Meminta Restu

Dewa duduk di hadapanku, berbaju krem dengan lengan yang digulung hingga di atas sikunya, mencoba menikmati kopi Americano yang tersaji di depannya.

"Bagaimana Nis, apa kamu bersedia menolongku?" tanyanya dengan suara mengiba.

Aku diam seribu bahasa, tubuh menahan sejuta sakit karena permintaan anehnya. Bagaimana dia bisa, memohon hal gila itu dariku.

"Hanya sementara Nis, hingga ayahku bisa pergi dengan tenang. Setelah itu kita berpisah, toh pernikahan ini hanya berstatus siri," jelasnya lagi.

"Kenapa harus aku? Mengapa bukan Wanda kekasihmu itu?" cecarku. Kutatap wajah yang kurindukan selama ini.

"Kamu tau sendiri, orang tuaku belum bisa menerima Wanda. Nanti saya pikirkan cara lain agar ibu bisa menerima dia," terangnya.

Bruggh ... serasa ada sebuah godam menghantam hati ini. Di depanku dia memperlihatkan kegigihan untuk bisa bersama kekasih hatinya. Namun, di sisi lain, dia memintaku untuk menjalani pernikahan setingan itu.

Tepatnya pernikahan siri setingan, agar ayah Dewa bisa tenang menjalani hari-hari terakhirnya.

Dokter memvonis calon bapak mertuaku, menderita kanker nasofaring stadium empat. "Hidupnya mungkin sudah tak lama lagi," jelas Dewa saat itu.

Hanya satu permintaannya, melihat anak semata wayangnya menikah, tapi tidak dengan Wanda sang pujuan hati.

Masalah bobot, bibit dan bebet menjadi alasan kuat, restu itu tak kunjung dia dapatkan. Aku tak tau dengan pasti, sisi Wanda yang mana, sehingga membuat ibu Dewa paling keras menentang jalinan kasih itu.

Ah sudahlah, itu bukan urusanku.

"Tolonglah Nis, aku mohon padamu, bantulah sekali lagi," katanya memelas.

"Apa peraturan dalam permainan ini," kataku menatap wajah yang selalu menghiasi pikiranku.

"Saya hanya butuh persetujuanmu. Selebihnya, semua rules ada di tanganmu," tegasnya.

Aku melipat tangan di perut, menarik punggung bersandar di kursi. Kuamati dengan lekat, raut muka orang yang aku suka. Ah seandainya saja dia punya indra keenam, Dewa dapat dengan mudah mengetahui bahwa aku suka permainan ini. Bahagia karena bisa selalu berada di dekatnya, meskipun harga diri menjadi terkoyak.

"Aku bisa saja membantumu, tapi beri aku waktu dua atau tiga hari lagi untuk menjawabnya," terangku.

"Lho, harus menunggu? Bukankah tadi kau katakan, bisa membantuku? Buat apa lagi waktu yang kau minta, Nis?" tanya lelaki itu bingung.

"Keluargaku, kau melupakan mereka."

Dewa tercengang, menepuk jidatnya, "iya juga, kok lupa, ya? Apa perlu saya ikut menjelaskan kepada mereka?"

"Nggak perlu, kamu tunggu kabar dariku saja." Kuteguk jus buah naga yang tersisa setengah gelas itu, "udah malam nih, aku balik dulu yah."

"Tunggu, aku antar," katanya seraya menyambar kunci dan ponsel di atas meja cafe.

\=\=\=

Pov author

Plakk ... sebuah tamparan mendarat di pipi mulus itu. Nisa bersimpuh di hadapannya, kepalanya tak kuat untuk menatap wajah wanita yang telah melahirkannya.

"Beraninya kau ingin melakukan itu! Dimana harga dirimu sebagai perempuan? Kau sadar apa yang akan terjadi setelah kalian berpisah? Apa kau siap menjadi seorang janda?" cecar Santika.

"Aku siap, Ma. Aku hanya ingin pengertian mama dan papa. Tolong dukung Nisa, kali ini."

"Mendukung untuk cintamu yang bertepuk sebelah tangan? Sadarlah Nisa, dia tak mencintaimu! Lelaki itu hanya menganggapmu sebagai teman kala dia susah, tapi saat senang dia menghilang bak di telan bumi," sanggah wanita paruh baya itu. Suaranya sedikit bergetar, merasa sedih akan takdir pilihan putrinya sendiri.

Santika tahu betul, Nisa begitu mencintai Dewa kakak kelasnya itu. Namun, dia sadar kalau lelaki itu tak pernah memiliki rasa yang spesial untuk putrinya. Berkali-kali perempuan itu, mencoba membuat Nisa berpaling dari pujaan hatinya dengan menjodohkan anak dari kolega maupun kerabat jauhnya. Namun, semua sia-sia, putrinya menentang semua usahanya itu.

Seharusnya saat ini Santika merasa suka cita, Nisa akan menikah dengan kekasih impiannya, jika saja itu situasi yang normal. Tetapi hatinya begitu sakit, kala mengetahui putri yang dia besarkan dengan limpahan kasih sayang, akan menjalani pernikahan setingan dengan Dewa. Bahkan lebih parahnya lagi, Nisa rela menjalaninya demi bisa bersama lelaki itu.

[Tuhan, mengapa anakku begitu diperbudak oleh cinta?] lirihnya dalam hati.

Nisa berjalan gontai keluar dari kamar Santika menuju ruang tidurnya. Untung saja hari ini papa dan kakaknya tidak di rumah, sehingga dirinya dapat dengan bebas berbicara dengan mamanya.

Jemarinya bergerak di layar ponsel berwarna silver, berniat menghubungi Dewa.

"Assalamu alaikum, Kak," kata Nisa kala panggilannya sudah tersambung.

"Waalaikum salam, ada apa Nisa?"

"Mamaku, Kak, beliau sangat marah setelah aku memberitahu mengenai rencana kita," kataku sedikit terseduh.

"Kamu nangis, Nis? Saya ke sana yah? Biar saya menjelaskan pada orang tuamu."

"Nggak usah, Kak. Nanti aku coba bicara sama bang Naresh, doakan saja dia bisa mengerti," cegah wanita manis itu.

"Ya sudah, nggak usah sedih lagi. Saya juga mau menghubungi abangmu, siapa tau dia bisa mengerti antar sesama lelaki," katan Dewa di ujung telepon.

Dihempas tubuh di atas kasur, memeluk benda pipih itu, [ah cinta begitu beratkah mencintai seorang Dewa,] lirihnya dalam hati

Bersambung

Yuk readers sayang, bantu like, coment dan share yah

Terpopuler

Comments

Priskha

Priskha

bodoh kmu Nisa klau mau dipermainkan sm Dewa dimana harga diri kmu sbg seorang wanita enak di dewa tp rugi bsr buat kmu

2022-04-06

0

Yusneli Usman

Yusneli Usman

Cinta beda tipis sm orang gila....kita jd gila kerna cinta dan senantiasa berfikiran diluar logika sbb cinta....

2021-11-03

0

Thati Aini

Thati Aini

baru baca 2 eps.sdh greget aq sm kbodhanny sinisa

2021-04-11

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!