Beberapa hari kemudian.
"Halo Pak?" ujar orang di seberang telepon."
"Iya, ada apa?" Menjawab setelah telepon tersambung.
"Saya mau melaporkan bahwa hari ini ada meeting mendadak. Saya harap bapak segera ke kantor, karena satu jam lagi kita akan bertemu dengan investor dari luar negeri." jelasnya.
"Baiklah, saya akan segera ke sana."
"Iya Pak." Sambungan telepon terputus.
"Aulia, kamu jangan terus bersedih iya. Aku pergi dulu ke kantor, kamu harus mengikhlaskan kepergian Liana." Mengusap kepala istrinya lembut.
Aulia tampak murung, dia kini tengah menggendong Liani. Matanya sembab karena sudah menangis berhari-hari.
Aulia menyalami tangan Rahman, dan mencium punggung tangannya. Rahman mencium kening Aulia lalu pergi.
"Oek... Oek... Oek..." Liani menangis, membuyarkan lamunan Aulia.
Aulia segera pergi ke dapur, menghampiri bibi Ijah yang tengah memasak. "Bibi, bisa tolong buatkan susu untuk Liani."
"Iya nyonya, saya akan membuatkannya." Bibi Ijah segera mengambil botol kecil, dan memasukkan air hangat ke dalam botol. Sebelum itu, susu bubuk telah dituang ke dalamnya.
"Bibi, kenapa Liana harus pergi secepat ini." Memberikan susu ke mulut Liani.
"Nyonya harus kuat iya, kita memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada kehidupan kita. Karena kehidupan ini berjalan sesuai ketentuan yang di atas, bila nyawa kita akan diambil kita tidak bisa menolaknya." jelas bibi Ijah.
Aulia masih terisak, dia seorang ibu yang telah mengandung putrinya itu selama 9 bulan. Sangat wajar jika dia sangat terpukul, dia menyaksikan putrinya pergi untuk selamanya. Padahal putrinya itu baru saja berusia satu bulan, melahirkan dengan mempertaruhkan nyawa.
"Aku akan berusaha ikhlas bibi, terima kasih atas nasehatnya." Aulia menatap pembantu setianya itu.
"Iya nyonya, Bibi hanya bicara seadanya." jawabnya.
5 tahun kemudian.
"Liana, kamu kemana saja? Mbok mencari kamu dari tadi." Mbok Inem setengah berteriak.
Liana segera mendekati mbok Inem yang tengah memarut ubi. "Ada apa Mbok?" tanya Liana.
"Kamu temani Mbok mencari kayu di hutan iya." pinta mbok Inem.
”Kenapa sih, aku terlahir dari keluarga miskin. Aku ingin seperti temanku, mereka bisa jalan-jalan ke mall sepulang sekolah.” batin Liana, dia sedang melamun dan berkhayal tingkat tinggi.
Mbok Inem melambaikan tangannya, di depan wajah Liana. "Kenapa melamun?"
Masih tidak ada jawaban, hanya terlihat wajah Liana yang cemberut. Dia benar-benar ingin menjadi kaya suatu hari nanti.
"Liana!" Panggil mbok Inem dengan kuat, suaranya berhasil membuyarkan lamunan Liana.
"Iya Mbok, ada apa?"
Mbok Inem tersenyum. "Kamu mikirin apa? Ayo kita mencari kayu bakar. Mbok ingin membuat kue, untuk dijual ke pasar." tuturnya.
Liana mengangguk. "Iya Mbok."
Mereka berjalan menuju belakang rumah, di sana banyak pohon-pohon lebat yang tumbuh. Ranting-ranting kecil dari dahan pohon dikumpulkan oleh mbok Inem, seperti itulah kesehariannya. Hingga kini dia tua renta, dia masih melakukan aktivitas melelahkan itu.
"Kamu bawa yang kecil-kecil saja iya Liana, biar Mbok yang membawa Tunggak besar." ujar Mbok Inem.
Liana merasa malas dan terpaksa "Iya." jawabnya singkat.
”Ketika sudah dewasa aku ingin pergi, aku ingin merubah hidupku. Aku benci dengan keadaan ini, kenapa aku harus terlahir sebagai anak Mbok Inem.” batin Liana.
"Tuh 'kan melamun lagi." Mbok Inem geleng-geleng kepala, melihat sikap Liana.
"Liana ingin seperti teman-teman Mbok, mereka asyik bermain dan tidak sepertiku." jawab Liana.
"Maafkan Mbok, yang tidak bisa membahagiakan kamu Nak." Dia merasa sedih, melihat Liana menderita.
Liana membanting setumpuk kayu tersebut. "Mau Mbok minta maaf bagaimana pun juga, kita tidak akan berubah menjadi kaya." jawabnya sambil terisak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
XMantan SElaTAN
seru Thor👍👍👍
2023-02-22
0