pisang. Mayat papa ia bawa dan diawetkan. Lalu ia taruh di jalan lama dan di semen sehingga menjadi polisi tidur.
Semenjak kejadian itu ia selalu terbayang-bayang mayat papa. Ia juga merasa bersalah setelah tahu orang yang ia bunuh adalah papaku, orang yang mencintainya. Ia jadi semakin sering mabuk dan selalu berkicau mengatakan polisi tidur.
Ternyata perbuatannya membuatku dan kedua temanku, Reynald dan Viona menemukan mayat papa. Aku menyesal telah mencintainya selama ini. Rasa sakit, benci, dan dendam menjadi satu.
Untungnya Mic mendapatkan hukuman yang setimpal dari kepolisian. Tentu saja hukuman itu harus dijatuhkan padanya. Dasar tukang teler!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Naoki Miki
izin promote thor🙏
Haiii mampir yuk kekrya q 'Rasa yang tak lagi sama'🤗
tkn prfil q aja yaa jan lupa tingglkan jejaakk😍
vielen danke😘
2020-11-01
0
🕯️
kak thorr aku mampirr 💃
semangat terus kak 🔥
2020-06-17
1
Mutie Cutie
aku mampir thor...
2020-06-13
0