"Kau gila, Nis! Apa kau tak dengar apa yang ibu katakan? Awal dan akhir permintaanmu itu, semua isinya pahit!" geram bang Naresh.
Aku tertunduk, air mata yang sedari awal sudah mengalir, kini semakin deras. Punggung bergetar hebat, beruntung malam ini pengunjung cafe tidak terlalu ramai, hingga hanya beberapa pasang mata saja yang memperhatikan kami.
Bang Nareshpun seakan bergeming dengan situasi itu, baginya jalan hidupku jauh lebih penting dibanding sorotan netra pengunjung.
"Abang, maaf kalau aku katakan, aku sangat mencintai Dewa. Berkali-kali aku mencoba melupakan, tapi nggak bisa Bang, bukan salahku bila tak bisa melupakan."
Bang Naresh mengusap mukanya dengan kasar, "kau bilang cinta? Hahaha ... cinta itu membahagiakan, bukan menyakitkan."
Tangannya mengepal dengan keras, sudah kuperhitungkan sebelumnya. Seandainya kami berbicara di rumah, sudah barang tentu dia akan melampiaskan amarahnya pada benda-benda di sekitarnya. Oleh karena itu aku memilih tempat ini, agar amarahnya bisa terkendali.
"Bangg, tolonglah Bang, hanya ini pintaku pada kalian. Ijinkan aku mewujudkan mimpi, hidup bersama Dewa. Aku siap akan resiko yang harus kutanggung di kemudian hari." Aku menjeda sejenak perkataanku, mengatur nafas agar tak memburu.
"Apa yang ibu dan abang takutkan? Menjadi janda? Cemoohan orang? Aku sudah tahu konsekuensi jika menjadi janda, insya Allah aku siap. Mengenai omongan orang? Bang, ini hanya pernikahan siri, tidak tercatat sama sekali. Apalagi setelah itu, orang tua Dewa pasti menyuruhku tinggal di rumah mereka. Jadi kecil kemungkinan tetangga kita akan mengetahuinya. Bilang saja pada mereka bahwa aku bekerja di luar kota."
"Bang tolonglah, kali ini saja huhuhu ...."
Kali ini tangan bang Naresh memijat keningnya yang mungkin terasa sakit, mendengar rengekkanku.
"Jika kalian menolak ini, bisa kupastikan, aku tak mau menikah dengan siapapun. Dan bila suatu saat kalian memaksaku, maka kalian akan melihat jasadku."
Plakk!!!
Sebuah tamparan keras mengenai pipiku, kepala seakan berputar, pipi terasa panas, ada darah mengalir di sudut bibir ini. Benar-benar terasa sakit ....
"Itu untuk kedunguan dan keBUCINanmu. Bicara nggak pakai akal, rugi besar papa menyekolahkanmu," hardiknya.
Kusambar kunci motor di atas meja, berlari menjauh dari bang Naresh yang tengah emosi. Tak kupedulikan teriakannya yang memanggilku, bodoh aku bukan anak kecil lagi yang bisa seenaknya kalian dikte. Lagian ancaman tadi hanya asal bicara karena tak tau lagi memohon seperti apa agar dia mau membantu.
Kulajukan motor membelah jalanan malam itu, aku tak tau hendak kemana, yang kutahu menjauh dari mama, bang Naresh dan juga papa.
[Papa,] ciittt!! Motor berhenti, bayangan wajah papa begitu jelas di mata. Aku menutup muka ketakutan membayangkan kemarahannya, tidak itu sangat ....
Tiittt, tiiitttt!!!
Suara klakson mobil membuat terkejut, sorot lampunya sangat silau. Tampak pintu mobil terbuka, suara derap sepatu seperti sedang mendekat.
"Hai Nis! Ada apa? Kamu kenapa? Kok bisa ada di sini?"
Aku seperti mendengar suara Dewa, sebelum pandanganku mengabur dan gelap.
\=\=\=
Aku mengamati ruangan tempatku terbaring sekarang, sebuah lemari berwarna putih terletak di samping meja rias. Ada lukisan pemandangan terbingkai apik, serta sebuah pintu kecil juga berwarna putih pastinya untuk kamar mandi. Asing dengan tempat ini.
Setelah memperbaiki letak hijab dan merapikan pakaian yang sedikit kusut, kubuka pintu utama kamar ini.
"Sudah sadar, Nis?" Sebuah suara mengagetkan dari balik sekat ruangan. Dewa berjalan sambil membawa secangkir minuman, meletakkan di meja ruangan yang seperti ruang tamu.
"Lho, kok ada Kamu di sini? Memangnya ini di mana?"
"Ini rumahku tepatnya rumah orang tua," sahutnya sambil terkekeh.
Iya, aku tau dimana tempat tinggal Dewa, tapi tak pernah masuk melihat dalamnya. Ah seandainya saja aku terbaring di luar, pasti langsung tau.
"Diminum tehnya, mumpung masih hangat," tawarnya.
Aku duduk di sofa, depan lelaki itu, meneguk teh yang dibawanya.
"Sejak kapan aku disini?"
"Semalam, depan pagar kamu tiba-tiba pingsan trus sempat terbangun sebentar. Nelan paracetamol dari bik Sum, eh nggak sampai lima menit dah mendengkur," jelasnya.
Mukaku memerah malu, mendengar kata mendengkur.
"Tapi nggak kenapa-kenapa, kan?"
"Maksudnya? PikTor aja pagi-pagi gini?"
"Kali aja, siapa suruh punya predikat buaya darat. Eh, rumah kok, sepi pagi hari?"
"Bik Sum lagi ke pasar, ntar lagi pulang. Soalnya ibu juga sudah mau nyampe di sini."
Tak lama terdengar suara mobil masuk di halaman depan. Sebuah kendaraan berwarna putih, berhenti tepat di samping Alphard hitam milik Dewa.
Derap sol hak tinggi wanita, terdengar semakin mendekat. Lelaki di depanku serta merta berdiri, menghampiri pintu masuk.
"Ada tamu, Wa?" suara lembut seorang wanita, terdengar jelas di telinga.
"Bukan tamu, Bu. Masuk aja dulu," ajaknya.
Seorang wanita, muncul dari luar. Umurnya sudah tak muda, tapi tetap terlihat modis dan cantik.
Aku tersenyum saat dia menatap, tanpa komando mereka bergerak menghampiri, aku berdiri dengan sungkan.
"Nis, kenalin ini ibuku."
Aku mencium takzim punggung tangannya, "Nisa, Bu, teman SMA Dewa."
"Hu'um," jawabnya.
" oiya Bu, Nisa ini yang akan menjadi menantu Ibu," jelas lelaki itu.
Uhuk ... uhuk ... uhuk, aku terbatuk mendengar penuturan Dewa yang tiba-tiba, sementara dia hanya terkekeh melihat reaksiku.
Dan ibu Dewa memandangiku dari kepala hingga ujung kaki, kemudian bibirnya melengkungkan garis senyum.
\=\=\=
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apa pula reaksi keluarga Nisa?
Jangan bosan menunggu episode selanjutnya yah ... 😉
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Fa Rel
cwek goblok
2022-04-12
0
Athaya
baru ketemu jadi baru baca deh Thor 😘
2021-04-01
0
Ridho Talita
aq mampir thoor dikaryamu...
2020-12-19
0