"Maksud Tuan apa, ya?" Anyelir bingung dengan permintaan Agam.
Pura-pura menjadi tunangan pria asing? Itu adalah hal yang sangat mustahil bagi Anyelir.
"Aku rasa kita saling membutuhkan saat ini." Agam berkata dingin. Atmosfer dari pria itu memang dingin, seolah-olah tidak dapat disentuh.
Anyelir masih kaget. Ia mengibaskan tangannya ke wajah karena tiba-tiba merasa panas. "Hah, tapi apa dengan cara konyol seperti ini?" tanyanya.
"Sepertinya, iya."
Anyelir menghela napas kasar. Ia terkekeh menertawakan dirinya sendiri karena terjebak dalam situasi seperti ini. Diusir dari rumah, hampir dibunuh, ditolong pria asing, dan menjadi tunangan palsu pria dingin itu.
"Tapi ... kalau sampai berita pertunangan palsu ini beredar, aku takut keluargaku akan tahu," ujar Anyelir. Mengucap kata 'keluarga' membuat rasa takutnya kembali mencuat.
Agam menatap Anyelir secara intens. "Kau masih punya keluarga?" tanyanya.
Anyelir mengangguk pelan. Namun, raut wajahnya tiba-tiba berubah mendung. Tangannya yang berada di atas meja pun bergetar, seperti menahan perasaan cemas yang berlebihan.
"Apa semua yang terjadi ini karena keluargamu?" tanya Agam lagi.
"Tidak semua."
Agam menatap wajah Anyelir yang sudah lebih baik meski lebam di wajahnya masih terlihat karena kulitnya yang putih. Gadis di depannya itu penuh misteri dan terlihat jelas bahwa punya masalah yang cukup berat.
"Berarti ada musuh yang berlindung di belakang orang yang percaya padamu," tukas Agam.
Anyelir mengangguk. Membenarkan ucapan Agam. "Tuan benar. Orang baru seharusnya bisa menempatkan diri, bukannya menendang keluar orang yang telah membantunya."
"Apa kau ingin membalaskan dendammu?"
Anyelir diam. Kedua matanya terpejam rapat, seolah-olah meredam gejolak amarahnya yang ingin meledak. "Dendam? Hah, aku tidak tahu apakah aku dendam pada mereka atau tidak."
"Kalau kau memang mau membalas dendam. Lakukanlah!"
Anyelir menggeleng. "Aku tidak tahu caranya," lirihnya, "aku tidak punya bukti atau pun sesuatu yang bisa menghukum mereka yang jahat padaku. Apalagi, aku takut kalau ayahku nanti akan terluka."
Agam mengangguk-angguk. "Meski aku tidak tahu pasti apa yang terjadi padamu ... aku yakin, bisa membantumu."
Anyelir memberanikan menatap Agam, mencari kepastian di kedua mata pria itu atas keraguan dalam hatinya. "Bagaimana caranya kau membantuku?" tanyanya pada akhirnya.
"Aku rasa, pertunangan pura-pura ini bisa mengejutkan mereka. Apa mereka tahu kau masih hidup?" tanya Agam.
Anyelir menggeleng. "Sepertinya mereka sudah mengira bahwa aku sudah mati. Dan itu memang benar. Aku sudah mati dengan segala rasa sakit yang menyerang jiwa dan ragaku."
"Apa kau ingat yang terjadi sebelum pingsan? Hal itu mungkin akan membantuku menjalankan misimu," kata Agam.
"Tapi, kejadian itu tidak pantas jika kukatakan padamu. Itu sangat kejam dan memalukan." Mata Anyelir berkaca-kaca. Sekian detik berikutnya, ia tertunduk dalam.
"Mungkin, kau butuh berpikir dulu. Kau pasti menyayangi ayahmu, karena itu kau tidak ingin dia terluka. Lalu bagaimana kau bisa membiarkannya hidup dengan orang-orang jahat yang telah menghancurkanmu? Jika sekarang mereka menghancurkanmu. Pasti suatu saat, giliran ayahmu yang akan dihancurkan," tegas Agam.
Anyelir memejamkan matanya, otaknya mencerna kata demi kata yang terlontar dari Agam.
"Aku akan memikirkannya sesuai ucapan mu. Baiklah, berikan aku waktu," kata Anyelir setelah sekian detik hanya ada keheningan di antara mereka.
"Hem...baiklah. Aku akan pergi dulu. Kalau kau butuh sesuatu, minta saja pada Bi Santi." Agam beranjak dari kursi, meninggalkan bekas piring makannya begitu saja.
***
Anyelir melamun di pinggir kolam ikan yang berada di belakang rumah. Kakinya ia masukkan ke dalam air dan mengayun-ayunkannya. Tawaran Agam tadi benar-benar telah membuatnya bingung.
