Tia memapah tubuh Liana, dan Bram mengangkat sepedanya ke dalam mobil. Mobil yang dikendarai Bram melaju dengan kencang, lalu tidak lama kemudian sampai ke sekolahan. Liana turun dari mobil Bram bersama sepedanya yang ikut dikeluarkan. Baru kali ini dapat naik mobil yang bagus.
"Terima kasih Om, Tante." Menyalami tangan om Bram dan tante Tia.
"Iya sayang, kamu harus belajar yang rajin." Om Bram menepuk pundak Liana.
Setelah mereka pergi, Liana segera masuk sekolahan SD itu. Dia ingin memastikan, tentang seorang anak kecil bernama Liani tersebut.
"Liani, kamu kok sekolah?" sahut seorang laki-laki dari belakang.
"Memangnya kenapa?" jawabnya.
"Papamu bilang kamu lagi sakit. Sekarang kok kamu malah masuk?"
"Oh, aku sudah baikan sekarang. Nanti kalau aku tidak sekolah, kamu kesepian lagi." alibinya.
"Memangnya kamu peduli?" tanya Alfian.
"Iya peduli dong! Kamu tahu tidak, kedua orangtua kita itu bersahabat." ujar Liana asal.
"Iya aku tahu." jawab Alfian.
”Biasanya dia cuek, tidak mau mengobrol denganku seperti ini.” batin Alfian.
Di kamar, Rahman mengusap kepala Liani.
"Liani, kamu masih sakit?" tanya Rahman.
"Iya Pa, Liani demam." jawabnya.
Bibi Ijah datang membawa semangkuk bubur ayam dan air minum. "Non makan dulu iya, terus minum obat." ujarnya.
"Iya Bibi, terima kasih telah menyiapkannya untukku." jawab Liani.
"Kenapa harus berterima kasih. Bibi sudah menganggap non seperti anak sendiri."
Liani tersenyum, dia bersyukur masih ada seorang perempuan yang menyayanginya, setelah kepergian sang mama.
"Papa pergi ke kantor dulu iya sayang." ucap Rahman, seraya mencium kening putri kecilnya itu.
"Iya Pa, hati-hati di jalan."
Rahman mengangguk seraya melambaikan tangan, menunjukkan raut wajah tersenyum bahagia. Meski seperti itu, penuh rasa sesak di dada Rahman sejak kepergian Aulia.
"Non, besok masuk sekolah tidak?" tanya bibi Ijah.
"Kenapa Bibi?" jawabnya.
"Tadi Bibi ngelihat tuan muda Alfian ke sini, dan dia bertanya ke papamu. Ternyata kamu tidak sekolah, jadi dia pergi ke sekolah bersama supirnya. Dia kelihatan murung, karena tidak ada nona." jelas bibi Ijah.
"Aku dan dia tidak dekat Bibi. Hanya orangtua kami saja yang bersahabat."
"Iya non, tapi kelihatannya tuan muda Alfian orang yang baik. Dia selalu peduli dengan nona."
Liani termenung sejenak, berfikir tentang sikap Alfian yang selalu membelanya. jika serangan hinaan diterpakan kepadanya, dia selalu memperingatkan teman-teman, meski telinga mereka tidak menyaring omongannya. Di rumah, membuat kesal hati lagi.
"Liana, tunggu kedai nasi ayamnya Mbok dulu iya. Sekarang Mbok mau mencuci pakaian di sungai."
"Iya Mbok." jawabnya terpaksa.
Mbok Inem segera pergi sambil membawa ember yang berisi tumpukan baju-baju kotor yang sudah menggunung. Dia sibuk berjualan kue di pasar, sehingga tidak sempat mencuci baju.
"Selalu saja miskin, tapi sebentar lagi aku akan menjadi orang kaya. Tinggal di rumah mewah, kasur yang empuk." Liana membayangkan dalam ingatannya.
"Liana beli nasi ayamnya 3 bungkus." ucap pria paruh baya.
Liana segera melayani pembeli, lalu orang tersebut pergi setelah mendapatkan yang diinginkan.
Liana menendang kakinya ke udara. "Aku capek seperti ini terus, bersepeda dari tempat tinggal Mbok yang terpelosok ini, hingga sampai ke kota. Meski di perbatasan, tetap saja melelahkan. Aku iri dengan Liani yang setiap hari mengendarai mobil, tapi kenapa wajahnya bisa kembar denganku?" Pikirnya, dia terus bergulat dengan pikiran diri sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
XMantan SElaTAN
👍👍👍suka banget sama cerita nya😘😘😘
2023-02-22
1