Bait Keempat

Kereta yang membawaku mendekati kenangan-kenangan yang kutinggalkan nyaris dua tahun tiba di Jogjakarta, Stasiun Tugu. Aku memandangi barisan PKL penjual oleh-oleh otentik khas kota ini di dekat peron. Tidak ada ungkapan apa pun yang kusebut-sebut dengan ekspresi ataupun kata-kata.

Dengan rasa kehilangan yang sepekat pare dan kerinduan yang menggunung kepada bapak ibuku. Rasanya aku tidak ingin beranjak ke mana pun dari kursiku sampai petugas kereta api yang menengok beberapa kali keadaanku mempersilakanku keluar dengan mata yang menunjukkan keprihatinan.

Aku berdiri, menatapnya biar dia tahu aku pasti bisa, aku sudah melewatkan momen kehilangan Pranata dengan meraung-raung pedih di kamarku, meringkuk ketakutan sementara Pranata mulai tenggelam di bawah guyuran tanah dan bunga serta tangis bapak ibuku dan semua rekan mahasiswanya.

Aku tidak mengeluarkan sepatah kata, hanya menyentuh dadaku dengan sebelah tangan sambil membungkuk sedikit untuk berpamitan dengannya. Entah mengenalku atau tidak, yang kuingat satu-satunya orang yang mengetahui masalahku di kereta ini hanyalah dia yang tersenyum dan mengangguk seraya mempersilakanku keluar.

Sejenak aku menghirup udara Jogja untuk pertama kalinya sebelum menurunkan kakiku ke peron. Sepasang mataku berpendar, kakinya terpaku sementara beberapa orang yang berdiri di belakangku menyenggolku untuk segera berjalan. Aku menyunggingkan senyum maaf hingga terpaksa kakiku ikut melangkah keluar dari stasiun sampai tidak pernah aku bayangkan akan jadi seperti. Mungkin benar kata Dominic dan orang tuaku, semua alasan yang mendasariku pergi dari Jogja dan menjelajah pelosok negeri sia-sia.

Aku kembali, Prana. Mengenangmu. Tentu saja hanya kenanganmu yang aku ungkapkan dan kata-katamu yang serupa matahari sore yang cerah menghangatkan setiap langkahku di trotoar food court teras Malioboro yang menjajakan kuliner dan jajanan aneka macam sebelum aku mampir ke warung soto ngapak pak gondronk. Aku lapar, Prana. Kamu tahu aku punya maag dan kamu akan marah jika aku sok-sokan diet hanya karena aku marah padamu.

Yang kedua aku membeli gorengan dan es jeruk, minuman kesukaan Prana untuk kubawa ke parkiran paling atas Abu Bakar Ali.

Hari ini tak ada yang perlu aku perbincangan kecuali tentangnya yang pernah pada suatu hari kami menghabiskan waktu di sini dengan membawa es jeruk plastikan dan gorengan sebungkus sambil menikmati tenggelamnya senja yang menguning di ufuk barat.

Pranata tersenyum lalu menoleh ke arahku setelah kami memandangi kereta api yang baru saja datang dari arah stasiun Lempuyangan ke pemberhentian stasiun Tugu.

“Seneng nggak, Ras?”

Aku mengigit cabe lalapan dan mengunyah mendoan jagung sambil menatapnya balik. Wajahnya di terpa cahaya matahari terakhir sebelum suasana menjadi remang-remang.

“Seneng, cuma jangan gorengan terus sama es jeruk to, Prana. Masa setiap kita keluar rumah beliinya ini terus. Kamu nggak takut kolesterol naik? Terus kalau tenggorokanku nanti sakit, terus batuk gimana, kamu mau jagain aku po?”

Pranata langsung menyaut mendoan di tanganku lalu melahapnya.

“Aku antar periksa ke mbah dukun, gampang to?”

“Lebih gampang lagi kalau kamu beliin aku jeruk nipis sama kecap di warung Mbak Tari daripada jauh-jauh ke mbah dukun.” sahutku setengah kesal.

“Nah,” sahut Pranata antusias, tangannya yang belepotan minyak gorengan yang sudah jadi jelantah dia usapkan di celananya sebelum mencubit pipiku. “Itu bagus, Ras. Aku setujulah, idemu memang yahud.”

“Semprul kamu thu,” balasku terus manyun, “masa kamu thu nggak pernah romantis to, aku itu tadi mancing-mancing kamu biar gimana gitu malah serius mau beliin aku kecap sama jeruk nipis! Kenapa nggak sekalian aja beli ikan terus kita bakar-bakaran di belakang rumah!”

Pranata terbahak-bahak waktu itu dan membuatku tersenyum sekarang mengingatnya. Sepekan setelahnya ketika aku benar-benar batuk berdahak sampai demam, Pranata mengajakku ke rumah sakit umum pemerintahan di tengah kota demi menegaskan bahwa bukan kecap dan jeruk nipis yang dia hadirkan dalam kesembuhanku, tetapi dokter umum dan obat-obatan yang kutelan sehari tiga kali dan besoknya membaik.

Oh Pranata, kutinggalkan es jeruk dan gorengan kesukaanmu yang ku taruh di tempat kesukaanmu jika berkunjung ke Malioboro—parkiran Abu Bakar Ali— tempat tertinggi sekaligus gratis untuk menikmati senja jika di jantung kota seandainya kau ke sini mengenang kenanganmu bersamaku. Kamu tahu, aku tidak meninggalkanmu sebab di antara pilihan dan paksaan dari Dominic untuk kembali pulang adalah demi aku sendiri.

Aku tersenyum sambil menuruni anak tangga dengan cepat hingga menimbulkan suara dag dug dag dug sebelum aku berputar sambil menggenggam palang tangga paling bawah.

Aku terengah di tengah keramaian jantung kota yang mengalami perubahan dari segi infrastruktur dan fasilitas. Banyak perubahan di sini, akankah hatiku juga berusaha berubah lebih maju? Harusnya begitu.

Aku melangkah dengan tertatih di tengah keramaian orang sebelum kutemukan keberanian untuk melangkah lebih lihay ke area perhostelan di dekat pasar kembang. Besok pagi aku berjanji akan pulang ke rumah, aku hanya perlu sedikit waktu untuk mengumpulkan lebih banyak keberanian untuk menghadapi bapak ibuku yang pasti akan bertanya apakah aku sudah baik-baik saja dan benar-benar pulang tanpa pergi lagi. Sebab itu, meninggalkan lagi yang terkasih demi lari dari kenangan terasa lebih berat setelah diri ini kembali menjajaki tanah yang menjadi tempat persembunyian ari-ari dan pelukan bapak ibu.

Aku masuk ke kamar hostel sederhana seraya melempar tas semi carrierku ke kasur. Dengan cepat kulepas sepatu dan merebahkan tubuh.

Tentang hari, tentang kembalinya aku di tanah kelahiranku seorang diri. Dominic sangat berhutang banyak padaku untuk menjelaskan tentang menghilangnya ia di toilet umum. Benar-benar mencret kan dia, atau ada alasan lain yang sama sekali tidak aku ketahui. Oh, apa mungkin dia terbebani tentang obrolan pagi tadi bersama bapak ibunya yang menginginkan kami menikah. Semakin kupikirkan, mataku semakin tajam menatap langit kamar dan tanpa perlu hasil riset berhari-hari, Dominic pasti resah.

“Sekarang mau mikirin Pranata dulu atau Dominic.” tanyaku pada diri sendiri.

Aduh. “Urusan reuni udah di depan mata, belum lagi pulang ke rumah. Masa iya aku nggak bawa oleh-oleh. Anak macam apa aku ini.”

Akhirnya malam pertamaku di Jogja sebelum esok kan kuceritakan awal pertemuanku bertemu Pranata Pamungkas dimulai aku melakukan perjalanan singkat ke toko oleh-oleh dan membeli apel malang sembari merasakan udara malam di sekitar Malioboro. Aku yakin bapak ibuku tak peduli aku sungguh-sungguh membeli apel malang ini di Malang atau tidak sebab mereka tahu aku membeli bakpia pathok sebagai imbuhannya dan aku yakin sebagian kesal pada Pranata, tapi aku yakin kalian nanti juga suka padanya.

...🖤...

Terpopuler

Comments

Ray Aza

Ray Aza

resep warisan simbok... /Facepalm/

2023-09-29

0

Ersa

Ersa

aku ngenteni part iki lo Ras

2023-04-23

0

CebReT SeMeDi

CebReT SeMeDi

Astaga sampe begitu dalamkah perasaanmu sama prana, sampe seakan enggan Kembali ketempat² yg pernah kalian pijak bersama

2023-01-29

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 78 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!