"aku berikan kepada ibu dek aku kasian kepada ibu yang harus membiayai kulyahnya Gita banting tulang sendirian semenjak sepeninggalan bapak ibu harus berjuang untuk menguliahkan gita" jawabnya lirih, setelah sekian lama terdiam.
Ku hembus nafas kasar. Lalu mencoba mengontrol emosi gemuruh di dalam dada ini. Dengan menarik nafas kembali secara pelan-pelan.
"sebagian uang bonusnya juga?"aku kembali menyelidiki. Sembari menatapnya tajam Dia mengangguk.
"Begini dek, mas jadi beginikan karna jasa ibu yang berjuang kan, kamukan hanya mendapat kan senangnya saja dek, ibu yang telah berjuang sehingga mas bisa sekolah dan bisa di titik seperti sekarang ini. Jadi kamu harus terima ya? Jangan egois gitulah. seharusnya kamu bersyukur dapat memiliki suami mapan seperti mas ini.dan kehidupanmu juga terjamin"jelasnya terdengar agak ketus.
"Apa? Beruntung kerena hidupku terjamin? apa aku nggak salah dengar mas? Kalau kehidupanku terjamin, seharusnya aku tak susah payah jualan dong mas" cerca ku tanpa memberi ruang mas satria untuk mejawab.
"itu sudah nasibmu coba kamu seperti aku yang punya karir bagus kehidupan mapan, jadi kamu nggak perlu mengemis nafkah dariku, kalau kamu susah payah jualan itu sudah nasipmu. Bahkan aku nggak tau berapa hasil kamu jualan dalam sehari" ucap mas santria dengan enteng.
Netra ini tiba- tiba memanas. Suamiku yang selama ini yang selalu bertutur sapa lembut yang selalu menyayangi aku dan taisya tiba-tiba mengluarkan kata-kata yang sungguh kasar dan tajam bagai belati malam ini.
"mas, seorang istri itu wajib kamu nafkahi. Uang suami berarti uang istri juga. Sedangkan uang istri milik sendiri, tapi nyatanya selama ini kamu ikut makan dari uang yang aku peroleh dari jualan. Aku tidak melarang kamu memberi uang sama ibu tapi tolong jujur. Dan lihat dulu keadan anak dan istrimu mas. Sementara ibu hidup sengan bekecukupan bahkan mewah. Emangnya kamu nggak bisa menukar nominal uang yang di berikan kepada ibu untuk aku dan raisya, bahkan kamu memberikan uang gaji mu untuk kami tidak sampai sepuluh parsen dari uang gajimu kamu anggap aku ini apa mas? Trus sisa uang bonus yang kamu berikan kepada ku kamu kamu berikan kepada ibumu juga mas,kamu anggap aku istrimu nggak sih mas?" Tanyaku sambil menahan sesak didada.
"ya buat ibu, emang kenapa ada yang salah? teserah aku dong. Itu kan uang aku, kenapa kamu yang sewot dan yang aku kasihkan juga kepada ibuku. Wanita yang telah melahirkan ku. Kenapa malah kamu yang sewot? Itu pun kalau kamu masih mau menjadi istriku, kamu harus nurut" ucapnya sinis.
Selepas bicara seperti itu, dia bangkit masuk kamar untuk mengambil jaket, lalu keluar dan terdengar dia sepertinya pergi mengendarai motornya.
Kulihat tas dan helemny juga nggak ada di meja. Sepertinya dia pulang kerumah orang tuanya.
Sepeninggalan mas satria, aku masih terpaku. Tak percaya bila dia tega mengatakan kata-kata yang begitu menyakitkan kepadaku. apakah ini sisi lain dari dirnya yang tidak aku ketahui? Aku hanya tau kehidupan nya di rumah. Di luar sana, tidak pernah aku tau apa yang di lakukannya serta bagaimana perilakunya.
Saat asyik dengan pemikiranku tiba-tiba gawaiku berbunyi menanda kan kalau ada panggilan masuk. dari nomor bapakku,
"Assalamualaikum pak" sapaku ketika panggilan tersambung
"waalaikuksalam nak," jawab seseorang di seberang sana, ternyta ibuku yang menelpon
"ya bu ada apa?" tanyaku,
"nak,kamu disuruh kerumah sama bapak sekarang, ada paemasalahan penting yang harus dibahas katanya" jawab ibuku
"tapi buk kalau sekarang Raisya sudah bobok dari tadi sehabis magrib" jawabku
" ya sudah kalau begitu biar ibu dan bapak saja yang kesana ya sudah ya assalamualaikum"ibu mengakhiri panggilan
"waalaikumsalam" jawabku ketika panggilan telah terputus.
***
Tidak berapa lama terdengat ketukan pintu
Tok
Tok
Dengan langka lesu aku melanggkah kearah pintu sambil memposisikan diri supaya bapak dan ibuku tidak tau kalau aku baru saja bertengkar sama mas satria. Setelah merasa siap barulah aku membuka pintu ibu dan bapakku sudah di depen pintu dan mempersilahkan orang tuaku untuk masuk kerumah, aku membawa bapak dam ibuku keruang tengah duduk dikarpet depan tv, aku melanggkah kebelakang membuat segelas kopi dan secangkir teh untuk kedua orang tua ku.
Setelah di ruang tengah aku meletakan kopi dan teh untuk bapak dan ibuku dan mempersilah kan keduanya untuk minum minuman yang aku suguhkan untuk keduanya.
"ada apa bu katanya tadi ada masalah penting yang akan di bicarakan sama Santi?" tanyaku setelah lama menunggu bapak dan ibuku menceritakan masalah yang dimaksud tapi belum ada di antara mereka yang mulai pembicaran
"jadi gini tanah milik bapak yang warisan dari mbahmu mau di jual.lagi pula juga tidak ada yang nguris karna jauh" ujar bapak mulai bersuara
"tanah kosong itu pak?" tanyaku
"iya mana lagi, hanya itu kan yang bapak punya" jawba bapak. Memang bapak punya lahan kosong sekitar kurang lebih empat hektar selain sawah yang di bagi dua denganku. Dulu pernah aku di pinta untuk mengelolanya, namun, karna pertama jauh dan kedua belum ada modal untuk beli bibit sawit, dan juga untuk upah orang yang bekerja membuka lahan tesebut.
"Jadi katanya di dekat situ akan di bangun pabrik kelapa sawit dan perusahan itu mau membeli lahan bapak, dan beberapa lahan yang lain yang berada di sekitar lahan bapak, dengan harga yang tinggi. Maka ibu dan bapak menyruh kamu untuk mengurusnya nanti. Karna menurut bapak dan ibu juga lebih baik tanah itu di jual dan uang nya bisa kamu gunakan., karna itu juga untuk mu. Karna kamu anak bapak dan ibu satu-satunya. Mungkin nanti bisa untuk buka usaha kamu dan suamimu!" jelas bapak panjang lebar
"baik pak nanti Santi akan uruskan semuanya" jawabku.
Setelah bapak dan ibuku memberi kabar tentang lahan tesebut mereka memutuskan untuk kembali kerumah meraka.
Aku harus merahasiakan ini dari mas Satria. Mungkin ini jawaban dari doa-doa ku selama ini.sepaninggalan orang tuaku setelah mengunci pintu dan memeriksa jendela semua sudah terkuci, aku melangkah menuju kekamar tidur. Kupandangi wajah polos putriku yang sedang terlep aku husap lembut rambutnya.
"sebentar lagi kita akan keluar dari penderitaan ini nak" ucapku lirih.
Ku baringkan badanku disamping gadis kecilku, kami sudah terbias setiap malam hanya tidur berdua karna mas satria banya menghabiskan waktu dirumah orang tuanya. Perlahan rasa ngantuk mulai menyerang dalam beberapa detik kemudian aku pun terlelap.
Aku terbangun jam 04:00 pagi ini aku terbangun agak kesiangan. Ku ayunkan langkah kaki ini menuju kamar mandi untuk membersih diri masih ada waktu aku untuk melakukan sholat tahajud. Aku buru-buru menyudahi mandi dan kemudian melaksanakan sholat tahajud. Seperti biasa aku sempatkan membaca alquran dan berzikir sebentar terus bersiap untuk persiapan kantinku.
Jam menunjukkan angka 06:00 aku membangunkan Raisya memandikan menyiapkan bekal dia untuk sekolah raisya sekolah di sebuah taman kanak-kanak yang ada di daerah ku.
Tidak berpa lama bapak pun datang denga motor kesayangannya untuk mengantar cucu satu-satunya ke kesekolah.
Disaat kantin ku sedang ramainya pembeli anak-anak SD gawai ku berdering kubiarkan saja niat ku kalau memang penting aku menunggu kantin agak sepi baru akan ku telpon kembali. Terdengar bel tabda masuk di gedung SD didepan rumahku semua anak-anak berhamburan memasuki gerabang halaman sekolah mereka.
Disaat bersamaat gawaiku kembali berdering
Kriiing..
Kriiing..
Aku amati panggilan masuk nomor baru, dengan sedikit ragu aku menghubungkan panggilannya.
"Assalmualaiku" sapaku di saat panggilan telah terhubung
"waalaikumsalam, Santi sayangku, apa kabar? Sudah lama aku nggak tau kabar kamu. Kamu mehiang bagai ditelan bumi, tadi iseng-iseng ku buka grup wa SMA kita, eh aku lihat ada fotomu. Maklumlah kita sekolah zaman dulu belum ada HP. Jadi begitu lulus, aku kehilangn jejak kamu"cecer yang di seberang telpon
Suara di seberang telpon terus terdengar tanpa memberi jeda untuk aku menjawabnya. Aku tau siapa dia. Kebiasan dari sekolah dulu tak pernah berubah kalau sudang ngomong susah untuk berhenti.
Tiga tahun kami bersama satu kelas satu meja,membuat aku tak bisa melupakan spesies yang satu ini. Afifah, gadis mungil yang kecepatan bicara nya melebihi kilat. Gadis yang baik hati yang dengan senang hati selalu menolang siapa saja. Teman sekaligus saudara bagiku. Tetapi harus berpisah disaat kami lulus.
Dia berasal dari kabupaten lain, HP adalah barang langka waktu itu. Hanya dari kalangan orang berada yang memiliki barang yang berharga tersebut. Itu pun belum secanggih sekarang. Untuk fitur dan aplikasinya. Waktu itu afifah sudah memilikinya tapi aku belum. Sempat dia memberi nomor agar aku menghubunginya namun nomornya hilang.
"halo.halo ini Santi kan? Kamu masih dengarin aku kan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments