Pukul 15.00 WIB, beberapa anak masih ada disekolah. Mereka mengikuti club ekstrakulikuler yang mereka pilih. Meli yang ikut club sains juga ada disekolah sore itu, aktivitas ekstrakulikuler dilakukan mulai pulang sekolah sampai pukul 16.00 WIB. Sore ini hujan deras mengguyur kota, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, sebagian anak sudah pulang kerumah masing-masing. Ada beberapa anak yang masih membereskan properti club mereka.
Kreeek ... Kreek ...
Meli panik sekali mendengar pintu kamar mandi yang terkunci. Dari luar terdengar beberapa anak perempuan tertawa mengejek.
"Selamat tinggal, Cupu. Nikmati malam mu disini ya ... Hahahaha ... " tawa mereka membelah sunyi toilet perempuan sore itu.
"Siapa kalian? Keluarkan aku dari sini! Toloooong!" teriaknya ketakutan.
Mereka tak memperdulikan teriakan Meli, tawa renyah mereka masih menggetarkan langit-langitnya toilet siswa perempuan itu.
Tiba-tiba pintu terbuka dan Meli merasakan tubuhnya basah dari ujung rambut sampai ujung kaki. Seseorang mendorongnya hingga terjatuh dilantai dan kembali mengguncinya. Lalu para pem-bully itu pergi meninggalkan Meli seorang diri. Sekuat tenaga perempuan malang itu menggedor pintunya agar ada yang menolongnya. Namun, cukup lama dia berteriak dan tak mendapatkan respon. Suaranya mulai habis.
Dookk ... Dookk ...
Dookk ... Dookk ...
"Tolooong!" teriakannya mulai melemah.
"Hei, Siapa disitu?" dari luar terdengar suara seseorang. Suara laki-laki. Telinga Meli samar-samar mendengarnya. Dia menggedor lagi pintu itu.
"Too ... Tolong!!" pekiknya lemah.
"Ada orang didalam?" tanya suara itu lagi. Orang itu berusaha membuka pintu, namun terkunci.
"Kamu baik-baik saja? Menjauhlah dari pintu, aku akan mendobraknya," ucap orang itu meminta Meli menjauh. Dengan susah payah dia bangun dan berusaha menjauh dari pintu. Menyandarkan tubuhnya dipojok dinding toilet.
Braaakkk ...
Dengan sekali tendangan pintu itu terbuka dan Vian muncul dibalik pintu yang rusak itu. Wajah Meli sudah pucat. Tubuhnya dingin. Pandangan matanya kabur. Vian mendekati dan dengan sigap menangkap tubuh Meli yang langsung terkulai. Tenaganya yang kuat mampu membopong Meli keluar ruangan dan meletakkannya ditempat yang nyaman untuknya sementara.
"Tangan mu dingin sekali. Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Vian.
Meli hanya menggelengkan kepalanya. Vian melenguhkan nafas panjangnya. Lalu dia memeluk gadis malang itu. Membantunya bangun perlahan. Menuntunnya menuju perkiran motor, lalu mereka pulang bersama. Tiga puluh menit kemudian mereka sampai dirumah, suasana rumah sangat sepi. Matahari mulai membelok kearah barat. Swastamita yang indah terlukis sesaat sebelum tenggelamnya matahari. Waktu di mana matahari menghilang di bawah garis cakrawala di sebelah barat. Kebekuan mulai membalut malam dan malam ini hanya ada mereka berdua didalam rumah, hujan dan angin yang cukup kencang membuat Vian tak bisa melanjutkan perjalanannya pulang. Terpaksa dia berteduh sejenak dirumah Meli.
"Kamu tinggal sendirian?" tanya Vian.
"Tidak. Ada bibi. Tapi dia sedang ada perjalanan dinas luar kota dari kantornya. Maklum dia sekretaris disalah satu perusahaan besar," papar Meli.
"Lalu mana keluargamu yang lainnya, Mel?"
"Ayahku sudah tiada sejak aku masih dalam kandungan. Ibuku meninggal saat melahirkanku, aku dibesarkan oleh kakek dan neneknya dikampung. Pada saat kelas tiga sekolah dasar nenek meninggal dunia. Semua orang beranggapan bahwa kehadirannya adalah anak pembawa sial dalam keluarga. Makanya sekarang hanya ada kakek dikampung. Bibi yang suami dan anaknya meninggal dalam kecelakaan pesawat dua tahun lalu itu bersedia menampungku dirumah ini." Mata Meli tergenang menceritakan semua sejarah pahit hidupnya itu. Vian tak tega melihat ada seseorang perempuan menangis dihadapannya. Dia mendekat lalu menghapus airmata dipipi Meli.
Gelegar suara petir disertai padamnya aliran listrik membuat Meli berteriak ketakutan dan reflek memeluk Vian yang duduk disampingnya. Kacamatanya terjatuh. Vian pun merespon dengan senang hati perlakuan Meli, nalurinya sebagai laki-laki muncul. Dia ingin melindungi perempuan yang memeluknya itu, memberikan sedikit rasa nyaman dan tenang. Vian merapatkan pelukannya. Dari jarak sedekat itu Meli bisa merasakan degup jantung laki-laki yang disayangnya itu. Merasakan betapa bidang dan hangatnya dada Vian yang memeluknya. Mereka perlahan bangun dan mencari sebatang lilin. Sebuah lilin kecil terpasang diatas piring kaca kecil dan menerangi seluruh ruangan itu. Meli meraba-raba mencari kacamatanya yang jatuh tadi.
Tanpa sengaja dia tersandung sesusatu dan nyaris jatuh karena tubuhnya yang hilang keseimbangan. Untung saja Vian dengan sigap menangkap tubuh Meli dengan sebelah tangannya, sementara itu tangan sebelahnya memegang sebatang lilin.
Dalam temaram dan dinginnya malam itu, kedua manik mata mereka bertemu dan bersitatap. Tanpa kacamata Meli terlihat lebih manis. Vian meletakkan lilin yang dipegangnya itu diatas nakas diruang tamu. Kedua tangannya kini memeluk pinggang Meli. Perlahan Vian membelai lembut pipi mulus dan kemerahan milik perempuan yang ada dalam pelukannya itu.
Lalu dia mendekatkan bibirnya kearah bibir menis Meli, perlahan dia melekatkan bibir nakal nya itu pada nibir manis Meli. Perempuan itu memejamkan matanya saat benda kenyal dan lembut itu menyentuh bibirnya, Vian menggigit kecil bibir bawah meli. Sesaat dia melihat pada wajah Meli yang berada tepat diujung hidungnya, dengan jarak yang seintim itu Vian dapat merasakan desah nafas Meli yang mulai memburu akibat perlakuannya tadi. Lagi, Vian melakukan seranganya. Kali ini dia mulai nakal, lidahnya mulai mengajak bermain dan masuk kedalam rongga mulut Meli. Perempuan itu pun mulai melakukan serangan balasan. Cukup lama bibir mereka saling serang.
Vian meningkatkan serangannya, dia mulai menjelajahi batang leher Meli yang halus. Menciumnya lalu menjalarinya dengan lembut. Perlahan desahan Meli terdengar menikmati perlakuan yang dia terima, membuat Vian makin tertantang melakukan lebih. Dia terus memacu Meli yang juga makin meninggi. Perempuan itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Vian. Satu persatu Vian melepas seragam sekolah yang dikenakan Meli, dan melemparnya kesembarang tempat.
Pemandangan indah yang ada dihadapannya membuat nafasnya makin memburu dan melakukan serangan. Beberapa saat Vian masih menikmati romansa itu sampai dia tersentak dan sadar. Lalu menghentikan kegiatannya. Dia duduk dipinggir sofa dan membuang pandangannya kesembarang tempat. Menghindari tubuh bagian atas Meli yang sudah tak tertutup sehelai benangpun.
"Maafkan aku. Aku pasti menyakitimu. Aku hanya terbawa suasana," ucap Vian yang seolah tak mau bersitatap dengan Meli.
Perempuan memeluk Vian dari belakang. Dia bisa merasakan aroma tubuh gagah laki-laki yang dipeluknya itu. Otot kekar Vian tampak menyeruak dibalik kaos oblong yang dipakainya.
"Tidak apa-apa, Kak. Lakukanlah," ucap Meli perlahan. Vian membalikkan tubuhnya, kedua tangannya memegang pundak Meli. Dia sangat terkejut dengan apa yang didengarnya itu.
"Apa aku tidak salah dengar, Mel? Kamu yakin?" Vian memastikan apa yang didengarnya barusan.
"Lakukanlah, Kak. Tidak masalah bagiku."
