Fatima pun tak bisa menolak sama sekali, dan terpaksa menerima uang 700 rb itu. Berjanji di dalam hatinya, jika ia pasti akan membayar uang itu pada saat sudah bekerja nanti.
Setelah kepergian budenya, gadis itu masih betah untuk tetap berada di depan kost-kostan nya.
Ya, Emi memang memilih untuk menyewakan kost saja dari pada jika Fatima harus tinggal di rumah adik iparnya tersebut.
Emi hanya takut jika Fatima akan merasa canggung jika tinggal disana. Bahkan kost-kostan ini sudah di bayar oleh Emi sampai bulan depan. Jadi Fatima tidak perlu lagi khawatir tentang biaya sewanya.
...****************...
Pagi hari.
Fatima bangun dan bersiap untuk bekerja, hari ini adalah hari pertamanya tinggal di kota asing.
Sungguh senang, karena pada akhirnya dia bisa hidup sendiri dan juga mandiri tanpa menyusahkan kedua orang tuanya.
"Bu do'akan Fatima ya! Mulai hari ini Fatima akan hidup mandiri, dan tidak akan menyusahkan ibu lagi. Fatima janji akan mengirimi ibu uang, kalau Fatima sudah gajian." ungkap gadis itu sambil tersenyum manis karena tiba-tiba saja dirinya mengingat tentang ibunya, dan sangat merindukan Sekar.
Hari berganti hari, Bulan berganti bulan.
Tak terasa kini, Fatima sudah bekerja lebih dari 1 bulan dan telah menerima gaji pertamanya.
Terlihat gadis itu kini sedang termenung dan duduk manis di atas ranjang nya. Sambil mencoba untuk menghitung uang yang baru saja di terimanya dari Talia.
Talia adalah pemilik rumah makan tempat Fatima bekerja. Wanita itu sangat baik, dan tak ragu untuk membimbing nya selama bekerja. Sehingga membuat Fatima sangat betah selama bekerja di rumah makan itu.
"Ini adalah uang dari gaji pertama ku, lalu akan aku belikan apa ya?" tanya Fatima berbicara dengan dirinya sendiri sambil berpikir keras.
Hingga pada akhirnya Fatima mengingat pesan yang di berikan oleh Emi, jika setelah ia menerima gaji pertamanya. Maka Fatima harus segera membeli handphone agar dia dan budenya bisa saling menghubungi.
"Berjanjilah pada bude, jika nanti kau akan menghubungi bude dengan segera. Bude pasti sangat merindukan mu, dan ingin mendengar suara mu lewat handphone." *kata Emi dengan memegang kedua bahu Fatima.
"Tapi aku tidak memiliki handphone, bagaimana mungkin aku bisa menghubungi bude?" tanya nya bingung.
Karena memang selama ini dia tidak memiliki ponsel pintar tersebut, akibat tidak memiliki uang untuk membelinya. Meminta kepada Sekar hanya akan membuatnya di marahi oleh ibunya tersebut secara habis-habisan.
Jadi lebih baik Fatima diam saja, meskipun seluruh teman nya sudah memiliki benda yang bernama Handphone itu.
"Kalau begitu, setelah kau mendapatkan gaji pertama mu. Maka segeralah beli, dan jangan lupa hubungi bude di nomor ini." Emi pun langsung menyerahkan selembar kertas, berisikan nomor handphone miliknya.
Fatima langsung menerima nya, dan segera mengangguk*.
...****************...
"Terima kasih!" ucap Fatima sembari menerima sekotak handphone baru yang telah resmi ia beli dari toko terdekat.
Setelah itu ia pun memutuskan untuk kembali ke kost-kostan.
Di dalam kamar.
Merasa tidak sabar, gadis itu langsung saja masuk ke dalam kamarnya karena ingin segera meng-unboxing hp barunya.
"Woah!" Fatima langsung terngangah ketika melihat benda canggih itu ada di tangan nya.
Begitu tak menyangka sekaligus tak percaya jika kali ini dia bisa membeli benda mahal dengan hasil dari keringatnya sendiri. Bangga? Tentu, di usianya yang masih 17 tahun namun Fatima sudah bisa mendapatkan uang dan membeli barang yang sejak dulu selalu diinginkan nya.
Gadis itu pun langsung saja memeluk hanphone nya akibat merasa terlanjur senang sambil tersenyum.
Sementara di desa.
Emi begitu sangat kaget ketika mendapatkan sebuah telpon dari nomor asing yang ternyata nomor itu merupakan nomor keponakan nya sendiri.
"Fatima? Akhirnya kau mengabari bude, bude sangat merindukan mu Fatima. Bagaimana kabar mu?" tanya Emi dengan penuh semangat.
Sementara Fatima hanya tertawa. "Baik bude! Kabar bude sendiri bagaimana?"
"Bude sehat, tapi kenapa kamu baru menelpon bude sekarang? Bude kan sudah pesan agar kau mengabari bude secepatnya." protes Emi yang lupa jika keponakan nya itu tidak memiliki handphone.
Fatima hanya bisa menghela nafas dan tersenyum geli. Padahal umur budenya tidak lah belum terlalu tua, namun Emi sudah pikun seperti nenek-nenek saja.
"Bude, bude kan tau kalau Fatima tidak punya handphone. Sekarang Fatima baru saja gajian, dan Fatima langsung mengingat tentang bude. Langsung Fatma pergi ke store ponsel untuk membeli handphone, agar bisa menghubungi bude ku tersayang." jawab Fatima, yang seketika membuat Emi pun langsung sadar.
Wanita berusia 30 tahun itu langsung saja menepuk jidatnya sendiri.
"Oh, maaf kan bude mu sayang! Bude benar-benar lupa dan tidak mengingat sampai memarahi mu." kata Emi sungguh sangat menyesal.
"Tidak masalah bude!" balas Fatima yang memahami tentang keadaan Emi, mungkin saja wanita itu sedang kecapean atau lelah.
"Ya. Kalau begitu sudah dulu ya Fatima! Bude harus memberesi rumah bude, karena lagi berantakan akibat ulah nya Fahri." pamit Emi, dan Fatima langsung saja meng-iyakan nya.
Fahri adalah anak dari budenya, masih berusia 2 tahun dan merupakan anak pertama. Padahal usia Emi kini sudah menginjak kepala tiga, namun usia anak nya tersebut masih sangat kecil.
Itu karena faktor Emi yang lebih memilih untuk menikah di usia 27 tahun dan ingin mengejar karirnya sebagai guru PNS terlebih dahulu. Keuntungan dari menikah di usia segitu, membuat Emi jadi lebih dewasa dan sudah benar-benar matang untuk mengurus rumah tangga.
Membahas tentang pernikahan, Fatima sendiri belum tau pasti kapan dia akan menikah. Gadis itu hanya berharap jika dirinya akan menikah setelah benar-benar siap dan juga menemukan pilihan yang tepat.
Fatima sangat takut jika dia akan menemukan pria yang salah dan membuat kehidupan nya menjadi sangat menderita.
...****************...
"Hey kau! Berikan nomor ponsel putriku." perintah Sekar yang tiba-tiba saja datang dan menegur Emi.
"Apa kau memiliki putri selama ini?"
Pertanyaan dari Emi tentu membuat Sekar marah, dan bersiap ingin segera melayangkan tamparan.
Namun beruntung karena Ferdi yang merupakan suaminya Emi datang pada saat tepat waktu.
"Berhentilah mencari keributan di rumah ku! Aku masih menghargai mu karena kau adalah kakak dari istri ku. Tapi jangan berani bermacam-macam atau aku akan melaporkan mu pada polisi." tekan Ferdi, sehingga membuat Sekar menjadi sangat muak.
"Hh, dasar suami istri sama saja! Berani nya hanya mengancam." balas Sekar yang seolah sama sekali tidak takut atas ancaman yang di berikan oleh adik iparnya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments