Agam berhenti saat mendengar seseorang memanggil namanya. Namun, ia tidak menoleh karena tahu siapa pemilik suara itu.
Delisa.
"Kak Agam, tunggu!" Delisa berhenti di depan Agam yang sama sekali tak menatapnya.
"Izinkan aku menjelaskan semuanya." Delisa meraih lengan kekar Agam. Namun, pemuda itu malah menepisnya dengan kasar.
"Jangan pernah lagi muncul di hadapanku!" Agam berucap dengan begitu dingin. Ia pun beranjak pergi meninggalkan Delisa yang menatapnya pilu.
Menyesal?
Tentu rasa itu tengah dirasakan oleh Delisa. Wanita berwajah manis dengan bibir tipis dan bulu mata lentik itu merasakan sesal sedalam-dalamnya akibat ulah yang dibuat.
Kini, ia tidak bisa lagi bersama Agam. Pria yang selalu memujinya dengan kata-kata indah dan perlakuan yang begitu baik.
"Maafkan aku," gumam Delisa kala mobil yang dikendarai Agam sudah meninggalkan area kampus.
***
Agam memasuki rumahnya dengan rasa marah. Ia membanting pintu saat memasuki rumah, hingga Bi Santi yang tengah menyapu terlonjak kaget.
Brak!
"Kenapa lagi Tuan Agam itu." Bi Santi menatap Agam sambil mengelus-elus dadanya yang masih berdebar.
Agam segera melepaskan semua pakaiannya dan menuju kamar mandi. Ia ingin membersihkan tubuhnya dari sentuhan Delisa serta membersihkan memori otaknya tentang wanita itu.
Wanita murahan!
"Sial!" Agam meninju dinding kamar mandi dengan keras.
Bayang-bayang wajah Delisa yang tersenyum, tertawa, dan menangis masih menari-nari di kepala Agam. Perasaannya pada Delisa masih sama. Ia masih mencintainya. Namun, rasa sakit yang wanita itu torehkan telah melebihi rasa cintanya.
Usai mandi, Agam yang hanya memakai handuk untuk menutupi tubuhnya. la berdiri di dekat jendela dan melihat gadis yang ia tolong tengah duduk melamun di pinggir kolam. Agam terus mengamati gadis berambut panjang legam itu sampai lupa bahwa ia tengah marah.
Wajah gadis itu sederhana, tetapi cukup menarik. Dan ada sesuatu yang membuatnya candu untuk terus menatapnya. Namun, entah apa.
Anyelir...
Anyelir yang merasa sedang diperhatikan menoleh ke semua arah hingga berhenti ke arah atas. Di mana Agam tengah menatapnya. Ia pun senang karena akhirnya bisa bertemu dengan Agam setelah seharian menunggu.
Agam seketika merasa grogi karena ia dan Anyelir saling tatap. Gegas ia balik badan. Namun, apesnya ia malah terbentur kursi santai yang biasa ia duduki. Saking kagetnya, lilitan handuk yang berada di pinggangnya terlepas tanpa disadari.
Anyelir menjerit saat melihat Agam bangun tanpa ada sehelai benang yang menutupi tubuhnya. la segera berlari masuk ke dalam rumah karena benda rahasia Agam terlihat jelas di matanya.
Malu!!
Oh ****! Memalukan sekali Agam ini!
Agam yang baru menyadarinya pun segera menutup bagian bawah tubuhnya dan menutup tirai jendela. Ia mengumpat dirinya sendiri karena seperti orang bodoh. Bisa-bisanya handuknya terlepas dan memperlihatkan bagian rahasianya. Dan itu pun dilihat langsung oleh Anyelir.
Agam menjambak rambutnya. "Bagaimana bisa handuknya lepas!" katanya. Dia pasti akan malu jika berhadapan dengan gadis itu nanti.
Di ruangan lain, Anyelir menepuk-nepuk pipinya. Ia berharap apa yang ia lihat tadi segera hilang dari ingatannya. Pipinya terasa panas melihat milik Agam menggantung seperti tadi. Anyelir pun begidik ngeri saat bayang-bayang kejadian itu masih berputar.
Agam keluar kamar dengan santai seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. la menemui Bi Santi dan memintanya untuk mengambilkan makan.
"Tuan Agam sudah tidak marah?" tanya Bi Santi sambil menyendok nasi dan lauk pauk.
"Memangnya aku marah kenapa?" sahut Agam, bingung.
Bi Santi pun tak kalah bingung. "Lho, bukannya tadi Tuan Agam marah-marah waktu pulang dari kampus? Sampai banting pintu?"
"Oh, iya tadi aku memang marah. Tapi, sekarang sudah tidak. Oh, ya. Tolong panggilkan gadis itu. Siapa tadi namanya?" Agam pura-pura lupa dengan nama Anyelir.
"Anyelir, Tuan. Saya panggilkan dulu. Tuan Agam nikmati saja makanannya," kata Bi Santi.
Anyelir terlonjak saat pintu kamarnya diketuk. Ia tidak langsung membuka karena khawatir jika itu adalah Agam.
"Non? Ini saya, Non. Buka pintunya." Anyelir merasa lega karena ternyata yang mengetuk pintu adalah Bi Santi. la membuka pintu dan menyuruh Bi Santi masuk.
"Tidak perlu, Non. Itu loh, Tuan Agam nyuruh saya manggil Non Anye," ujar Bi Santi.
"Hah? M-mau apa?" sahut Anyelir, cemas.
"Mungkin ada yang mau dikatakan. Sudah sana, temui Tuan Agam. Non Anye tidak akan diapa-apakan," kekeh Bi Santi sambil menarik Anyelir keluar dari kamar.
"Tuan Agam, ini Anyelir. Silakan ngobrol. Saya mau nyetrika baju di dalam." Bi Santi berpamitan pada Tuan Agam usai membawa Anyelir ke hadapan tuannya. Namun, ia malah menatap Anyelir sambil mengedipkan sebelah mata sebelum pergi.
'Apaan, sih, Bi Santi,' batin Anyelir sambil menggelengkan kepala.
"Duduklah!" Suara dingin dari Agam menginterupsi Anyelir.
"I-iya," sahut Anyelir. la duduk sambil menunduk karena masih malu dengan kejadian tadi.
"Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?" Agam tak membahas tentang kejadian tadi. Di sisi lain ia malu, dan di sisi lain pun ia tak ingin gadis di depannya merasa takut padanya.
"Iya. Aku sudah lebih baik. Semua karena kebaikan Tuan. Seandainya aku tidak bertemu Tuan, mungkin diriku sudah tidak ada lagi," sahut Anyelir.
"Jangan bicara begitu. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi. Takdir tidak selamanya berpihak,tapi takdir pasti tidak ingin melihatmu terluka."
Anyelir mencengkeram rok yang entah milik siapa. Baju dan rok yang ada di lemari kamarnya, ia pakai meski tanpa izin pemiliknya.
"Terima kasih," lirih Anyelir, "Maafkan aku karena baru mengatakannya."
Agam menghentikan kunyahannya saat mendengar suara Anyelir terdengar bergetar.
"Siapa namamu?" Agam bertanya lagi sebagai tanda awal perkenalan.
"Anyelir. Panggil saja Anye."
"Baiklah, Anye. Berapa usiamu? Aku lihat kamu masih sangat muda."
"Dua puluh tahun."
Agam mengangguk. Gadis di hadapannya usianya masih belia dan jauh di bawahnya. Namun, untuk membantunya tentu bukan masalah.
"Anye, apa kau tidak punya tempat tinggal?"
Anyelir mendongak. Kedua matanya begitu indah dengan bola mata hitam legam seperti rambutnya. Agam sempat terpesona karenanya. Namun, segera ia menyadarinya dan meneruskan makannya.
Anyelir menggeleng pelan. "Aku ... diusir." Kedua mata Anyelir berkaca-kaca.
Agam tidak lagi bertanya karena rasa iba yang menyerang hatinya. "Apa rencanamu setelah ini?" tanyanya.
Anyelir menggeleng lemah. Ia tidak tahu harus ke mana, mau apa, dan bagaimana. Rasanya, saat ini ia seperti manusia yang tidak berguna.
"Aku tidak tahu," lirihnya.
"Kalau begitu ... kamu boleh tinggal di sini!" tegas Agam.
Kedua mata Anyelir berbinar mendengarnya. Tentu, ia sangat senang karena ia tidak akan menjadi tunawisma dengan tidur tidak tentu tempat. Namun, hatinya sedikit mengganjal.
"Tapi, Tuan... bagaimana dengan keluarga Tuan?" tanya Anyelir.
"Keluargaku jauh. Mereka tidak akan tahu dan tidak akan peduli dengan apa yang terjadi padaku. Jadi, kamu bebas tinggal di sini."
Anyelir merasa sedih mendengar ucapan Agam. Pasti, selama ini Agam merasa kesepian. Namun, setidaknya ia merasa aman karena bisa tinggal di sini.
"Tapi, dengan satu syarat," kata Agam yang langsung memudarkan binar bahagia di wajah Anyelir.
"Kau harus menolongku. Dan itu akan ku jadikan sebagai bayaranmu tinggal di sini."
Anyelir mulai merasa sedikit takut. "Menolong? Menolong apa?"
"Kau harus pura-pura menjadi tunanganku," celetuk Agam.
"Apa?!"
Tunangan pria ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments