Meski sebagian keluarga besar mas Satria menggap aku wanita paling beruntung mendapatkan suami yang kerjanya dikantoran. Tapi mereka tak pernah tau bahwa berjalannya roda ekonomi kami, ada jerih payahku di dalamnya.
"mbak Santi pasti senang ya punya suami seperti mas Satria, gajinya besar belum lagi bonusnya. Wah kalau aku yang jadi mbak mah sudah gonta-ganti perhiasan mbak" Teringat kata-kata Rima adik sepupunya mas Satria yang penampilannya yang modis kala itu.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Takku bantah maupun mengiya kan. Sekali lagi demi menjaga marwah suami dan tak terpikir oleh ku tentang ucapannya aku hanya menganggap agin lalu. Andai aku mengtakan sebenarnya pun, akankah meraka percaya dengan ucapan ku. Yang ikut serta membanting tulang demi untuk mencari sesuap nasi?
Mengingat sosok mas Satria orang yang begitu sangat di agungkan dan di sanjungkan dalam keluarga mereka.
dada ini tersa semakin sesak. Namun, aku segera menguasai diri. Aku harus cari tau kemana uang mas Satria selama ini ia sembunyikan. Kepada siap uang itu dia berikan? Dan aku tak boleh menghadapi semua ini dengan keadaan ku yang di penuhi dengan emosi. Karna nanti bisa berakibat fatal.
Lagi-lagi., omongan keluarganya yang aku takutkan dan permasalahannya akan menjadi rumit kalau urusan rumah tangga sudah di campuri oleh keluarga.
Jujur saja keluarga mas satria tidak pernah menyukai diriku, dan sering kali keluar kalimat-kalimat yang begitu menggores relung hati ini. Namun, tidak pernak sekali pun mulut ini tergerak untuk aku menjawab ucapan mereka.
Kadang berbagai macam hinaan yang mereka lontarkan tapi tetap aku menggap merka adalah orang tua yang wajib di hormati. Dari rahim beliaulah lahirnya suamiku. Aku manyayagi suamiku berati aku juga wajib menyayangi mereka walau mereka tidak pernah menyukai diri ini.
"Biarkan saja Satria pulang kesini. Kasian kalau harus pulang pergi dari rumah kalian itu sangat jauh. Aku meghawatirkan kesehatannya dan keselamatan dirinya mengendarai motor menempuh perjalanan yang jauh. Aku nggak tega cukup saja dia pulang satu kali seminggu atau dua kali seminggu untuk mengunjungimu" ujar ibu pada suatu hari waktu itu.
"Tapi aku lagi hamil bu" jawabku
"loh, apa hubungannya hamil sama kepulangan Satria? saya dulu pas waktu hamil Denis juga sering di tinggak sama bapaknya sampai sekarang baik-baik saja. Sudah ah jangan manja" ucap ibu mertuaku dengan ketus
Ucapan itu selalu terngiang di telinga ini ketika aku hamil Raisya masuk ke lima bulan. Kadang kala hinaan cacian bahkan makian yang sering aku dapat kan dari keluarga suamiku.
Salahkah bila dalam keadan aku hamil ingin selalu bersama suami?
"maksud ibu itu baik dek, ibu sangat sayang sama mas ibu hawatir kalau mas kenapa-kenapa, ibu itu sayang sekali sama mas. Makanya, dia bicara seperti itu. udah nggak apa-apa. jangan di masukin ke hati yaa? Yang pentingkan mas tetap pulang mas akan usahakan dua kali seminggu atau tiga kali seminggu. Jangan sedih ya? Ibu hamil nggak boleh sedih di buat bahagia saja ya sayang" mas Satria berusaha membujuk ku.
"Mas kenapa nggak mencari kantakan saja didekat kantor mu biar aku bisa ikut tinggal disana" usul ku pada suatu hari
"kalau kita cari kontrakan trus rumah ini siapa yang nunggu? Kan sayang kalau di biarkan kosong dan lagi mau dapat uang dari mana untuk membayar kontakan makan sehari-hari saja kita susah" jawabnya.
Ya suamiku bekerja tak jauh dari tempat tinggal orang tianya hanya sekitar 30 menit dari rumah sedang kan kalau dari rumah kami, dia harus menempuh perjalajan lebih kurang 5 jam perjalanan.
"atau gimana kalau aku ikut tinggal di rumah ibu mas" usulku lagi
"dek mas yakin kamu nggak bakalan tahan tinggal sama ibu. kadang ke rumah ibu cuma untuk main saja kamu malah ngeluh kalau sudah dirumah" jawabnya lagi, ya keluarga suamiku gak ada yang suka sama aku bahkan kadang tak jarang aku mendapat cacian tapi aku diamkan saja, semua keluarga suamiku nggak pernah menyukaiku, kecuali mas denis anak pertama di keluarga suamiku dia tidak pernah mau ikut campur dalam urusanku dia pun selalu enak di ajak ngobrol bahkan pernah mas denis menegas kan bahwa aku nggak perlu ambil pusing atas ucapan ibuk karna beliau memang orang nya seperti itu.
Aku hanya menjawab dengan senyuman. Walau pun dalam keluarga suamiku banyak yang nggak suka tapi setidak nya masi ada yang menggap aku ada.
Tidak berapa lama Raisya pulang kerumah setelah pulang sekolah tadi dia lansung di jemput sama mbah kakung nya. Membuat aku sadar dari segala lamunanku. dia terlihat kaget melihat mataku yang sembab.
"Ibu kenapa? Ibu habis nangis? Siapa yang jahatin ibu" bermacam pertanyaan yang di lontarkan putriku
"iya, sayang. Tadi ibu habis baca novel online, cerita nya sedih sekali" jawabku berbohong.
bagai manapun keadaanku, aku tidak ingin anakku yang bari berusia 5 tahun harus mengerti beban hidupku.
"sayang kamu ganti bajunya dulu ya habis itu makan" ucapku Raisya melangkah meninggalkanku menuju kekamar tidurnya untuk mengganti pakayannya.
Tidak berapa lama, Raisya keluar dari kamar tidurnya menuju ke meja makan, aku mengambil makanan untuk Raisya.
***
Hari ini jadwal mas Satria pulang kerumahku. Ya ini adalah rumahku karena rumah ini diberikan oleh orang tuaku. Mereka membuat rumah ini setelah aku dan mas Satria baru menikah. Jarak dengan rumah orang tuaku sekitar lima rumah dari rumah ku.
beberapa menit kemudian terdengar bunyi suara motor mas Satria berhenti di depan rumahku. Aku melangkah keluar menyambut kepulangan suami ku.
Aku tidak lansung menanyakan tentang perihal buku rekening yang kutemukan tadi siang. Aku menunggu waktu yang tepat untuk membahas masalh ini, aku pun berusaha untuk mengontrol emosiku.
Setelah anak aku menidurkan gadis kecilku, dan kami berdua tengah menonton televisi, barulah aku menyusun kalimat yang aku rasa pas untukku membahas tentang buku rekening, lebih tepatnya mengintrogasinya.
"mas" aku mulai mambuka pebicaraan
"hmm" dia hanya bergumam
"tadi saat aku bersih-bersih aku menemukan ini" kuberikan buku rekening miliknya itu.
Buku rekening tersebut sebelumnya sudah aku simpan dibawah karpet yang sengaja digunakan saat kami menonton TV.
Wajah mas satria terlihat pucat. Tangannya bergetar saat memegang benda berharga miliknya tersebut.
"Ka-kamu nemu dimana dek?" Tanyanya dengan nada terbata-bata.
"di dalam map yang ada di ruang kerjamu tadi aku bersih-bersih disana" jawabku santai
"kenapa kamu pucat seperti itu mas? Apa karna isi buku itu berbeda dengan yang kamu ceritakan mas? " tanya ku lagi, sambil menatap tajam wajah suamiku
"tega kamu mas! Aku seperti di paksa kerja banting tulang, berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita, sekarang aku tanya kamu kemanakan semua uang itu?" tanyaku sambil tapapan tajam kearah nya.
Dia terdiam tidak menjawab dengan kepala tertunduk, dia memainkan kuku-kukunya.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments