Aktifitas di kampus menyita hampir semua waktunya. Mahasiswi Kanselir University ini tengah merampungkan tugas video dan editing serta makalah perbandingan media, membuatnya jarang berkumpul dengan keluarga. Jam enam pagi dia harus sudah berangkat ke kampus, siangnya melanjutkan tugas di luar kampus bersama timnya sampai larut malam.
Hal ini sudah mendapat persetujuan dari orang tua walau terkadang mama sedikit khawatir jika anak putrinya hampir tengah malam belum juga pulang.
Semua karyawan dibuat panik oleh Nyonya Rosdiana karena Dita belum juga tiba di rumah. Satu persatu teman kampus Dita dihubungi satu persatu oleh Mamah.
Perhatian yang super ketat diberikan untuk Dita mengingat kekhawatiran mama akan pergaulan remaja dan kejahatan di luar rumah.
Mungkin karena mama sering menonton berita kriminal jadi berbagai kemungkinan itu terus mengganggu pikirannya. Beliau selalu takut kalau-kalau anak gadisnya menjadi korban tindak kriminal; diculik, dijambret atau diperkosa. Selain mengkhawatirkan keselamatan Dita, beliau juga takut anaknya keletihan lalu jatuh sakit.
Dita terbilang gadis yang sering dimanja mama. Kecantikan dan tinggi yang ideal pernah menghantarkan Dita ke bisnis hiburan tetapi mama melarang dengan alasan Dita harus menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu. Dita pun pernah dilamar oleh anak rekan kerja papa, seorang eksportir tekstil. Lamaran itu pun tak serta merta disambut karena mama takut anak secerdas dan secantik Dita salah dimiliki seorang pria.
Dita dibesarkan dalam keluarga yang selalu memperhatikan, mengasihi dan menjaganya karena ia anak tunggal. Sang mama cukup lama menanti momongan, hampir sepuluh tahun berkeluarga barulah keluarga Pak Anggoro dikaruniai anak.
Faktor umur mungkin yang mempengaruhi kesuburan. Pak Anggoro dan Nyonya Rosdiana menikah ketika umur keduanya mendekati kepala tiga. Mereka bertemu semasa kuliah sewaktu menjadi aktifis sebuah parpol.
Banyak yang bilang, kalau suami istri sudah lama menikah tapi tidak juga dikaruniai anak, disarankan untuk mengasuh anak sebagai pancingan dan doa keberkahan.
Dengan maksud mengobati kerinduan Pak Anggoro dan Nyonya Rosdiana akan kehadiran seorang anak dalam rumah tangga mereka,
Nyonya Rosdiana memutuskan untuk mengasuh kemenakan dari kakaknya yang bernama Maria Sisilia. Inge Nirmala nama anak pancingan itu. Berkat kuasa Tuhan, mereka akhirnya memperoleh anak.
Selain anak asuh, Inge pun berperan sebagai informan Nyonya Rosdiana untuk melaporkan kegiatan Dita di kampus karena Inge pun kuliah di Kanselir University, hanya saja beda jurusan dengan Dita.
Pak Anggoro, seorang anggota komisi I DPR yang saat ini tengah direkomendasikan sebagai staf resmi kedubes RI untuk Jerman, mungkin tahun depan mulai berkonsentrasi di sana. Pak Anggoro wataknya tegas dan selalu menekankan kepada Dita dan Inge untuk memperhatikan pendidikan.
Kalau soal pendidikan, keluarga Anggoro benar-benar memperhatikannya. Apa pun dilakukan untuk pendidikan karena menurut Pak Anggoro jenjang stratifikasi sosial itu dinilai dari titel yang berjajar di belakang nama.
Meski terlahir di lingkungan yang notabene berkecukupan, namun untuk kebebasan melakukan hal yang diinginkan Dita cukup terbatas dengan adanya campur tangan orang tua, jadi apa yang diharapkan Dita untuk menjadi Dita seutuhnya teramat sulit.
Segala kegiatannya sepanjang hari harus diketahui mama, kapan masuk dan selesai kuliah, berteman dengan siapa, anak siapa dan dari golongan apa, mama harus mengetahuinya.
Sampai sempat Mamah mau mempekerjakan seorang supir pribadi sekaligus pengawal untuk menjaga Dita. Namun hal tersebut tentu saja tidak disetujui Dita karena ia merasa hidupnya sudah cukup terkungkung tanpa pengawal pun.
Peraturan ketat tersebut sudah diterapkan mama semasa Dita duduk di bangku SMP. Masa kuliah ini masih cukup diberi kebebasan. Dulu, Dita tidak bisa bermain dengan teman sebayanya karena sepulang sekolah Dita harus menjalankan rutinitas tambahan seperti ekstrakulikuler, les privat dari alat musik sampai mata pelajaran.
Hidup Dita bagaikan di dalam sangkar emas tetapi ia tidak pernah membantah atau melawan peraturan yang ditetapkan oleh ibunya. Budaya Batak sarat mendominasi keluarga Sirait, sedangkan yang mendominasi Dita adalah seorang mama. Pak Anggoro kelahiran Sulawesi, kini umur beliau hampir Lima Puluh tahun tetapi masih terlihat gagah dan enerjik.
Untuk orang seumurannya, Pak Anggoro terbilang masih sangat sehat. Karir Pak Anggoro terbilang cukup gemilang dan kinerjanya diakui oleh semua kalangan elit politik, loyalitasnya terhadap partai pun patut diacungi jempol.
Segala yang diupayakan Pak Angoro dan Ibu Rosdiana Sirait semata-mata hanya untuk Dita. Dita-lah tumpuan harapan karena ia yang akan meneruskan cita-cita keluarga. Dita pun menyadari hal ini karena apa yang orang tuanya lakukan itulah yang terbaik untuk putrinya.
Tak ada orang tua yang menginginkan anaknya gagal dalam kehidupan, tambahan lagi Dita anak tunggal dari keluarga Anggoro. Ke mana lagi harus disandarkan harapan keluarga kalau bukan kepada anak kandungnya? Tidak mungkin kepada Inge yang hanya anak asuh.
Semua harapan ada pada Dita karenanya banyak hal mama persiapkan untuk Dita, mulai dari asuransi pendidikan untuk jangka waktu sepuluh tahun, asuransi kesehatan, sampai asuransi lainnya yang berhubungan dengan hal negatif mungkin bisa terjadi dan dialami Dita di kemudian hari.
Meski terlihat berlebihan, Dita mencoba memahami kekhawatiran orang tua dan pengharapan yang tertumpu padanya. Apa yang bisa dilakukan seorang anak untuk membalas kebaikan orang tua? Caranya ya hanya dengan mengikuti apa yang diinginkan oleh mereka walau kebebasan itu hilang.
Dita pun berupaya untuk bisa mengerti kondisi psikologis orang tuanya yang sangat berlebihan dalam melindungi dirinya.
Mungkin hal itu terjadi karena mereka begitu sulit mendapatkan anak dan baru mendapatkan si jabang bayi saat usia pernikahan mereka menginjak sepuluh tahun. Tetapi setelah ia pikir-pikir ternyata ada enaknya juga menjadi anak emas walau semua serba diatur.
Ada beberapa kebijakan dalam bersekolah yang membuat Dita merasa terbatasi, seperti kalau pulang larut malam terlebih dahulu Dita harus memberi tahu mama jauh-jauh hari dan menyerahkan nomor handphone teman kuliah yang bersama Dita nantinya.
Kalau Dita tidak menurut maka mama akan mengutus Inge untuk membuntuti Dita dan tentu saja Inge tidak mau diajak kompromi dengan Dita. Bila Inge tidak menuruti keinginan mama, maka Inge harus siap meninggalkan kediaman keluarga Anggoro.
Andai Inge dipulangkan ke rumah Mamah Maria, terasa sepi Dita di rumah, hanya Bi Darsih dan Mang Karman karyawan rumah yang biasa menemani Dita sekedar bicara ngalor-ngidul, sebatas mendengar kisah kehidupan di kampung halaman mereka.
Kalau aku mendengar kisah kehidupan mereka di kampung halaman begitu bersahajanya, hidup dalam kesederhanaan, bebas menentukan arah hidup. Makan seadanya tetapi mampu untuk tidur nyenyak, lain halnya dengan aku.
Walau fasilitas yang diberikan orang tua begitu lebih dari cukup tetapi memiliki kebebasan amat mahal harganya untukku bila dibandingkan uang mereka yang rela dikeluarkan hanya untuk menunjang hal yang jauh dari rencana manusia.
Hidup memang penuh keunikan yang beragam. Mungkinkah ini arti perbedaan yang beragam sebagai warna kehidupan yang Tuhan berikan untuk hambanya, curahan isi hati Dita setiap kali Bi Darsih dan Mang Karman bercerita tentang kampung halaman, sahabat desa, masa kecil mereka sampai tempat bermain yang tidak bisa Dita jumpai di Jakarta.
“Makan di desa apa saja Bi Darsih?” tanya Dita.
“Wah banyak Neng Dita, tapi Bibi biasanya makan ketela, semacam singkong atau nangka muda. Kami makannya pakai sambel dan nasi liwet,"balas Bi Darsih dengan serunya.
“Terus Bibi sekolah apa dulu?”
“Neng Dita, zaman Bibi hanya ada Sekolah Rakyat.” Suasana menjadi hangat, tak ada jarak antara nyonya dan majikan karena pembicaraan dan kelakar memang biasa dilakukan Dita saat rumah sepi.
Kalau sampai ketahuan Mamah pasti kena tegur. Lain halnya dengan bunda, biasanya bunda datang dua hari sekali, itu pun hanya untuk mencuci pakaian dan beres-beres rumah karena karyawan di rumah hanya Bi Darsih dan Mang Karman, sebagai supir pribadi Papah, serta Pak Sukir, supir keluarga. Bila kerjaan rumah menumpuk biasanya Mamah menyuruh Bunda untuk membantu Bi Darsih.
Bunda jarang sekali berbicara karena beliau cukup santun kepribadiannya. Bunda juga takut nantinya salah bicara dan Non Dita tersinggung atau yang lainnya tersinggung. Untuk itulah bunda datang ke situ hanya sebatas bekerja, jika ditanya dia baru menjawab, itu pun menjawab seperlunya saja. Pernah Dita bertanya kepada bunda perihal anaknya karena waktu itu hari sudah larut tetapi bunda belum juga pulang. Bunda tidak banyak memberi keterangan, hanya menjawab singkat.
“Lelaki yang sering menjemput Ibu itu siapa?” tanya Dita
Dengan wajah tertunduk bunda menjawab, “Anak Ibu, Non.”
“Oh....”
Hanya sebatas itu saja pembicaraan mereka. Walau Dita terlihat masih ingin meneruskan pembicaraannnya dengan Bunda, bunda lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaanya karena Bunda beranggapan ia dibayar untuk bekerja bukan untuk mengobrol.
Tambahan lagi bila ketahuan berbicara dengan Dita saat sedang bekerja, pasti Nyonya Ros marah dan Dita pun nantinya kena tegur juga. Demi menjaga sumber pencarian nafkahnya, Bunda sering menghindar kalau sudah berpapasan dengan Dita, takut diajak bicara hingga lupa waktu nantinya.
Dita memang kesepian dan kurang kebebasan, baik kebebasan menentukan arah hidup dan sikap, peraturan yang paranoid, berbicara dan sebagainya.
Papah pun tidak segan-segan meringankan tangannya untuk membenarkan hal yang salah dan bertentangan dengan apa yang papa inginkan. Dita pernah mendapatkan hal tersebut, memang itu kesalahan Dita. Suatu hari ia telat pulang ke rumah dikarenakan lupa izin kala ada tugas di luar jam kampus ditambah lagi baterai handphone-nya lemah.
Sekeluarga dibuat gelisah oleh Dita karena sudah hampir jam sebelas malam Dita belum juga sampai di rumah. Melihat mama yang panik papa pun naik pitam. Setibanya di rumah cap Lima jari pun membekas di pipi Dita.
Pernah juga papa membentak Dita begitu keras dan membakar diary miliknya karena diary itu bercerita tentang perasaan serta kedekatan dengan beberapa pria yang tertarik dengannya. Sebagai seorang Ayah, Papah memiliki pandangan yang berbeda tentang hal tersebut. Sebelum selesai jenjang akademis, tak satu pun pria yang
boleh mendekat.
Bagi papa, cinta bisa menggagalkan harapan untuk sebuah cita-cita serta melemahkan akal sehat. Konsentrasi harus tertuju satu kepada cita-cita dan pacaran hanya menyianyiakan waktu yang cukup berharga. Ketika jenjang akademis sudah selesai banyak hal yang dapat dikerjakan, barulah menata satu ikatan layaknya gadis normal pada umumnya.
Jika semua sudah disiapkan dengan matang, maka akan menuai panen yang baik pula dan kegagalan dalam berrumah tangga itu tidak akan ada. Itulah pandangan Pak Anggoro mengenai cinta dan rumah tangga, segala sesuatunya harus terencana dengan matang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Kadek
semngt trus kk updatenya
jngan lupa mampir
kisah pendekar ramalan
2020-07-07
1