"Kamu sadar apa yang kamu katakan itu, Meli? Kalau aku melakukannya kamu akan ... " Vian tak dapat melanjutkam ucapannya.
Serangan bibir liar Meli membuatnya terpana dan kembali hanyut dalam buaian kenikmatan itu. Lalu melakukan serangan balasan terhadap perlakuan Meli tadi. Tarian tubuh binal mereka makin memanas, membakar setiap mili aliran darah dalam tubuh mereka. Malam itu mereka habiskan dengan cumbuan indah diatas sofa. Desahan dan erangan lembut Meli membuat libido Vian makin tertantang. Nafsu liarnya yang sudah sampai di ubun-ubun berfantasi menikmati pemandangan indah yang tersaji didepan matanya.
Mereka tak dapat lagi menghentikan perbuatannya, setan menuntun mereka dalam kenikmatan surgawi semu malam itu.
Bercak merah membekas pada ujung sofa, menandakan Vian yang berhasil merebut mahkota berharga Meli. Dan mereka kembali mengulangi kenikmatan itu lagi dan lagi sampai keduanya terbaring lemas sambil berpelukan dan tertidur. Malam penuh fantasi itu berlalu dengan cepat, sampai semburat sinar matahari yang masuk melalui celah-celah tirai menyadarkan Meli dari tidurnya. Dia perlahan bangun dan duduk menatap laki-laki yang tidur disebelahnya. Sebelah tangannya menutupi tubuhnya dengan selimut. Dia menatap jam dinding yang ada dikamarnya itu. Pukul sembilan pagi. Dan artinya mereka sudah sangat terlambat untuk datang kesekolah pagi itu. Meli perlahan bangun sambil menahan rasa sakit diantara kedua belahan kakinya.
"Masih sakit, Mel?" sapa Vian yang memegang pundaknya dari belakang. Meli hanya menganggukkan kepalanya perlahan.
"Duduk saja. Jangan dipaksakan," ucap Vian lagi sambil menyandarkan kepala Meli dalam dadanya. Meli sangat menikmati kehangatan yang diterimanya pagi itu. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka semalam, sama-sama terbuai bujuk kenikmatan semu dan menikmati dosa itu berdua.
"Kak Vian tidak lapar? Biar aku buatkan sesuatu," ucap Meli.
"Kamu tidak apa-apa? Apa tidak sakit lagi, Mel?"
"Tidak apa-apa, Kak. Tunggulah sebentar." Meli bangun dari duduknya. Sebenarnya rasa ngilu dan perih itu masih ada, namun dia tak mau menunjukkannya dihadapan Vian. Perempuan berambut sebahu itu menuju kamar mandi dan membersihkan diri, lalu tak lama dia keluar dengan berpakaian lengkap.
Dengan cekatan Meli membuatkan sarapan untuknya dan Vian, menikmati kebersamaan mereka hari itu. Hanya berdua. Dirinya dan Vian. Setengah jam kemudian Vian menyusulnya kedapur. Laki-laki itu sudah membersihkan diri dan berpakaian rapi. Mereka makan pagi bersama. Menghabiskan waktunya seharian dirumah itu berdua. Sampai senja menyapa mereka.
"Kamu tidak apa-apa aku tinggal sendiri, Mel?" tanya Vian.
"Tidak apa-apa, Kak. Bibi juga sudah dalam perjalanan pulang kerumah. Kak Vian juga semalam tidak pulang, pasti orang tua Kak Vian khawatir," papar Meli.
"Aku udah memberi tahu Mama kalau aku menginap dirumah seorang teman. Jangan khawatir, tidak ada yang tahu kebersamaan kita ini." Vian mencium pucuk kepala Meli dengan lembut. Lalu mengeluarkan motornya dari dalam bagasi dan pulang menuju rumahnya. Seolah baru saja pulang dari sekolah. Meli kembali kedalam rumah, dia menyandarkan tubuhnya dipintu. Ujung bibir mungilnya terukir sebuah garis indah. Dia merasa sangat bahagia, mungkin baginya hari itu adalah hari pertamanya bahagia. Benar-benar bahagia bersama curahan kasih sayang laki-laki kesayangnya. Melviano Migdad.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Elmi yulia Pratama
meli...
2021-06-01
1
Becky D'lafonte
meli.....
2021-02-16
1
Rafi haikal
waduuh melli
2020-10-14
1