"Bagaimana kalau mereka tahu aku masih hidup? Pasti mereka akan berusaha membunuhku lagi." Anyelir menggumam.
Bi Santi baru saja selesai menjemur pakaian. Ia menghampiri Anyelir yang terus melamun. Tadi, ia sempat mendengar obrolan Anyelir dan Agam. Jadi, ia ingin memberi sedikit nasihat.
"Non Anye, kenapa melamun? Kakinya tidak dingin?" Bi Santi mengambil posisi duduk di sebelah Anyelir.
"Aku bingung. Aku harus bagaimana, ya? Tawaran Tuan Agam sangat membingungkan," jawabnya, menatap Bi Santi.
"Mau saya kasih saran, Non?"
Anyelir mengangguk. Ia menaikkan kakinya dan menghadap Bi Santi. Menatap wajah teduh wanita itu, membuat hati Anyelir sedikit tenang.
"Terima saja, kalau saran bibi," kata Bi Santi.
"Kenapa harus gitu?"
"Non, Nona Anye sekarang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Mungkin, juga sedang terancam. Maafkan, bibi. Tadi bibi sempat mendengarkan obrolan Non Anye sama Tuan Agam. Dan bibi menyimpulkan, kalau kalian ini dipertemukan untuk saling melengkapi," papar Bi Santi.
Anyelir melebarkan matanya. "Saling melengkapi gimana, bibi? Ada-ada saja."
Bi Santi tetawa. "Sepertinya kalian ini berjodoh. Hanya saja masih butuh waktu untuk saling mengenal. Dan cara ini mungkin salah satu cara kalian untuk saling dekat."
Bi Santi terkekeh setelah mengucapkan kalimat itu. Ia ingin melihat Agam dan Anyelir bersatu. Ia meyakini bahwa dua anak manusia itu sudah ditakdirkan berjodoh.
Apakah seorang Bibi Santi Mahadiningsih ini ada peramal, reader's?
"Bi, jangan begitu deh. Siapa aku yang bisa berjodoh dengan Tuan Agam? Syukur-syukur aku ditolong sama dia. Aku ini takut, kalau Tuan Agam nanti jadi sasaran orang-orang jahat yang mau mencelakai aku kemarin kalau mereka tahu aku tunangannya," jelas Anyelir.
"Aku tidak mau kalau orang lain menderita gara-gara aku," imbuhnya.
"Sebenarnya, apa yang terjadi sama kamu, Non? Siapa orang-orang jahat yang telah melukai kamu?"
Anyelir membuang pandang ke arah kolam. Matanya mendadak panas saat pertanyaan itu muncul. Karena saat pertanyaan itu muncul, maka bayangan orang-orang jahat itu kembali terlintas.
Bi Santi mendekat. Memeluk Anyelir dengan sayang untuk memberinya kekuatan. "Non Anye bisa cerita sama bibi. Jangan dipendam sendiri supaya hati kamu bisa kembali lapang."
Kedua mata Anyelir basah karena air mata. la terlena oleh perhatian yang ditujukan Bi Santi padanya. Perhatian Bi Santi seolah-olah hujan yang turun di gurun pasir. Menyejukkan hatinya yang terasa kering dan perih.
"Menangislah dulu, jika memang itu diperlukan," ucap Bi Santi, pelan.
"Mama tiri dan kakak tiriku sengaja menjebakku, bibi. Mereka jahat! Mereka memfitnahku dengan keji sampai ayah marah dan mengusirku. Tidak sampai di situ. Bahkan mereka sengaja ingin membunuhku!" Anyelir mencengkeram dadanya saat bercerita.
"Apa salahku! Kenapa mereka begitu, bibi?" isak Anyelir, sesenggukan.
Bi Santi semakin erat mendekap Anyelir dalam pelukannya. Mendengar cerita memilukan tersebut, ia pun menitikkan air mata. Tidak sanggup merasakan penderitaan yang dialami gadis belia tersebut.
"Ayah bahkan tega. Ayah lebih percaya ucapan mereka dari pada aku. Anaknya sendiriii!" teriak Anyelir dengan air mata yang semakin menggenang.
Agam mendengarkan percakapan yang terjadi di antara Bi Santi dan Anyelir. Gadis itu memang sudah menceritakan kejadian yang menimpanya. Namun, melihatnya menangis di pelukan Bi Santi mampu membuat hatinya terusik. Ada rasa ingin menolong, bahkan rasa ingin melindungi.
Apakah gerangan? Apakah ini cinta? Atau rasa kasihan?
Agam bingung pada perasaannya sendiri!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments