Ciittt…
Pria itu menghentikan motornya di depan kantor K-Company. Ia melangkah turun dengan membawa paket yang berisikan alamat kantor itu.
Tiba di lobi kantor, ia segera menghampiri resepsionis.
"Anda yang bisa saya bantu, pak?" Wanita yang berdiri di belakang meja itu tersenyum ramah padanya.
"Saya datang kemari untuk mengirimkan paket untuk pak Davin. Apakah benar, beliau bekerja di sini? Di lantai lima belas?"
"Oh, benar. Pak Davin adalah pemimpin perusahaan ini."
"Syukurlah saya tidak salah alamat."
"Kebetulan pak Davin saat ini sedang sibuk, bagaimana kalau paketnya anda titipkan pada saya saja? Nanti saya akan hubungi sekretaris pak Davin untuk turun dan mengambil paketnya untuk diserahkan langsung pada pak Davin."
"Baiklah. Kalau begitu, tolong serahkan, ya…"
"Baik."
Pria pengantar paket itu menyodorkan sebuah amplop kecil berwarna putih dengan sebuah stempel bulat di sudut bawah bagian depan amplop. Stempel itu memiliki lambang Ginkgo di tengahnya.
"Kalau begitu saya permisi." Si pengantar surat itu berlalu keluar kantor.
Sepeninggalannya, si resepsionis segera menghubungi Lune untuk memberikan amplop itu pada Davin.
...*...
"Kau harus dandan yang cantik! Mama yakin dia akan cocok untukmu, sayang."
"Ma, aku 'kan harus pergi kerja. Siang ini juga aku ada meeting penting dengan klien. Tidak mungkin aku menemuinya."
"Kau pasti bisa! Lagipula janji temunya saat jam makan siang di kafe light. Jadi kau bisa datang 'kan?"
"Apa? Kafe itu jauh dari kantorku, ma… mana mungkin aku pergi ke sana hanya untuk makan siang dengan pria yang bahkan tak aku kenali sama sekali? Lagipula bagaimana caranya kita bisa bertemu sedangkan kita saja belum pernah bertemu sekalipun?"
"Kau bisa menghubunginya!" Wanita yang menjadi ibunya itu menyodorkan ponselnya yang tadi direbut paksa dari tangannya.
Angelina menunduk menatap nomor telpon yang baru saja di simpan mamanya di kontaknya.
Di kontak itu, tertulis Calon suamiku. Dengan tanda love di ujung namanya.
"Sekarang ayo bersiap!"
Kejadian tadi pagi itu mendadak terngiang dibenaknya. Kejadian ketika ibunya secara paksa memintanya untuk datang ke kafe light guna menemui pria yang akan dikenalkan padanya.
Angelina menghela napas panjang.
Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Tapi, untuk apa aku di sini?
Angelina mengepalkan tangannya erat. Ia benar-benar tidak tahu kenapa dengan dirinya.
Sejak tadi pagi, dia terus ngotot tidak ingin menemui pria yang akan dijodohkan dengannya. Tapi siangnya, entah apa yang terjadi. Dia malah tiba-tiba datang dan mengambil duduk di salah satu kursi kosong yang ada di kafe light. Kafe yang dimaksud oleh ibunya.
Sepertinya aku benar-benar sudah kehilangan akal. Kenapa aku harus datang ke sini, sementara aku tidak ingin menemuinya?
Angelina mengalihkan perhatiannya pada jam yang melintas di pergelangan tangan kirinya.
Sudah lebih dari lima menit dirinya menunggu, dan pria yang di tunggunya sama sekali tak menampakkan diri.
"Aku sudah menunggunya di sini selama lima menit, tapi kenapa dia belum datang juga?"
"Padahal kalau aku perhatian, jarak antara kantornya dan kafe ini tidak jauh. Mungkin hanya akan memakan waktu dua sampai tiga menit saja untuk bisa sampai di sini."
"Apakah jangan-jangan dia tidak akan datang?"
Angelina merogoh kantongnya. Mengeluarkan ponselnya.
Wanita itu terdiam sembari memperhatikan nomor yang tertera di kontaknya.
