Aku adalah seorang guru matematika di sebuah Sekolah Dasar. Kegemaran ku berhitung sejak kecil mengantarkan ku sampai pada posisi ini. Berkutat dengan rumus, angka dan banyaknya perhitungan. Tentu saja aku menyukainya.
Beberapa hari yang lalu lamaran kerja ku di terima pada sebuah Sekolah Dasar yang lebih elit. Tentu saja aku memutuskan untuk pergi ke sana beberapa hari lagi. Aku percaya bahwa kesempatan tidak datang dua kali. Ya, meskipun murid-murid di sini menyenangkan. Tapi aku akan mendapat gaji yang lebih banyak di sekolah baruku.
Hari pertama di sekolah baru sangat menyenangkan. Aku cepat kenal dengan beberapa guru dan karyawan. Sepertinya murid di sana juga menyukai caraku mengajar. Well, itu bakatku sih... Membuat orang lain nyaman.
Hari ke sepuluh aku mengajar, aku merasa ada yang aneh. Bukan karena hantu atau teror seperti di sekolah-sekolah angker. Tapi aku melihat seorang guru wanita yang sangat cantik. Anehnya, dia sulit diajak bicara pada siapapun. Padahal aku yakin, sebenarnya ia adalah guru yang supel.
"Lihat apa Pak?" Tanya Bu Retno yang memergokiku sedang melihat guru cantik itu.
"Mmm... Itu guru di sini, Bu?" Tanyaku pada Bu Retno, kesempatan!
"Oh, Bu Age?" Kata Bu Retno sambil memutar kedua bola matanya.
"Namanya Age?"
"Agesia Rouland. Kabarnya sih dia blasteran gitu. Tapi orangnya aneh, jangan sampai kepincut deh!"
Aku tidak memedulikan ocehan Bu Retno selanjutnya. Aneh? Kenapa orang secantik dia dibilang aneh? Mungkin Bu Retno iri karena merasa kalah cantik.
Hari-hari selanjutnya, aku disibukkan dengan memperhatikan Bu Age. Dia selalu sendirian kemana-mana. Bahkan saat jam makan siang di kantin, tidak ada seorangpun yang mendekatinya atau sekedar menyapanya.
"Kenapa dia sendirian terus, Pak?" Tanyaku pada Pak Akbar, suatu hari.
"Ehemmm... Dia yang mana?" Tanya Pak Akbar yang mungkin tidak tahu siapa yang aku maksud.
"Bu Age..." Bisikku pelan.
"Oh... Dia Aneh. Semua guru atau karyawan yang menyapanya tidak pernah ia gubris. Padahal dia sangat akrab dengan anak-anak."
"Kok bisa?" Tanyaku heran.
"Dia kan Pembina Pramuka."
Otakku bekerja keras mencerna kalimat Pak Akbar. Seorang guru wanita yang cuek, tidak menggubris sapaan orang lain, bahkan tidak melirik pada orang yang lewat di dekatnya. Padahal dia Pembina Pramuka yang mengajarkan tentang kerja sama. Tapi anak-anak akrab sama dia. Bagaimana sih ini?
"Pak Andre, besok rambutnya di cat hitam ya." Kata Pak Akbar.
Aku diam. Dari lahir rambutku memang pirang. Padahal orangtuaku bukan blasteran. Tapi kenapa harus diganti warna?
"Ini warna asli Pak," jawabku pada Pak Akbar.
"Asli? Dari lahir? Pak Andre blasteran?!"
Pak Akbar yang terkejut mendengar penuturanku mulai memiring-miringkan kepalanya. Mungkin ia sedang mencari sisi bule pada wajahku. Tentu saja ia tidak akan menemukannya. Meskipun rambutku pirang, wajahku benar-benar terlihat lokal.
☠☠☠
Suatu hari, hujan turun sangat lebat saat aku akan pulang ke rumah setelah mencari buku untuk referensi. Saat aku keluar dari toko buku, kulihat Bu Age berdiri dengan badannya yang menggigil hebat. Aku segera menghampirinya dan memberikan jaketku padanya.
"Tidak usah," kata Bu Age sambil melepas jaketku.
"Pakailah, Bu. Kamu kedinginan. Sedang menunggu siapa?"
