Gen 2 - Diamond card

"Ini mengenai tempatnya sendiri. Banyak orang yang penasaran mengenai keberadaan tempat ini, termasuk saya sendiri. Apakah anda bisa jelaskan?"

Kurt tersenyum penuh arti. Air mukanya mendadak berubah ketika mendengar pertanyaan selanjutnya yang baru saja dilontarkan oleh Olsen.

"Mengenai hal itu, saya tidak bisa mempublikasikannya secara langsung. Hanya saya yang tahu pasti dimana letak lokasi itu berada, dan saya tentunya tidak akan memberitahu lokasi pastinya pada publik."

"Maaf?" Olsen tak mengerti.

"Ini membingungkan 'kan? Setelah ini, anda pasti ingin bertanya kenapa saya membuat Paradise Land dan memamerkannya sementara saya tidak memberitahukan pada semua orang mengenai lokasinya 'kan?"

"Ya, saya penasaran. Apakah Paradise Land hanya sebagai tempat tinggal terbatas? Apakah ini milik anda pribadi?"

Kurt menggelengkan kepalanya pelan. "Saya tetap membuka Paradise Land untuk publik. Tapi tidak sembarang orang bisa tinggal di Paradise Land."

"Maksud anda, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa tinggal di sana?"

"Benar sekali."

"Wah, setelah mendengar ini. Saya semakin merasa kalau tempat ini memang tempat eksklusif, haha…"

"Tentu saja. Saya memang berencana untuk membuat tempat ini seeksklusif mungkin."

"Jika boleh tahu, bagaimana kriteria orang-orang yang boleh tinggal di Paradise Land? Apakah ada kriteria tertentu agar orang-orang diluar sana bisa tinggal di Paradise Land? Jika memang ada, saya ingin memantaskan diri." Olsen kembali terkekeh dengan kalimat sarkasnya.

Kurt ikut terkekeh pelan sambil kemudian menjawab, "saya tidak mematok kriteria apapun untuk seseorang bisa masuk. Tapi, ada satu hal yang membuat seseorang bisa tinggal di Paradise Land."

"Apa itu?"

"Diamond Card."

Olsen mengerutkan kening begitu mendengar kalimat Kurt barusan.

"Saya memilih dan menyeleksi secara langsung orang-orang yang layak tinggal di Paradise Land. Dan setiap orang yang saya anggap pantas, akan mendapatkan sebuah undangan berupa Diamond Card."

"Wah, benarkah? Apakah seistimewa itu? Ah, saya benar-benar iri. Kalau seperti ini, akan sangat kecil kemungkinan bagi saya untuk mendapatkan surat undangan itu, haha…"

"Tentu saja. Selain itu, saya hanya menyeleksi sepuluh orang saja di antara ribuan atau bahkan jutaan orang."

"Huh? Astaga, benarkah? Ini lebih mengejutkan lagi. Tapi, kenapa anda sangat membatasi akses masuk ke Paradise Land?"

"Saya hanya ingin mengetes seberapa puas mereka dengan hasil temuan saya. Maka dari itu, saya memberikan akses terbatas."

"Oh, begitu rupanya… saya mengerti. Selain itu, hal ini juga karena Paradise Land baru saja melalui tahap uji coba 'kan?"

"Benar sekali."

"Kalau begitu, kapan anda akan mulai menyeleksi? Apakah anda sudah punya tanggal pastinya siapa saja yang akan mendapatkan diamond card itu?"

"Dalam satu Minggu ke depan, saya akan mengirimkan surat undangan pada sepuluh orang terpilih dari beberapa negara berbeda."

"Sungguh? Wah, luar biasa. Pasti ini akan sangat di nanti-nanti oleh para pemirsa, dan pastinya banyak orang yang berharap mendapatkan undangan itu seperti saya, haha… semoga saja kalian semua beruntung."

"Ya…"

Pip—

Davin mematikan layar televisi besar di ruangannya itu. Ia menaruh remote control di tangannya ke atas meja lalu menghampiri kursi kebesarannya.

"Aku kira proyek macam apa yang membuat semua orang begitu heboh, ternyata hanya sebuah proyek aneh yang tak menarik sama sekali," gumamnya pelan sambil mengalihkan fokusnya pada berkas yang baru saja dibawanya.

"Lagipula siapa yang percaya dengan tempat seperti itu? Tidak mungkin Paradise Land seindah itu. Aku yakin, tempatnya pasti membosankan."

Sekali lagi, ia bergumam sambil mengalihkan fokusnya pada semua pekerjaan yang ia miliki.

Tok-tok!

Suara ketukan pintu membuat fokusnya seketika beralih ke arah datangnya suara. Wanita yang menjadi sekretarisnya itu seketika melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya.

"Saya ingin memberikan beberapa berkas yang baru saja selesai," katanya begitu tiba dihadapannya.

...*...

Tap! Tap!

Pria itu melangkah dengan beberapa orang dibelakangnya. Mereka terus berjalan menyusuri koridor menuju ruang kendali. Di sana, mereka akan bertemu dengan salah satu rekan kerja yang sudah menunggu sejak tadi.

Ceklek!

Pintu dibukanya perlahan. Ia melangkah masuk, dan segera menghampiri Kurt yang sejak tadi menunggunya bersama dengan anak buahnya yang lain.

"Bagaimana?" tanya Walt, membuat fokus Kurt seketika beralih pada pria yang baru saja datang itu.

"Semuanya sudah siap seperti rencana kita."

"Benarkah? Tidak ada kendala sama sekali 'kan?"

"Tentu saja tidak ada. Semuanya berada dalam kendali. Aku sudah menyeleksi setiap orang yang akan tinggal di Paradise Land, dan aku sudah mengirimkan semua diamond card kepada para penerimanya."

"Sungguh? Jadi, siapa saja yang kau pilih? Apa aku boleh melihatnya?"

"Kenapa tidak?" Kurt memberikan jalan agar Walt bisa mendekat ke arah meja dimana anak buahnya terduduk di depan layar komputer.

Setelah berbincang beberapa hal, anak buahnya lantas menunjukkan gambar-gambar yang menjadi target mereka.

Ada sepuluh orang yang tampak di layar komputer dihadapannya mereka itu. Tiga diantaranya adalah seorang wanita, dan sisanya pria.

Rata-rata dari mereka usianya sudah menginjak dua puluhan.

"Mereka semua adalah kandidat yang cocok untuk tinggal di Paradise Land."

...*...

"Kau pokoknya harus menemui dia. Mama sudah memintanya untuk menunggu di kafe light dekat kantormu, maka dari itu kau harus mendatanginya. Jangan sampai membuatnya menunggu!" Kalimat itu terdengar penuh tekanan. Davin yang mendengarnya seketika berdecak sebal.

Ini sudah ketiga kalinya sang ibu berusaha untuk menjodohkannya dengan wanita yang bahkan sama sekali tak dikenalnya.

Sudah seminggu berlalu sejak siaran langsung yang menghebohkan dunia itu tayang.

Sejak hari itu juga, entah kenapa banyak sekali masalah yang membuat Davin tertekan. Mulai dari urusan kantor yang tak kunjung habis, masalah dalam proyek yang dikerjakan, bahkan sampai masalah yang diciptakan oleh ibunya sendiri yang bersikeras memintanya untuk segera menikah.

"Aku sudah bilang tidak mau! Apakah mama tidak mengerti? Aku tidak ingin menikah dengan wanita yang tak aku kenal."

"Mau sampai kapan kau terus melajang seperti ini? Usiamu semakin lama semakin bertambah, dan kalau kau tidak segera menikah. Nanti kau keburu tua."

"Aku tidak peduli!"

"Davin!"

"Kalau mama terus memaksaku, lebih baik aku melajang hingga tua. Kalau perlu sampai aku mati!"

"Hey! Jaga bicaramu. Mama tidak ingin kau seperti itu!"

"Pokoknya keputusanku sudah bulat!"

Pip—

Davin benar-benar lelah meladeni ibunya yang terus memaksanya untuk segera menikah.

Davin melemparkan ponsel dalam genggamannya ke atas meja. Ia menyandarkan tubuhnya sambil memijat pelipisnya yang terasa pening.

"Kepalaku rasanya akan pecah. Kalau seperti ini, bisa-bisa aku stres dan berakhir mati muda," gumamnya lirih.

"Huft~ andai saja aku bisa pergi sejauh mungkin…"

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!