Kugali kenangan yang terjadi saat aku berusia sembilan belas tahun di depan rumah sekaligus kost-kostan khusus putra yang memiliki pagar rendah berkarat serta pohon rambutan yang sedang berbuah lebat saat aku pertama kalinya bertemu Pranata sembari berjalan ke arah rumah.
.
.
.
Circa dua ribu tiga belas.
Suara radio yang mengeluarkan bunyi kemrosak mulai berubah mendendangkan lagu keroncong kenangan di dapur setelah ibu kembali dari pasar.
“Ras, halaman rumah di sapu dulu sono, kotor banget itu!” seru ibu dari ambang pintu ketika aku rebahan sembari menonton televisi di ruang keluarga, “Itu semalam bocah-bocah pada ngambil rambutan pada belum diberesin!”
“Bocah-bocah darimana, udah tuwir-tuwir mereka buk!” sahutku lalu bangkit, bersila. “Lagian kenapa gak ibu tegur aja to kalau habis makan-makan itu diberesin sendiri. Enak banget jadi anak kost.”
“Wes-wes, buruan kamu sapu sono. Ada tamu nanti, temennya Dominic.” Ibu berlalu dari ambang pintu dan suara panci jatuh terdengar dari dapur bersama jeritan ibu.
Aku mendengus alih-alih menanggapi tingkah ibuku yang mengutuk tekek yang numpang bersembunyi di balik panci yang menggantung di tembok.
“Temennya Dominic, bule setengah koplak itu? Parah, parah. Kost-kostan ini jadi banyak orang-orang stres susah lulus skripsi, ini malah bawa-bawa temen lagi.” Tanganku mengacak-acak rambut dengan kesal.
“Kalau aku ikut gendeng nanti piye buk?” jeritku sebal.
“Pasrah wae, Ras. Bapakmu sendiri yang menetapkan kebijakan kost-kostan ini. Dah sono kerjakan tugasmu!”
Aku cemberut sembari menyapu halaman rumah yang penuh dengan sampah organik buah rambutan dan daun-daunnya yang rontok akibat digasak penghuni kost-kostan semalam, gendeng emang mereka, sudah gonjreng-gonjreng nggak jelas setiap malam, gelas kopi berjejeran di halaman rumah ini yang dijadikan tongkrongan masih juga membuang sampah sembarang. Nggak ngerti tanggung jawab anak bapak ibu kost apa? Aku ini lho jadi korbannya.
Aku mengayunkan sapu lidi yang memiliki gagang bambu ke kanan kiri untuk mengumpulkan sampah ke pojokan taman. Bunyi gesekan sapu dan konblok bergemerisik seperti angin ribut yang merontokkan daun tua dan menghamburkan dedaunan yang sudah aku kumpulkan.
Kecil memang tugasku ketimbang membangun usaha bapak ibuku yang membuka tempat persinggahan nyaman untuk mahasiswa-mahasiswa dari luar kota yang mengenyam pendidikan di kota pendidikan ini. Jadi walaupun aku baru menjadi mahasiswa baru, kupingku sering mendengar skripsi yang berkali-kali di tolak dosen pembimbing, rasa frustasi mereka yang gila-gilaan, tugas yang membludak dan membuatku ikut memikirkan bagaimana nasibku nanti.
Kepalaku menoleh. Aku menyudahi acara menyapu halaman rumah dengan hati yang dongkol sambil menatap kedatangan mobil setengah bule dari Malang yang sok tampan. Dominic membunyikan klakson berkali-kali.
“Cewek, bukain gerbangnya dong.” teriaknya dengan kepala yang melongok keluar dari jendela mobil. Ya ampun, ingin sekali kugetok kepalanya. Sudah kecakepan, kelakuan mirip kompeni menjajah gadis pribumi.
Aku membuka pintu gerbang setelah membuang sapuku ke tanah. Dominic tancap gas dengan hati-hati seraya berhenti di bawah kanopi besar yang dia buat sendiri atas izin bapakku yang tidak memberi fasilitas tambahan bagi pengguna mobil.
Sekilas aku memandang samar teman Dominic yang menatapku lepas sebelum aku berbalik.
“Bener-bener komplotan aneh.” Aku melanjutkan pekerjaanku menyapu halaman meski mataku sesekali menatap dua pemuda yang sama-sama berperawakan jangkung dan memakai kemeja kotak-kotak di bawah kanopi sambil menurunkan barang bawaan penghuni baru. Celana jins mereka sobek-sobek di bagian lutut dan warnanya sudah memudar.
“Cewek, bapakmu ada?” tanya Dominic sembari mendekatiku. Sementara kawan yang dia ajak untuk bergabung memeriahkan tugasku sebagai asisten kost-kostan bersandar di badan mobil sambil bersedekap.
“Bapak lagi joging, adanya ibu!” ucapku ketus. “Terus ya, tolong stop panggil-panggil aku cewek. Udah aku protes berkali-kali masih aja. Namaku ini Rastanty bukan cewek, dasar bule gendeng!” protesku sarkasme.
Nggak peduli dengan ceracauanku, Dominic menoleh sembari melambaikan tangannya. “Sini, Pra. Kenalan sama Rastanty, anaknya bapak kost-kostan. Galak nih, demen kan sama yang begini.”
“Kurang ajar!” Tanganku yang menggenggam gagang sapu otomatis hendak memukulnya. “Apa maksudmu?”
“Wow-wow, santai Ras!” Dominic melindungi kepalanya meski wajahnya cengengesan parah. Aku mendengus.
“Kenceng banget hidupmu, Ras. Pantesan kamu jomblo sampai bapakmu bingung cari jodoh dan bikin kost-kostan khusus putra biar nanti bisa dijodohkan sama kamu kalau ada yang nunggak bayar kamar!” protesnya dengan nada geli.
Aku hendak memukulnya jika saja rambutan busuk yang telah dimakan ulat tidak menjatuhi kepalaku sampai membuatku malu tak karuan. Dominic terbahak sementara pemuda yang sudah berdiri satu meter dariku menjentikkan jarinya di rambutku yang terkena kotoran, katanya.
“Refleknya lumayan, Dom.” Pra panggilannya, dia mengulurkan tangan seakan benar-benar mengajak berkenalan.
Aku menatap Dominic yang sudah menjadi musuh bebuyutanku sejak pertama kali dia menginjakkan kaki di kost-kostan ini.
“Pranata Pamungkas, namanya. Kenalan dulu, bakal jadi penghuni kost ini.” ucap Dominic.
Aku tidak langsung menggenggam tangannya, melainkan mengusap-usap tanganku dulu di baju sebelum menggenggam tangan Pranata Pamungkas. Mata kami saling menatap ketika kurasakan ibu jari Pranata mengusap punggung tanganku sampai-sampai Dominic harus melepaskan kedua tangan kami.
“Udah, Pra. Dia ini galak lho, nanti kamu di gigit kalau lama-lama pegang tangannya.” sembur Dominic cengengesan.
“Tapi dia belum menyebutkan namanya, Dom.” tanggap Pranata berupa protes yang lembut terdengar.
“Rastanty!” ucapku keras, “Ayo ke dalam, aku panggilkan ibu.”
Kucampakkan sapu di tangan kiriku seraya berjalan ke rumah.
“Buk, tamunya udah datang ini!” teriakku di ruang tamu sebelum menyuruh dua pemuda yang sudah leha-leha di kursi kayu menunggu.
“Buatin kopi dulu, Ras. Ibu baru tanggung!” Gemericik air terdengar di kamar mandi, sumpah. Bahuku langsung merosot lalu terpaksa aku buatkan kopi di dapur sambil menggerutu.
“Silakan diminum,” kataku berusaha lembut sembari menyajikan kopi.
“Makasih, Rasta.” Dua pemuda itu tersenyum manis seolah mengejek tugasku.
Aku berdehem lalu hanya bisa pasrah ketika ibuku datang terburu-buru sambil menarik lenganku untuk ikut duduk di ruang tamu.
“Jadi ini temanmu yang kamu ceritain kemarin, Dom?” ucap ibuku tanpa basa-basi.
“Bener ibu kost.”
Ibuku dan Pranata langsung kenalan.
“Tapi katanya mau lihat-lihat dulu Buk tempatnya nyaman tidak. Anaknya agak pemilih soalnya.” jelas Dominic.
Widiw, sahabat sejati ini. Sampai urusan paling nyaman aja ngerti.
Aku membuang muka waktu ibuku menyenggol lenganku.
“Antar Pranata lihat-lihat kamar kosong, jelasin juga harganya terus fasilitasnya.” desak ibu.
Aku tidak langsung menuruti keinginan ibu, sumpah, bagaimana jika pemuda yang hanya melihat-lihat sekeliling ini orang jahat. Kok jantungku tidak tenang.
“Udah sana, Ras. Nggak usah mikir-mikir. Tugasmu itu!”
Sungguh?
...🖤...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ersa
dulu aku klo main ke kos kakakku (kos cowok) di daerah janti, jogja Sana ya kayak yg digambarkan mbak othor: malam2 pada genjrang genjreng gitaran, gelas kopi bejejeran di bale2.
2023-04-23
0
zaskia nurcahayati
jadi keinget,temenku dulu ngekost trus pacaran sampe nikah sama anak yang punya kost,punya anak 1 dan si suami meninggal.
2023-03-12
0
CebReT SeMeDi
Masih nostalgia dulu ini flashback, mati kita simak dl
2023-01-30
1