"Jangan panggil aku Bu, panggil saja Age."
Setelah itu Age diam. Sepertinya perkataan guru-guru di sekolah benar, bahwa Age tidak mau menjawab pertanyaan orang lain. Benar-benar aneh.
Saat aku membuka payung dan bersiap pergi dari toko buku itu, tiba-tiba suara Age menghentikan langkah kakiku.
"Boleh aku ikut denganmu?"
Aku menoleh dan menatap padanya. Apakah ini sebuah kebenaran atau sebuah mimpi? Seorang guru cantik yang super cuek mau ikut denganku. Gila, benar-benar sebuah prestasi baru!
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Sebaliknya, aku berbalik dan menghampirinya. Aku peluk punggungnya dan berbagi payung bersama.
Jadilah Age saat ini sedang berada di mobilku. Rupanya ia benar-benar kedinginan. Lihatlah, tubuhnya yang sudah memakai jaketku masih saja menggigil hebat.
"Biar ku antarkan ke rumah. Dimana rumah Age?"
"Tidak usah."
"Lho, bagaimana ini?" Tanyaku tak mengerti.
"Aku pulang ke rumahmu saja. Biarkan aku menginap untuk semalam."
Jawaban Age benar-benar di luar ekspektasi! Awalnya dia yang meminta pergi denganku. Dan sekarang dia mau menginap di rumahku! Oh God, I love this moment. Thank you!
Sejak Age menginap di rumahku, kita menjadi akrab. Beberapa kali kami makan bersama, nonton film, bahkan dia sering menginap di rumahku. Dan aku selalu menerima kedatangannya dengan senang hati.
Guru-guru di sekolah tentu saja banyak yang heran. Bahkan beberapa guru laki-laki mungkin iri denganku. Tapi aku mengabaikan mereka. Age lebih penting saat ini.
"Kamu sudah sering tidur di rumahku," kataku suatu malam saat Age sedang menginap.
"Kenapa? Tidak boleh, ya?" Tanya Age dengan tatapan heran.
"Aku menyukainya. Tapi..." Aku menggantungkan kalimatku agar Age penasaran.
"Tapi apa? Bicara yang jelas, dong!"
"Aku, mmm... Aku mencintaimu," jawabku sambil menutup wajah menggunakan bantal.
Jantungku benar-benar berdegup kencang. Jujur saja, aku memang termasuk jenis manusia supel. Tapi ini adalah pertama kalinya aku mengungkapkan perasaanku pada seorang wanita. Ya, seumur hidupku!
Aku mulai bingung ketika Age tidak segera menanggapi perkataanku. Ketika aku membuka bantal yang menutup wajahku, tiba-tiba... Cup! Age mencium bibirku. Tentu saja jantungku berdegup semakin kencang.
"Aku juga mencintaimu. Kamu berbeda dari laki-laki lain," kata Age.
Aku tidak menanggapi perkataannya karena tubuhku terasa sangat dingin. Dan lagi, tanganku gemetaran. Age memang luar biasa!
"Tapi... Jangan panggil aku Age lagi."
"Lalu aku harus memanggilmu siapa?" tanyaku bingung.
"Honey..." Kata Age sambil mengedipkan sebelah matanya.
Malam itu kami resmi berpacaran. Ternyata Age tidak seburuk yang orang-orang katakan. Dia sangat... Manis!
Meskipun kami berpacaran, tidak ada satu orangpun yang tahu. Age mengancam ku akan putus hubungan jika sampai hubungan kami tersebar. Tentu saja aku tidak mau kehilangannya.
"Kapan kita bertemu orangtuamu?" Tanyaku setelah ia selesai mengajar Pramuka.
"Untuk apa?" Tanya Age.
"Ya, aku ingin melamarmu. Aku serius dengan hubungan kita," kataku gugup.
"Tidak usah!" Bentak Age.
Aku tidak mengerti kenapa dia membentakku begitu. Tapi sepertinya dia marah padaku. Karena sebelum aku bertanya lagi, dia bergegas meninggalkanku dan pulang begitu saja. Padahal aku sudah menunggunya beberapa jam yang lalu.
Tentu saja aku mengikuti angkutan umum yang ia naiki. Mungkin Tuhan memberiku jalan lain agar aku bisa pergi ke rumah Age. Hhh... Sepertinya dia tidak tahu siapa aku. Orang yang paling ambisius jika menginginkan sesuatu!
Aku ikuti terus Age di belakangnya. Sepertinya ia benar-benar tidak menyadari jika aku ada di belakangnya. Yah... Percuma dia meninggalkanku begitu saja. Karena meskipun dia sudah masuk rumah, aku juga sudah berdiri di depan rumahnya.
Hari terus berlalu. Age tidak terlihat batang hidungnya setelah aku mengikutinya sampai rumah. Apakah dia marah? Tapi dari mana dia tahu?
Akhirnya aku menemukan jawaban dari Bu Retno. Katanya Age mengundurkan diri dari sekolah. Berita selanjutnya, tidak ada satu orangpun yang tahu.
Semakin hari rinduku kian membuncah. Wajah Age selalu terbayang-bayang dalam benakku. Tapi nomornya saja tidak bisa dihubungi.
Akhirnya aku memutuskan untuk ke rumah Age. Terlebih dulu ku sempatkam untuk membeli kue dan seikat bunga berukuran besar di sebuah toko. Pasti dia akan senang aku memberinya kejutan.
Sampai di depan rumahnya, pintunya terbuka lebar. Aku masuk saja meskipun tidak ada yang mempersilahkan.
"Siapa kamu?" Tanya seseorang dari arah dalam.
"Oh, maaf Bu. Saya teman kerja Age. Apakah dia ada di rumah?" Tanyaku gelagapan.
"Oh, teman anak saya? Silahkan... Silahkan... Biar saya panggilkan Age terlebih dahulu.
Beberapa saat kemudian Age datang ke ruang tamu sambil membawa spatula. Sepertinya dia sedang masak dan lupa meletakkan spatulanya. Menggemaskan sekali!
Aku yang sudah berlatih berkali-kali bertekuk lutut di depannya sambil menyodorkan bunga yang aku bawa. Bukannya di terima, Age malah melempar bunga pemberianku.
"Cepat pergi!" Kata kekasihku itu.
"Aku baru saja sampai. Aku merindukanmu, honey..."
"Sudahkah, aku tidak peduli denganmu lagi!"
"Tapi honey... Kenapa kamu ke..." Kalimatku terhenti saat calon ibu mertua membawakan minum.
"Rambut pirang mu sangat indah..." Kata Ibunya Age.
"Terimakasih Bu, ini rambut asli saya," jawabku.
"Oh... Asli pirang? Wah, wajahnya lokal tapi rambut internasional ya..."
Candaan Ibunya Age membuatku tertawa. Ternyata keluarga kekasihku humoris juga. Kalau aku sudah menikah dengannya, pasti sangat bahagia.
Saat Ibunya Age sudah masuk ke dalam, Age memainkan spatula yang ia bawa. Ia ketuk-ketukkan di tembok berkali-kali. Sampai aku menyadari, ritme ketukannya selalu sama.
Beberapa hari kemudian aku tahu kalau ritme yang dimainkan Age dengan spatulanya adalah sandi Morse. Untungnya aku punya adik yang sedang belajar tentang sandi itu. Jadi aku tidak perlu bertanya pada siapapun.
Kalian tahu sandi Morse yang Age berikan berbunyi bagaimana?
AWAS!
IBUKU BAHAYA!
PERGILAH SEKARANG!
Tapi semuanya sudah terlambat. Karena saat ini rambut pirang ku sudah menempel di kepala mayat kakak laki-laki Age, kekasihku. Beserta dengan kulit kepalaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
akun nonaktifkan
5 like untukmu, semangat 😁👍
Mampir karyaku ya, sekalian like, dan rate 🥺🙏🏻
Pasti aku selalu mampir karya mu kok, kalau ada kamu komen eps dikaryaku😆
Tunggu aja🙏🏻
2020-08-02
1
Ayu Ade Yulianita
seremnya beneran ini waduuuuuuh
2020-07-05
1
Nayla Ramadhani
weleeeehhh....tiba2 sekali hedeeeehhh
2020-06-09
2