Mata ini masih menatap penuh harap. Ya, berharap gadis itu datang lagi. Walau hanya sesaat, itu sudah cukup menyejukkan hati.
Hampir dua minggu setelah kejadian itu, Dita tak pernah muncul meski hanya bayangan dan batang hidung sekali pun. Yang diharapkan saat pagi datang, tak lain tak bukan agar Dita melalui jalan saat pertama kali mereka bertemu.
Rasa ingin bertemu semakin hari semakin besar. Syahrel tak memungkiri bahwa ia jatuh hati. Banyak alasan untuk mengingkari hal ini, apakah perbedaan yang membatasi fitrah manusia dan hak manusia sebagai makhluk Hawaiyniyah.
Apakah seorang Sudra dilarang mencintai keturunan Waisya sehingga hak manusia untuk saling mencinta dan dicinta terbatas akan dinding pengkastaan? Ini yang menjadi pertimbangan di alam pikiran Syahrel untuk menghampirinya atau merasa tak pantas memiliki Dita karena kasta menjadi jurang penghalang.
Sesekali Syahrel berpikir seandainya ada batasan untuk satu nama cinta, adilkah cinta jika si miskin pantang untuk mencintai kekasih yang lebih darinya atau si buruk rupa tidak diperkenankan untuk memiliki bidadari atau pula si cacat dilarang jatuh hati?
Syahrel membantah semuanya, tak lagi ada kata perbedaan untuk nafas cinta. Bukankah cinta menyatukan dua perbedaan yang membutakan batas umur, strata sosial, atau golongan? Akhirnya ia pun menyadari bahwa dirinya terbius panah asmara.
Perlu diingat bahwa ketika sudah terikrar kata cinta dalam hati seseorang, maka ia biasanya sudah siap dengan apa yang akan terjadi, entah manis atau mengundang air mata, semua itu harus diterima.
Syahrel pun menyadari apa yang akan terjadi kelak. Dari awal pertemuan itu, rasa di hatinya untuk bisa mengenal lebih dekat mulai timbul dan akhirnya meminta sedikit ruang hati. Itu sudah menjadi hal yang manusiawi.
Hari-harinya kini diisi dengan keingintahuan akan sosok yang dicinta, pandangan pun tak lepas, mata ini haus akan kesejukan walau sebatas melihat lekuk hitam alis mata sang pujaan.
Mendengar namanya disebut pun bisa menjadi buah cerita yang tak berkesudahan. Setiap kali bunda pulang mencuci pakaian di rumah Pak Anggoro, bibir mau bertanya dan telinga mau mendengar kabar tentangnya.
“Bunda…..?”
“Apa? Tak lain yang akan kau tanyakan tentang anak gadis Pak Anggoro itu bukan?” Bunda langsung menerka apa yang akan dipertanyakan Syahrel, sudah menjadi kebiasaannya sekarang.
“Nak, bukan bunda melarang kamu untuk jatuh hati kepada siapa pun. Tetapi bunda minta sama kamu kenali siapa dia dan ukur kemampuan diri kamu.”
Mereka mengobrol sambil Syahrel menyiapkan makan dan menyendokkan nasi untuk Bunda. Tersentak Syahrel mendengar ucapan bunda.
“Maksud bunda?”
“Iya, jangan sampai kamu terhina karena harta, nanti menjadi buah bibir tetangga. Kalau sampai terdengar ke telinga Pak Anggoro, bunda takut terjadi apa-apa dengan kamu nak. Bunda tidak terima kalau nanti kamu menjadi buah bibir orang sekitar kita,"ujar bunda menjelaskan.
Syahrel pun termenung mencerna setiap kata yang bunda ucapkan, takut menjadi selisih pendapat dengan bunda, nantinya bunda tersinggung dan akhirnya menangis. Syahrel tak mau ini terjadi.
Tetap saja tak ada perubahan. Syahrel masih berharap esok hari dapat bertemu dengan Dita. Setiap Syahrel mengirim koran sengaja ia melalui rumah Pak Anggoro. Siapa tahu hari ini ia beruntung dapat bertemu Dita.
Semua pesanan koran langganannya dikirim lebih awal dari biasanya agar dapat lebih lama mengamati kediaman Pak Anggoro, berharap dapat melihat Dita pagi ini. Namun harapan itu kosong, tak juga Syahrel bertemu dengannya.
“Mungkin Dita masih tidur," gumamnya di hati menghibur diri.
Sudah hari keenam, terdengar kabar dari bunda kalau Non Dita lagi sibuk dengan tugas dari kampus. Sudah semester tujuh tahun ini, jadi banyak sekali tugas kampus yang harus dirampungkan segera.
Pagi ini sudah Tujuh hari mentari terbit dengan muram. Bahkan akhir-akhir ini sering kali hujan turun. Tetapi rasa penasaran Syahrel semakin besar untuk sekedar melihat wajah Dita.
Hampir setengah jam Syahrel berdiri di pintu halaman rumah Pak Anggoro. Apa mungkin harapan itu masih kosong untuk Syahrel?
Dikayuhnya sepeda dengan berat karena pagi ini mungkin akan turun hujan. Dua pedal di ayun, suara pintu terdengar tergesa-gesa. Pikiran Syahrel hampa karena sudah seminggu tak juga ia temukan Dita keluar dari rumah.
“Koran!”
Suara itu memanggil menghentakkan lamunan, Syahrel mencari sumber suara tersebut. Syahrel menoleh ke belakang namun tak juga ia temukan.
Ternyata hanya ada satu anak kecil yang sedang asyik bermain onggokan tanah. Dikayuh kembali sepedanya, dengan kekosongan.
Tiba-tiba...
“Koran…koran…Mas, koran!”
Syahrel menoleh ke belakang, “Dita?” Ucap Syahrel dalam hati.
Segera Syahrel memutar balik sepedanya, menghampiri suara yang memanggil, dengan sigap rem tangan digapitnya.
“Koran apa Dit?”
“Ada majalah Photograph?”
Dicarinya majalah yang Dita sebut dengan terburu-buru. Akhirnya...
“Ada satu, tapi edisinya sudah telat, sebulan yang lalu.”
“Ya udah, nggak apa. Hanya mencari referensi untuk tugas kampus kok.”
“Berapa?” Dita melanjutkan.
“Dua belas ribu saja, soalnya sudah telat satu bulan, jadi saya kasih diskon,"cetus Syahrel.
“Untuk tugas jurnalistik?”Syahrel memberanikan diri.
“Iya.”
“Ada majalah bagus untuk jurnalis pemula.”
“Apa nama majalahnya?”
“Journalist To Basic, majalah luar,"jawab Syahrel sambil menyodorkan uang kembalian.
“Kalau ada, boleh deh,"balas Dita.
“Barangnya indent, harus pesan dulu. Paling dua sampai tiga hari.”
“Tapi tolong bawakan ya?”
“Memang tema apa yang kamu buat?”
Ternyata Syahrel sedikit paham tentang jurnalistik.
“Editorial.”
“Ada buku bagus, judulnya The Handbook of Journalism karangan Karin Wahl-Jorgensen dan Thomas Hanitzsch," entah ilmu dari mana yang Syahrel pelajari sehingga Syahrel sedikit paham tentang jurnalistik.
“Kamu kuliah?” tanya Dita yang sedikit terlena dengan kharisma pemahaman yang Syahrel punya.
“Iya, kuliah.”
“Di mana?” tanya Dita semakin penasaran.
“UI.”
“Universitas Indonesia?”
“Iya. Bukan di kelas tetapi di kantinnya atau di pinggir danau UI.”
“ Nggak lucu! Serius.....” Dita terlihat kesal dengan ucapan Syahrel yang ngelantur.
“Saya nggak kuliah.”
“Kalau nggak kuliah kok paham tentang jurnalistik?”
“Ya mau bagaimana lagi, namanya juga jualan koran. Kalau bukan koran dan majalah yang menjadi teman, lalu siapa lagi?”
“Oh, jadi baca koran?”
“Iya...”
“Tapi kok kamu bisa tahu judul buku dan penulis di bidang jurnalistik yang kamu sebutkan tadi?”
“Kan baca buku dan majalahnya...”
Sudah terlihat mereka lebih akrab dari sebelumnya. Saat Dita mau menutup pembicaraan karena harus berangkat ke kampus, ada yang terlihat mengejutkan Syahrel.
Di balik kemeja yang dikenakannya, tepatnya di leher Dita kalung emas putih berbalut sosok orang suci bagi kaum tertentu yang diimani sebagai anak Tuhan. Satu ujian keseriusan harus dihadapi, mencintai di atas perbedaan ideologi ketuhanan yang berseberangan.
“Jangan lupa majalah pesanan Dita ya. Oh iya, hampir aja lupa. Nama kamu siapa?”
“Panggil saja Syahrel,"Syahrel perlahan meninggalakannya.
“Kalau mau kirim majalah agak sorean aja ya, sekitar jam empat lah," teriak Dita.
Rasa itu sudah terobati, lebih dari cukup. Semula Syahrel hanya berharap bisa melihat wajah Dita tetapi tadi banyak yang meraka dibicarakan. Ada cerita yang tersisa, hanya Tuhan yang tahu misteri ini.
Haruskah cerita ini berakhir di sini karena perbedaan yang mereka hadapi? Biar waktu yang menulis jalan cerita ini, biarlah pena-Nya yang menoreh skenario dari sandiwara akbar sang pencipta.
Kayuh pedal sepeda kini tak seperti enam hari yang lalu, benar-benar tak ada hasil. Hari ini angin surga pun berhembus, babak awal untuk sebuah narasi panjang bagi waktu yang tak bisa ditentukan.
Banyak yang harus dihadapi dan masih banyak pula harapan serta mimpi indah untuk satu malam yang tak diharapkan akhirnya kalau itu mimpi indah. Harapan dalam doa penuh dipanjatkan begitu syahdu. Semoga kebersamaan terus seperti ini.
Akankah kerinduan untuk tetap bersama tak membuat Syahrel menggigil sampai tak mengerti air mata kerinduan mengering dalam penantian panjang? Kenyataan dari jalan yang kita pilih mesti dihadapi sebagai suatu konsekuensi.
Tak ada takdir buruk yang tak Tuhan tentukan, tak ada pula kebaikan yang tak Tuhan gariskan. Semua kembali kepada pribadi insan yang telah dilengkapi dengan akal dan hati. Akal untuk berpikir kebaikan atau keburukan yang kita pilih. Hati penawar untuk pertimbangan jalan yang menjadi pilihan serta doa sebagai pesan Robbaniyah dan pengharapan.
Pesanan Dita menjadi satu pertanda bahwa masih ada kesempatan bagi Syahrel untuk bertemu Dita kembali.
“Majalah Journalist To Basic." Syahrel berusaha untuk mengingat kembali pesanan Dita. Ini majalah luar yang perlu dipesan dahulu, dua atau tiga hari baru sampai. Selesai tutup kios, Syahrel harus ke agen untuk memesan majalah tersebut. Biar cepat sampai.
“Mas Agus, ini daftar belanja saya untuk besok.”
“Banyak order rupanya?” dilihatnya list belanjaan Syahrel.
“Mas, iki ada barang indent rupane?!” Tanya Mas Agus dengan logat bahasa Jawa yang kental.
“Iya, barang pesanan.”
“Paling lama tiga hari ya Mas.”
“Yowis, ra opo-opo." Syahrel membalas dengan logat Jawa juga.
Mega di ujung barat sudah hampir memerah warnanya. Sebelum maghrib Syahrel harus sampai di rumah untuk bergegas menyiapkan segala keperluan masjid sampai nanti usia sholat Isya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Kadek
haii kk aku datang lagi nih
bawa like
jangan lupa mampir ya
kisah pendekar ramalan
2020-07-08
1
👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣
hai hai ku mampir lagi... mari saling dukung. 😊
2020-07-05
1
Sayyidah Husri
Penasaran jg gmn akhir ya 😉😉😉
2020-06-26
1