Bait Kedua

Satu persatu pakaian aku jejalkan ke dalam tas ransel merah semi carrier yang biasa aku gunakan untuk backpacker-an. Aku memilih menjadi travel blogger untuk mendasari alasanku selalu pergi dan pergi lagi ke pelosok negeri yang akan membuatku jauh dari rumah.

Aku merasa bersyukur, marahku pada Pranata menguatkan aku untuk terus melangkah bahkan berlari menjauh dari semua tempat yang sudah kami datangi bersama.

Aku bertahan pada tempat yang berbeda, jumlah finansial yang tidak pasti dan orang yang selalu berbeda-beda setiap harinya. Baik dan buruk, mereka memberi banyak pengalaman.

Sempat aku bersikap tidak percaya diri. Namun Pranata mengajariku untuk lebih berani bertanya dan mengangkat dagu ketika orang merendahkan ku dulu ketika rambutku masih di kepang dua. Andai saja aku bisa seangkuh dirinya sewaktu dimarahi dosen. Aku pasti baik-baik saja sekarang. Namun nyatanya aku masih menggali dan berusaha menguburmu di bait kedua ini, Pranata.

“Kalau aku nggak punya duit, aku akan menghitung bintang dan memikirkan lokasi mana yang cocok aku datangi untuk ngamen nanti, Rasta.” Pranata tersenyum lebar sambil menggenggam batu dan melemparkannya ke kali.

“Memangnya kamu bisa nyanyi?” tanyaku waktu itu, di kawasan kota Jogja bagian utara, daerah Pakem, di warung bakso setelah kami mengunjungi taman nasional gunung Merapi, taman wisata Kaliurang yang berudara sejuk.

Pranata menyeringai. “Rasta, Rasta. Tak cubit sini pipimu yang mirip pantat bayi ini.” Pranata menjentikkan jarinya dengan tengil di depan wajahku seolah menggampangkan ucapanku.

Tanpa sadar. Aku mengusap pipiku, masih terasa tangannya yang berbau oli dan gemuk. Tapi bau oli pun terasa wangi kalau cinta, bau badan pun sedap di hirup waktu rindu. Sebab ada dua macam situasi yang sanggup menggerai dan membangkitkan kenangan. Tempat dan aroma.

“Ngapain hayo sentuh-sentuh pipi, inget disentuh-sentuh Prana pasti.” ucap Dominic tiba-tiba.

“Jancukk ganggu terus gaweanmu.” gumamku sambil terus menjejalkan pakaianku yang tak seberapa. Pikirku habis kondangan sambil makan-makan gratis, lanjut reuni, terus ketemu bapak ibuku langsung pergi. Jadi kutinggal sebagian bajuku yang masih banyak di kamar sahabatku tercinta serta kucingku yang sedang unyu-unyunya.

“Tapi benar to kamu keinget Prana? Ealah, kapan move on! Onone isuk dele sore tempe kamu, Ras!” Dominic menutup jendela kamar yang kubuka lebar-lebar.

“Biarin.” Aku memanyunkan bibir. Dominic bilang aku plin-plan seperti istilah peribahasa Jawa itu. Cepat sekali berubah, pagi bilang ini, sore bilang itu. Orang bilang tipikal isuk dele sore tempe ini susah dimengerti, maunya tidak tentu, niatnya apalagi. Sama sepertiku. Aku niat berlari, tapi jiwaku mengorek jejak Pranata dalam setiap aroma dan tempat yang terjaga di ingatanku.

Dominic menggeser litter box dan kandang kucing keluar kamarnya sementara aku mematut diri di cermin oval. Kusam, pipiku tidak semulus pantat bayi seperti yang Pranata katakan. Ada bekas jerawat serta wajah gosong yang membuatku semakin tidak semangat datang reuni. Ya Tuhan, aku susah tertidur nyenyak sejak undangan itu menghantuiku. Kantong mataku terlihat dan secangkir kopi di pagi hari justru membuat jantungku berdebar-debar.

“Gak usah dandan, Ras. Udah cantik kamu itu.”

Aku menoleh dengan cepat, pipiku berkedut-kedut mendengar pujian Dominic, kesambet apa dia memujiku cantik. Aku menuntaskan memberi wajahku sun screen dan sedikit lip balm. Aku takut bapak ibuku kaget melihatku seolah habis mengelilingi matahari.

“Janji lho kamu, Dom. Nanti waktu ketemu teman-teman, kamu harus bilang aku sudah lupa Pranata! Apalagi kalo ada Hetty, awas yo kamu ngomong aku masih nangis terus kehilangan Prana.” ancamku sambil menggendong tasku.

Dominic memejamkan mata sembari menjulurkan lidah.

“Aku bukan Prana yang bisa kamu atur-atur, Ras! Ingat to aku ini Dominic Prambudi. Lagian memangnya mereka masih ingat Prana, mbok kamu itu jangan GR! Belum tentu lihat kamu terus bahas-bahas Prana dan kisah cintamu.”

Aku menirunya memejamkan mata sembari menjulurkan lidah. Gede Rasa itu perlu sebagai ancang-ancang menghalau situasi yang tidak diinginkan.

“Kemarin kamu maksa aku terus buat balik Jogja, sekarang aku nggak boleh minta satu permintaan aja?” keluhku sedih. “Nanti kalau Prana nggak tenang gimana? Tambah sedih aku, Dom!”

Dominic menarik gagang pintu sembari menatapku malas.

“Kamu yang bikin dia nggak tenang, kelamaan move on!” Dominic memasang wajah muram lalu menghela napas. “Dah ayo keluar, sopir bapakku udah siap nganter ke stasiun.” pintanya setelah kami mendengar suara klakson dari halaman rumah.

“Kita nggak naik motor aja?” sahutku mempercepat langkah, mengikuti Dominic ke ruang keluarga setelah menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.

Orang tua Dominic berkumpul di sini, mereka tersenyum sembari mengulurkan tangan.

“Mau kemana lagi sudah bawa-bawa backpack?” tanya Marisa, ibu Dominic seorang bule, sementara Prambudi adalah nama belakang keluarga ayahnya.

“Jogja, mama. Pulang kampung.” Dominic merangkul leherku hingga kepala kami bersentuhan. Aku terpaksa menyunggingkan senyum bahagia walau benakku ingin sekali menginjak kakinya. Dominic adalah sahabatku, suka duka, lapar kenyang, sedih bahagia, sudah kami lewati bersama. Dan hidup yang memang membutuhkan pasangan atau sahabat sewaktu senja mendatang janganlah sampai kami menjadi pasangan hidup. Secara refleks kenyamanan ini tidak ingin aku pertaruhkan karena cinta.

“Mau reuni sekalian kondangan, Tant, Om. Tapi pasti aku balik sini lagi kok. Tante dan om masih menerima kedatangan ku to?” tanyaku, bisa gawat kalau sampai nggak punya rumah singgah lagi. Sudah makan enak, gratis, WiFi dua puluh jam full, kucingku makannya royal canin, hmm...

“Masih dong, kenapa kalian tidak menikah saja? Toh Pranata pasti setuju dua sahabatnya bersama sampai tua.” bujuk Marisa.

Aku dan Dominic langsung bertatapan sambil meringis. Patah hatiku belum usai Tante, kataku dalam hati.

Dominic menjentikkan jarinya. “Gimana kalo besok mama dan papa ngelamar Rastanty di Jogja?”

Kuinjak kaki Dominic cepat-cepat. “Buru-buru banget lho.” selorohku lalu meringis. Kurang ajar ini orang, bercanda nggak tepat waktu.

Dominic tersenyum lebar sambil menjentikkan jarinya. “Belum saatnya, mam. Ntar Dominic atur dulu.”

Aku dan Dominic mencium punggung tangan mereka yang memasang ekspresi maklum pada kisah kami berdua.

“Pergi dulu om, Tante. Nanti aku bawain gudeg dari Jogja.” janjiku sebelum memakai sepatu di teras rumah. Mereka mengiyakan tetapi lebih mengingatkan untuk memulai hidup baru.

Sejenak tatapanku tertuju pada mata Dominic.

“Awas kamu jatuh cinta sama aku!” ancamku sambil menjawil hidungnya.

“Prei kenceng, Ras!” Dominic memutar matanya. “Dah masuk mobil, nanti ketinggalan kereta kita.”

Mau tak mau aku masuk ke mobil yang biasanya dulu Dominic gunakan untuk keliling Jogja bersamaku dan Pranata. Menyembulkan lagi kenangan yang tertinggal di mobil ini saat Pranata berdarah-darah.

...🖤...

Terpopuler

Comments

'Nchie

'Nchie

baca untuk kesekian kalinya ..rindu rastanty 😁

2024-07-24

0

Ersa

Ersa

misuhmu kuwi loh Ras😀

2023-04-23

0

❤️iam julia💕

❤️iam julia💕

dan musik/lagu 🤭
aku mampir kak, trnyata mski udah end tp trbilang masih baru masih anget, dan aku lngsung jatuh hati 😁😁

2023-04-18

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 78 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!