" Kalau begitu kamu turun saja disini, dan aku akan menghadapi mereka semua." Tanpa menghiraukan perasaanku dia meninggalkan aku di depan pintu sekolah.
Aku melangkahkan kaki perlahan, semua siswa menatapku seolah aku adalah orang jahat.
" Dia mencuri kekasih dari sahabatnya sendiri, sungguh tidak tau malu." ucap salah satu siswa disana.
" Siapa yang berani mengatai dia seperti itu? maka dia akan berhadapan denganku." suara itu terdengar tidak asing di telingaku, ternyata suara itu berasal dari seorang lelaki yang selalu melindungi diriku selama ini.
Dia adalah Albian Pambudi, aku sering menyebutnya dengan sebutan Bie.
Aku merasa dia menyukai ku, tapi entah apakah itu hanya perasaan ku saja atau memang dia menyukai ku.
Entahlah, yang jelas dia sangat baik padaku.
" Sudah Bie, cukup. Aku tidak apa-apa." ku dekati lelaki itu lalu aku meraih lengannya.
Senyuman manis ku lolos begitu saja saat melihat tatapan mata indahnya.
" Sungguh? apa kamu perlu aku obati nona?."
Bie selalu menggoda diriku, namun aku bahagia dengan banyolan dan juga perhatiannya selama ini.
Tapi semua rasa dalam hati ini hanya mampu memandangnya sebagai seorang sahabat atau lebihnya seorang kakak.
Karena saat ini hati, pikiran, dan diriku masih di kuasai oleh rasa cintaku terhadap Ray.
Sekian lama aku sembunyi dalam rasa cinta ini, ingin mengungkap segala rasa dalam diri, akan tetapi mulut ini berhenti bergerak saat melihatnya di depan mataku.
" Sepertinya hari ini kamu akan kembali berhadapan dengan maut."
" Maksud kamu?." Aku heran saat Bie berbisik di telingaku.
" Coba lihat itu..." Bie menunjuk pada seorang wanita berwajah garang tengah berjalan mendekatiku.
" Astaga, Tuhan bantu aku melarikan diri dari dari bahaya ini." Aku merasa tidak berdaya saat melihat ibu kepala sekolah tengah berjalan menghampiriku.
" Selamat pagi Bu Dian..." sapa Bie lalu di ikuti dengan senyum di bibirku.
" Zea Larasati, ingat kamu belum membayar uang semester bulan lalu." ketus Ibu Dian menatap kejam atas diriku.
" Baik Bu, akan segera saya bayar." aku tidak berani menatap wajah garangnya itu, aku memilih untuk menunduk melihat lantai yang aku injak.
" Kenapa kamu melihat lantai? kamu pikir kamu bicara dengan lantai? Dasar tidak sopan." Bu Dian nampak kesal atas sikapku, perlahan aku memberanikan diri memandang mata kejam itu.
" Ibu gelis, jangan lah marah macam itu, nanti cantiknya hilang lho." sambung Bie dengan menggoda ibu kepala sekolahku itu.
" Apa Ibu terlihat jelek saat marah? astaga, kamu benar. Aku terlihat tua saat ini." Bu Dian histeris saat melihat wajahnya di cermin yang ia bawa.
" Tersenyumlah Bu, maka Anda akan nampak awet muda." Lagi-lagi Bie mengeluarkan jurus pamungkas yang ia miliki untuk meluluhkan hati penyihir macam Bu Dian.
" Kamu sungguh mengerti diriku." Ibu Dian mencolek dagu Bie lalu berjalan menuju ruang kerjanya.
" Untung saja ada kamu Bie, jika tidak aku akan tewas seketika." Aku bernafas lega saat terlepas dari cengkraman maut.
" Aku sudah meminjamkan uang padamu untuk membayarnya, tapi kamu selalu menolak. Sekarang kamu sendiri yang ketakutan."
" Bukan aku tidak mau menerima bantuan dari kamu, tapi selama aku mampu mencari jalan keluarnya, maka aku akan berusaha dengan tenaga ku sendiri. Aku tidak ingin membebani kamu atas semua ini."
Aku tidak ingin bergantung pada siapa pun, karena aku sadar hidup ini tidak hanya bergantung pada orang lain, melainkan mampu berdiri sendiri di atas bumi ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments