Senja Pertama

Semilir angin ikut membisu siang ini, menambah gagah matahari yang besinar. Rasa gerah membungkus seluruh tubuh. Seandainya bisa, ingin rasanya mereka memilih untuk duduk diam dibawah sejuknya pepohonan. Masa orientasi siswa memang benar-benar menyiksa bagi siswa baru. Melia, gadis lugu dari kampung yang terkenal culun diantara para siswa baru itu pun merasakan hal yang sama. Rambut panjangnya yang selalu diikat tinggi menjadi ciri khas nya. Meli, begitu dia biasa dipanggil, gadis mungil yang tingginya hanya 158 cm ini memiliki paras yang biasa saja, mungkin dia tak terbiasa berhias diri. Tapi sebenarnya dia gadis yang manis. Kacamata nya membuat dia terlihat culun, walaupun hanya minus seperempat dia selalu memakai kacamata antiknya itu.

"Meli," panggil Lily. Sahabat Meli sejak sekolah dasar. Tak pernah bosan mereka selalu satu sekolah dan satu bangku.

Hanya saja semua orang yang pernah melihat mereka berdua pasti kan melihat dua bilah sisi berbeda dari mereka. Sama-sama pintar, namun Lilyana adalah primadona sekolah. Wajah semi orientalnya berpadu dengan kulit putih gading yang halus. Mamanya peranakan Tionghoa sedangkan papanya lokal campuran, darah Indonesia-Australia melekat pada papanya.

"Ada apa, Ly?" tanya Meli yang menghentikan langkahnya saat Lily memanggilnya.

"Kamu sudah memutuskannya?" Lily mengikuti langkah sahabatnya menuju perpustakaan.

"Tentang apa?"

"Ekstrakulikuler yang kamu pilih? Kamu ikut apa, Mel?" tanya Lily penasaran.

Meli menarik kursi disudut belakang ruang perpustakaan. Mengambil sebuah buku yang ada dirak 102. Dia tersenyum menatap sahabatnya.

"Aku memilih ikut klub science. Kamu jadi memilih klub tari, Ly?"

"Ya, aku senang sekali sekolah ini ada klub tari. Jadi aku bisa menyalurkan hobi menariku disini"

"Bagus kalau begitu, Ly. Kamu memang dari dulu punya bakat. Aku kagum padamu. Semoga target go internasional mu tercapai ya."

"Terima kasih."

Mereka kembali asyik dengan buku-buku kesukaan mereka masing-masing, sampai tak terasa bel istirahat terakhir sudah berbunyi. Semua siswa berjalan menuju kelas masing-masing. Mengikuti tiga jam pelajaran terakhir.

******

Meli baru saja mengemas seluruh buku-bukunya. Dia terpaksa pulang paling akhir, Lily pamit pulang karena harus ikut les. Hari ini seperti biasanya dia dikerjai lagi oleh teman-temannya. Gadis berkacamata itu hanya mampu menghela nafas panjangnya saat dia diperlakukan tidak adil oleh teman-temannya, terpaksa dia harus piket kelas seorang diri.

"Hei, Culun ... " panggil seseorang dari depan pintu. Meli menoleh. Beberapa orang siswa laki-laki kelas dua berdiri didepan pintu.

"Rajin sekali kamu, Culun. Boleh aku bantu?" tanya salah seorang dari mereka. Dan Meli dengan polosnya mengangukkan kepalanya.

Braakk ...

Klontaakkk ....

Hahahhahaha ....

Mereka merobohkan beberapa kursi dan meja, menendang tempat sampah dan menaburkan isinya di atas kepala Meli. Lalu pergi meninggalkan perempuan malang itu menangis seorang diri. Meli membersihkan rambut dan pakaiannya dari sampah basah yang melekat dengan tangannya. Airmatanya tak berhenti mengalir. Sambil terus menyapu Meli pun menghapus buliran air yang mengalir dari matanya.

"Kamu kenapa?" lagi, seseorang muncul dibalik pintu. Pemuda bertubuh tinggi berisi dan berotot kuat. Matanya jeli memperhatikan Meli. Dia mendekat kearah Meli. Lalu mengeluarkan sapu tangannya.

"Ambilah," ucapnya pada Meli.

Perempuan berkacamata itu hanya menatap dengan pandangan takut. Dia tak mengenal laki-laki itu. Tapi yang jelas dari seragamnya pasti diapun murid satu sekolah dengan nya. Melihat Meli yang tak merespon perlakuannya, laki-laki itu makin mendekat. Dia membersihkan wajah Meli yang penuh kotoran dan bekas airmata dengan sapu tangannya. Lalu membersihkan rambut gadis muda itu, Meli yang tak pernah dekat dengan laki-laki manapun merasa canggung diperlukan seperti itu.

"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya laki-laki itu lagi. Kali ini Melia hanya menggelengkan kepalanya. Lalu tertunduk.

"Aku Vian. Melviano Migdad. Kelas tiga jurusan IPA," ucap laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya.

"Me ... Meli. Melia Khairani Akbar. Kelas satu," jawab Meli menyambut uluran tangan Vian.

Pemuda jago taekwondo itu tersenyum. Tarikan dua garis manis diujung bibirnya itu membuat dia terlihat makin tampan untuk laki-laki seusianya. Pemuda yang tiga tahun lebih tua dari Melia itu mencuri perhatian Si gadis berkacamata itu. Melia menatap pada Vian, dari jarak sedekat itu mampu membuat denyut jantungnya makin kacau.

Meloncat-loncat kesana-kemari. Seperti hendak menembus keluar dari tubuhnya. Mendadak Meli sadar dan memalingkan wajahnya. Dia bergeser beberapa langkah. Takut Vian akan melihat semu wajahnya bahkan kacaunya irama jantungnya saat itu.

"Kenapa kamu piket sendirian? Mana temanmu yang lain?" tanya Vian.

"Tidak ada," jawab Meli singkat.

"Mereka mengerjaimu? Benarkan?" cecar Vian. Laki-laki itu mengambil sapu dan membantu Meli membersihkam kelasnya.

"Aaahh ... tidak usah. Kakak tak perlu repot membantuku. Biar aku saja yang mengerjakannya."

"Tidak apa-apa. Aku bantu. Aku tidak suka melihat mereka memperlakukan mu tidak adil begitu. Lagipula jika dikerjakan berdua akan cepat selesai," tambah Vian. Dia tak perduli dengan reaksi Meli. Dengan cekatan dia membantu Meli membersihkan kelas. Dan benar, dalam waktu singkat semua dapat selesai dengan baik. Kelas jadi besih dan terlihat rapi.

Vian menatap puas dengan hasil kerjanya. Dia menyusun kembali sapu dibalik pintu.

"Sudah selesai. Ayo, pulang!" ajak Vian. Meli mengangukkan kepalanya dan mengikuti langkah kaki Vian. Dari belakang Meli menatap punggung lebar Vian, bahunya yang kekar dan lebar. Bau tubuhnya yang disirami parfum khas laki-laki, membuat Meli menarik halus ujung bibirnya. Diam-diam ada rasa kagum untuk laki-laki yang baru dikenalnya itu.

"Aku duluan, Kak. Terima kasih sudah membantuku," pamit Meli.

"Kamu pulang sendirian?" tanya Vian lagi.

"Hmm ... "

"Kalau begitu aku antar. Biar lebih aman. Tak baik sore-sore begini perempuan pulang sendirian." Vian menarik tangan Meli dan menuntunnya keparkiran motor. Honda CBR650R, sepeda motor touring sport empat silinder seri CBR 650 cc, kuda besi kesayangan Vian siap mengantar mereka.

"Apa tidak apa-apa, Kak?" tanya Meli ragu.

"Memangnya kenapa? Takut pacarmu marah?"

"Tidak bukan begitu. Aku tak punya pacar. Aku takut merepotkan Kak Vian saja," ucap Meli sopan yang tak ingin menolak mentah-mentah ajakan Vian.

"Kalau begitu tunggu apalagi? Ayo ... " Vian memberikan helm pada Meli. Akhirnya perempuan muda itu menututi kata-kata Vian. Dia duduk diatas boncengan motor macho berwarna merah itu. Vian benar-benar terlihat gagah mengendarai motor itu.

Tak lama Meli sampai dirumah bibinya. Dia memang bukan penduduk situ. Dia berasal dari kampung. Satu kampung dengan Lily, namun beda kasta. Kedua orang tua Meli hanya petani biasa. Sedangkan Lily, saudagar sembako terkenal disana. Bahkan sekarang Lily mengikuti orang tuanya yang oindah kekota itu karena membuka bisnis waralaba keluarga disana.

"Terima kasih sudah mengantarkanku, Kak. Maaf merepotkan Kak Vian," ucap Melia.

Vian hanya tersenyum sambil mengelus kepala Meli dengan lembut. Membuat gadis muda itu tersipu malu. Vian lalu memacu motornya membelah jalanan beraspal sore itu menuju rumahnya. Dan senja menyapa dunia yang mulai menikmati sendunya hari ini.

******

Terpopuler

Comments

Hera

Hera

nyimaaakk yuupp

2022-06-23

0

Bimo Satrio Edi

Bimo Satrio Edi

so sweet

2020-11-04

1

Aniest.nisya

Aniest.nisya

keren thor.. bahasa mudah dipahami thor...

feeback ya thor thanks...
semangatt ya thorr🤗

2020-08-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!