Sudah berkumpul di aula membuat mereka semua kebingungan. Lain halnya dengan Farel yang masih dengan santainya berdiri di dekat papan tulis serta ada spidol dan mic di tangannya.
Setelah ruangan besar itu senyap, benar-benar tak mengeluarkan suara, barulah Farel menggerakkan tangannya untuk menulis di papan tulis.
"Apa persamaan psikolog dan psikiater?"
Pertanyaan itu terpampang jelas di papan tulis membuat mereka semua berfikir untuk mencari jawaban.
"Siapa tau?" tanya Farel setelah tiga menit terdiam. Salah satu pria mengangkat tangannya, dia adalah santri yang mencari masalah dengan Farel tadi.
Tanpa menjawab, Farel berjalan ke arahnya dan menyodorkan mic-nya. "Psikolog dan psikiater sama-sama untuk orang yang tidak waras alias gila," jawab santri itu dengan lantangnya.
Farel hanya mengangguk walau tangannya sudah gatal untuk menghajar santri itu.
"Saya membantah jawaban Zaki!" ucap santri lain dengan lantangnya membuat Farel menghampirinya dan menyerahkan mic-nya mempersilahkan santri itu menyampaikan pendapatnya.
"Psikolog maupun psikiatri itu sama-sama dibutuhkan oleh orang banyak. Keduanya adalah tempat yang bisa di percaya saat seseorang tidak lagi bisa percaya pada orang terdekatnya. Keduanya sama-sama bisa mengerti dan menghargai perasaan orang lain. Bahkan pemahaman psikolog sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari dan juga dibutuhkan dalam dunia bisnis," jawab santri itu panjang lebar.
"Maju!" perintah Farel yang membuat santri itu langsung maju tanpa banyak bertanya. Ingin bertanya pun dia tak berani.
Farel kembali menuliskan pertanyaan keduanya. 'Curhat atau di curhatin?'
"Siapa jawab?" tanya Farel yang membuat satu santri lagi mengangkat tangannya.
"Dicurhatin. Karena saat lo menjadi tempat curhat orang lain, lo bisa mengambil hikmah dari cerita orang tersebut. Lo bisa membantu mereka untuk melapangkan dadanya. Walaupun lo gak bisa membantu setidaknya cukup menjadi pendengar yang baik," jawab santri itu dengan sedikit ragu.
"Maju!" lagi-lagi satu santri disuruh maju oleh Farel.
Farel kembali menuliskan pertanyaan ke-tiga. "Saat lo ditinju tiba-tiba. Langsung bales tinju atau mencari penyebabnya?"
Tanpa bertanya, seorang santriwati mengangkat tangannya. "Cari alasannya dulu. Karena orang yang bijaksana dan cermat adalah orang yang selalu bertindak dengan akal sehatnya dan selalu bisa mengatur emosinya,"
"Maju!"
Farel lagi-lagi menulis pertanyaan. "Dihargai atau menghargai?"
Seorang santriwati lagi-lagi mengangkat tangannya. Farel menatap gadis itu. Gadis itu adalah gadis yang tadi di kantor yayasan, yang akan mengikuti pertukaran pelajar. Namun entah kenapa Farel merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Seakan dirinya tersihir oleh wajah cantik dan polos gadis tersebut. Cepat-cepat Farel mengembalikan kesadarannya dan mempersilakan gadis itu menjawab.
"Menghargai. Karena saat kita menghargai orang lain, orang lain pun akan mengaharagai diri kita. Namun sebaliknya jika dimintai untuk dihargai. Percuma minta dihargai tapi tidak bisa menghargai orang lain. Karena menghargai dulu baru bisa dihargai," jawab gadis itu dengan percaya dirinya.
"Maju!"
"Mereka yang akan ikut pertukaran pelajar!" ucap Farel menggema ke seluruh aula besar itu.
"Tidak bisa begitu! Kan awalnya saya yang terpilih," penolakan itu berasal dari Zaki. Bagaimana tidak? Diantara ke-empatnya hanya dirinya yang diganti.
"Saya mencari orang yang bisa menghargai orang lain. Kalau perilaku anda seperti ini, saya jamin hidup anda tidak akan lama di sana," jawab Farel dengan tegasnya dan berlalu.
Sebelum benar-benar pergi, Farel berucap pada seorang ustadz. "Urus kelanjutannya!" perintah Farel dan barulah dirinya benar-benar pergi.
Sekarang tujuan Farel adalah taman. Dirinya sudah duduk di salah satu bangku dan mengeluarkan hp-nya. Farel membuka salah satu aplikasi hp-nya. Malam nanti, Farel berniat memberi Kakek dan Neneknya kejutan.
Lima belas menit sudah Farel berdiam diri di taman yang sepi itu. Diliriknya jam tangan yang melingkar indah di tangan kirinya, waktu akan menunjukkan saat zuhur 5 menit lagi. Tanpa berpikir panjang Farel pun melangkahkan kakinya menuju masjid.
Senakal-nakalnya seorang Alfarel, dirinya tak pernah meninggalkan sholatnya. Abah dan Umma pernah berpesan padanya.
"Senakal-nakalnya kamu di luaran sana, jangan pernah tinggalkan sholat dan kewajibanmu yang lain. Kamu boleh nakal tapi jahanam jangan!" pesan itu akan selalu Farel ingat seumur hidupnya.
Setelah sholat zuhur, Farel langsung menuju ndalem untuk makan siang. Cacing di perutnya telah meronta sejak tadi untuk diberi makan.
"Assalamu'alaikum," ucap Farel masuk rumah dan melihat 2 gadis sedang mempersiapkan makan siang secara lesehan. Mereka adalah yang ditunjuknya tadi untuk mengikuti pertukaran belajar.
"Wa'alaikumussalam," tanpa banyak kata, Farel langsung mendudukkan pantatnya ke sofa.
"Loh?! Kakekmu mana, Gus?" tanya Jamilah datang membawa nasi.
"Ngobrol dulu," jawab Farel dan memainkan hp-nya sebab dari tadi banyak sekali notifikasi yang dia abaikan.
"Mau berapa hari di sini Gus?"
"Gak tau," jawab Farel berdiri untuk keluar rumah berharap Kakeknya segera pulang.
"Kek, ayo makan!" teriak Farel kesal sebab Kakeknya itu masih asik mengobrol sambil berjalan santai dengan 2 santri tanpa memikirkan nasib perut cucunya itu.
Abdullah menoleh ke arah cucunya yang sudah berwajah kesal itu sambil terkekeh dan mempercepat langkahnya. "Sudah lapar, hm?" tanya Abdullah saat Farel mencium tangannya, sedangkan Farel hanya menjawab dengan mengangguk dan segera duduk menghadap makan siangnya.
Sekarang mereka sibuk mengambil makan siangnya. Namun suara notifikasi dari hp Farel terus terdengar begitu mengganggu.
"Hp-mu itu kenapa Gus? Banyak sekali notif," ucap Abdullah yang membuat Farel mau tidak mau mengecek hp-nya dan ternyata itu dari grup miliknya bersama sahabat-sahabatnya.
Baru saja Farel ingin mengetikkan balasan, sahabat-sahabatnya itu langsung melakukan panggilan grup.
"Lo dimana?" tanya Afnan nyolot.
"Pesantren,"
"Sip, kita bener tujuan nih," ucap Dylan dan tiba-tiba saja panggilan terputus secara serempak.
"Assalamu'alaikum," ucap beberapa suara dari depan pintu dan menyerobot masuk.
"Wa'alaikumussalam,"
"Loh?! Sohibnya Gus, toh," ucap Jamilah. Ya, benar, mereka adalah sahabat-sahabat Farel.
Farel menggelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya itu. Ke mana dirinya pergi pasti mereka mengekori.
"Ngapain?" tanya Farel geram.
"Menurut el? Nyusul elo lah! Pergi gak bilang-bilang! Untung aja kita bener nyusulnya ke pesantren," jawab Dylan ngegas.
"Tauk tuh. Nih ye, di mana ada lo, harus dipastiin kita ada sama lo," tambah Yusuf.
"Kakek sama Nenek gimana kabarnya?" tanya Adam.
"Alhamdulillah sehat. Kalian dan orang tua kalian gimana?"
"Alhamdulillah sehat kok,"
"Kek, Nek, kita bolehkan makan siang di sini? Terus nginep di sini selama GUS FAREL di sini?" tanya Yusuf dengan menekankan kata 'GUS'.
"Tentu boleh. Sudah lama juga kalian tidak kemari, kan?!"
"Nah, bener. Kalo gitu mari kita makan! Perut udah minta diisi," ucap Dylan dan dengan santainya mengambil lauk pauk. Mereka memang sudah lama saling mengenal, sebab itu sahabat-sahabat Farel tidak perlu segan lagi terhadap Kakek dan Nenek Farel. Bagi mereka, mereka adalah keluarga.
"GUS PALEL!!" teriak seorang gadis kecil berlari menuju Farel dan langsung memeluk Farel.
"Aisy," ucap Farel membalas pelukan sepupu kecilnya yang berusia empat tahun itu.
"Aisy kangen sama Gus Palel,"
"Panggil Abang, Aisy!" peringat Farel membuat gadis kecil itu hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Gus? Sudah lama?" tanya sepasang masnusia, mereka adalah orang tua Aisy. Adik dari Abah Farel. Aisah dan Luqman.
"Sebelum zuhur,"
"Tau gak kamu? Santri sama santriwati asik gosipin kamu," ucap Luqman sedikit kesal. Sebab sedari tadi telinganya mendengar banyak omongan tentang keponakannya itu.
"Biarin! Aisy udah makan?"
"Belum. Aisy balu pulang ikut Abi sama Umi ke pesantlen,"
"Makan sama Abang mau?"
Aisy mengangguk semangat. "MAU!!!" soraknya senang membuat Farel mengusap kepalanya dengan sayang.
"Tapi lauknya ayam. Abang suka ayam," ucap Aisy berubah lesu. Aisy alergi terhadap ayam, sedangkan Farel sangat menyukai ayam. Untuk menu makan siang sendiri adalah ayam goreng, tahu tempe dan beberapa lalapan.
Farel hanya menanggapi dengan anggukan sedangkan tangannya asik mengambil nasi ditambah beberapa tahu dan tempe.
"Makan begini. Mau?" tanya Farel hanya diangguki Aisy. Tanpa banyak kata lagi Farel langsung menyuapi Aisy dan menyuapi dirinya sendiri tanpa peduli tatapan mereka yang lain.
"Mau berapa hari di sini Gus? Atau kamu mau menetap di sini?" tanya Luqman mengabaikan pemandangan yang mengharukan itu.
"Belum tau. Enggak," jawab Farel yang membuat Luqman mengangguk faham bahwa keponakannya itu kalau bicara emang irit.
"Mereka siapa? Kita belum pernah liat," tanya Yusuf menatap ke-4 calon santri yang mengikuti pertukaran pelajar.
"Mereka yang akan ikut pertukaran pelajar di SMA kalian,"
"Ooohh,, bakal jadi satu sekolah deng. Kenalin gue, Dylan Hamizan,"
"Gue Yusuf Ramadhan,"
"Gue Adam Nabhan,"
"Afnan,"
"Kita sohib-sohibnya Gus kalian. Ntar kalo ada apa-apa di SMA Khatulistiwa bilang aja ke kita. Btw, nama kalian?"
"Saya Azlan Hidayat,"
"Saya Farras,"
"Saya Milea Anzani,"
Uhuk Uhuk
Dylan tersedak air liurnya sendiri. "Kok nama lo, Milea? Apa kita ditakdirkan bersama?" tanya Dylan mulai merayu yang langsung diberi jitakan oleh Adam.
"Sakit ogeb! Gue kan nanya ini," kesal Dylan.
"Lo kalau mau jadi buaya jangan di sini. Bar sana!"
"Dih ngegas. Ketemu Hawa di sini juga lo seneng,"
"Berisik! Lo siapa?" tanya Afnan pada gadis satunya.
"Saya Nafisha Almair Zalsa,"
Uhuk uhuk uhuk
Sekarang gantian Farel yang tersedak.
"Lo kenapa, Rel?" tanya Yusuf.
"Susu apa?" tanya Farel melirik segelas susu yang di genggamnya.
"Astaghfirullah. Itu susu kambing. Nenek lupa bilang sama kamu," panik Jamilah. Farel tidak bisa minum susu kambing, wajahnya akan berubah menjadi merah.
Farel langsung menurunkan Aisyi dari pangkuannya dan berlari ke arah dapur berharap susu yang sudah masuk ke perutnya bisa ia muntahkan. Namun nihil, susu itu telah tecerna ke lambungnya.
"Gus gak papa?" tanya Nafisha datang memberanikan diri dan bertanya.
Farel menggeleng sambil memegang dadanya. Selain wajahnya yang akan memerah, Farel juga akan sesak napas.
"Gus, obat alergi kamu mana?" tanya Jamilah datang dengan khawatir.
"Habis,"
"Nafisha punya Umi. Nafisha ambil sebentar," ucap Nafisha panik dan langsung berlari keluar.
Tak lama kemudian, Nafisha kembali dengan membawa botol obat. Dengan telaten dirinya mengambil air hangat dan mengambilkan sebutir obat miliknya untuk Farel minum. Farel pun tanpa banyak bertingkah langsung menerima dan meminumnya.
Sesak nafas Farel mulai mereda. Hanya wajahnya yang masih memerah layaknya bayi yang baru lahir.
"Gus, maaf Nenek lalai," ucap Jamilah meneteskan air matanya.
Farel menggeleng sambil menghapus air mata Jamilah. "Gak papa, Nenek. Farel juga yang salah gak membaui dulu tadi. Jangan nangis! Farel gak suka,"
Jamilah mengangguk. "Kamu udah gak papa? Masih ada yang sakit? Atau kita ke RS?"
"Gak perlu. Udah gak papa,"
"Nafisha, terima kasih ya, Nak sudah memberi obatnya pada Farel,"
"Sama-sama Umi. Kebetulan aja Fisha punya obat alergi susu kambing,"
"Lo punya alergi susu kambing juga?" tanya Yusuf.
"Iya,"
"Jangan-jangan jodoh nih?!"
"Bacot!" jawab Farel dan berusaha berdiri. Afnan pun dengan sigap membantu sahabatnya itu.
"Santai dong. Lo tau sendiri, di dunia ini gak ada yang namanya kebetulan," ucap Dylan yang hanya dianggap angin lalu.
"Lo mau ke mana?" tanya Afnan.
"Tidur," Afnan mengangguk dan membantu Farel berjalan menuju kamarnya.
Tbc...
^^^#as.zey^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
anggita
Gus... 😊
2023-02-04
0
kak masun
hemat banget bicaranya Gus , ampek sama kakek dan nenek juga dingin benget
2023-02-03
0