"Apa aku telpon saja? Dan tanyakan apakah dia sudah tiba?"
"Ah, tidak. Rasanya tidak enak kalau aku menelponnya lebih dulu. Kesannya aku seperti orang yang terlalu berharap bisa bertemu dengannya. Lebih baik aku tunggu sebentar lagi saja, kalau dia tidak kunjung datang, aku akan pergi," gumam Angelina. Wanita itu seketika tersadar akan tulisan yang tertera pada nama kontaknya.
Ia bergidik—geli sendiri jadinya.
"Arghh! Benar-benar menggelikan! Kenapa mama harus menamai kontaknya seperti ini?!"
Angelina segera mengganti nama pada kontak pria itu.
...*...
Pria itu terus melangkah menghampiri meja yang sejak tadi di duduki seorang wanita di sana. Kursi yang dia duduki berada tak jauh dari jendela, sehingga membuatnya bisa dengan mudah mengenalinya.
"Maaf!" kata pria itu, membuat fokus Angelina beralih dari ponselnya.
"Ya?" Angelina mendongak. Untuk sesaat, ketika beradu pandang dengan pria yang baru tiba itu—Angelina berpikir bahwa dia mungkin saja adalah pria yang sejak tadi ditunggunya. Tapi asumsinya buyar ketika seragam yang dikenakan pria itu benar-benar diluar dari bayangannya.
"Apakah benar, anda Angelina?"
"Ya… ada apa?"
"Saya membawa surat untuk anda. Silahkan di terima." Pria itu menyodorkan amplop putih dengan stempel di sudut bawah bagian depannya.
"Surat? Dari siapa?"
"Alangkah baiknya anda cek sendiri pengirimnya."
"Oh…" Angelina mengalihkan atensinya pada amplop yang kini digenggamnya.
"Saya permisi." Pria itu berlalu meninggalkan dirinya seorang.
Benar-benar aneh. Baru kali ini aku lihat ada pengantar paket yang mengirimkan surat sampai ke kafe.
Tunggu. Tapi darimana pria itu tahu aku ada di sini?
Angelina mengecek alamat pengirim dan penerimanya. Tapi tak ada sedikitpun informasi yang di dapatnya mengenai siapa orang yang mengiriminya surat itu, atau alamat surat itu harus dikirimkan.
Yang tertulis di sana hanya nama penerima, dan nama itu memang tertulis namanya.
"Aneh," lirihnya dengan penuh tanya.
...*...
"Pak, ada yang mengirim surat untuk bapak." Lune menyodorkan surat yang baru saja diambilnya di resepsionis lobi.
"Surat? Dari siapa?"
"Saya kurang tahu. Tidak ada informasi mengenai pengirimnya sama sekali, hanya ada alamat kantor ini dan nama bapak yang tertulis di sana."
Davin meraih amplop yang diberikan Lune padanya barusan.
"Baiklah, terima kasih sudah mengambilkannya."
"Baik, pak." Lune membungkuk sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya.
"Surat apa ini? Kenapa ada yang mengirimiku surat?" Davin menatap amplop di tangannya untuk sesaat sebelum akhirnya membuka surat itu secara perlahan.
Begitu dibuka, Davin bisa melihat sebuah kartu di dalamnya.
Ukuran kartu itu hampir sama seperti kartu kredit miliknya.
Ia menarik benda itu keluar hingga dirinya bisa merasakan tekstur pada bagian belakang dimana logo yang serupa pada stempel depan.
Logo berbentuk bulat dengan gambar Ginkgo di tengah-tengah, dan inisial HG di bagian bawahnya.
Davin membalikkan kartu itu. Dari logonya, ia bisa melihat dengan jelas berlian asli yang berkilauan. Berlian itu tak lain digunakan sebagai stempel yang menempel pada kartu tersebut.
Ia mengusapnya sekali lagi. Rasanya sulit dipercaya ketika ia melihat ada berlian menempel pada stempel kartunya.
"Ini berlian asli?" Davin mendekatkan benda itu, memperhatikan lebih dekat agar semuanya terlihat jelas.
"Ini benar-benar asli," gumamnya pelan.
Davin kembali membalikkan kartu ditangannya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments