Nur Rahman kaget sekali karena melihat arwah anak kecil itu naik ke punggung pria berpakaian serba putih itu. Pria yang awalnya berjalan tegap itu mendadak memegangi punggungnya sambil mengeluh sakit.
“Kenapa, Pak?” tanya Pak Ibnu.
“Nggak apa-apa, Pak. Punggung saya kambuh lagi,” sahut pria itu dengan berjalan sambil memijati bagian punggungnya sendiri.
Sementara Nur Rahman masih saja memperhatikan arwah anak kecil yang terlihat sedang keasyikan bermain di punggung dan pundak pria itu. Namun, penglihatan Nur Rahman tidak berjalan lama, beberapa detik kemudian arwah anak kecil itu pun menghilang. Dan sampailah mereka berlima di tempat pemandian jenazah. Nur Rahman melihat arwah Rendi sedang berdiri di depan ruangan seolah sedang menyambut kedatangan mereka berlima.
“Aku ijin memandikanmu, Ren!” bisik Nur Rahman pada arwah sahabatnya.
“Kamu ngomong sama siapa, Nur?” tanya Nizwar.
“Nggak ada, Nizwar. Aku hanya bergumam, jawab Nur Rahman.
Tangis kesedihan kembali mengiringi saat kelima orang itu memandikan Rendi. Banyak sekali luka didada dan kaki Rendi dan sudah dijahit oleh petugas Puskesmas. Yang paling parah di bagian wajah dan kepalanya. Sebagai sahabat yang selama ini sering berkomunikasi dengan Rendi, mereka berempat masih tidak percaya kalau Rendi sudah meninggal dunia karena kecelakaan.
“Mas, sebentar lagi kita akan mensucikan jenazah teman kalian. Tolong air matanya jangan jatuh lagi, ya? Biar teman kalian ini bisa beristirahat dengan tenang,” ucap pria berpakaian putih itu.
Nur Rahman dan ketiga temannya itu pun menuruti perintah pria itu, sehingga acara memandikan jenazah pun selesai dilaksanakan dilanjutkan dengan acara membungkus jenazah Rendi dengan kain kafan. Keanehan terjadi saat mereka mencoba mengikat bagian kain di atas kepala Rendi. Setiap pria itu mengikatnya, ikatan itu kembali terlepas dengan mudahnya. Pria itu sampai panik karena selama menjadi petugas yang memandikan jenazah, ia tidak pernah mengalami kesulitan seperti itu. Nur Rahman yang melihat ada sesuatu yang tidak beres pun mengambil alih tugas pria tersebut dan ternyata ia berhasil mengikatnya. Setelah itu mereka pun meninggalkan kembali jenazah Rendi yang sudah dikafani di ruangan itu sambil menunggu ambulans yang akan mengantarkan jenazah Rendi ke rumahnya.
Ketiga teman kantor Nur Rahman menunggu kedatangan ambulans di depan ruang jenazah, sedangkan Nur Rahman ijin pergi ke toilet kepada teman-temannya itu padahal sebenarnya ia sedang menyusul pria berseragam putih itu yang sedang berjalan menuju ke sebuah ruangan.
“Assalamualaikum …,” sapa Nur Rahman mengagetkan pria berseragam putih itu.
“Waalaikumsalam … Ada apa, Mas?” tanya pria itu sambil berbalik badan.
“Pak, saya ingin berbicara dengan Bapak sebentar. Apakah saya mengganggu waktu Bapak?” sahut Nur Rahman.
“Oh tidak. Silakan duduk, Mas!” perintah pria itu.
“Terima kasih, Pak,” jawab Nur Rahman sambil mengambil tempat duduk yang disediakan.
Pria itu memperhatikan gerak-gerik Nur Rahman dengan penuh rasa penasaran. Sedangkan Nur Rahman sibuk memperhatikan benda-benda yang ada di dalam ruangan tersebut.
“Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting ya, Mas? Kok Mas kayak serius sekali menemui saya? Apa ini ada kaitannya dengan jenazah teman Mas yang baru saja kita mandikan?” tanya pria itu tak sabar.
“Oh, bukan, Pak! Saya ingin mengkonfirmasi sesuatu kepada Bapak,” jawab Nur Rahman sambil matanya tertuju pada sebuah foto perempuan kecil di belakang meja kerja pria tersebut. Wajahnya sangat persis dengan arwah anak kecil yang beberapa waktu yang lalu menggelayut di punggung pria itu.
“Monggo, Mas! Apa ini terkait dengan pelayanan saya terhadap kalian? Kalau memang ada yang kurang maksimal, saya mohon maaf,” ucap pria itu dengan sopan.
“Bukan, Pak. Saya ingin menanyakan tentang anak itu kepada Bapak,” jawab Nur Rahman dengan lugas sambil menunjuk ke arah foto yang berada di belakang pria itu.
Pria itu langsung menoleh ke arah foto anak kecil yang dipajang di belakang kursi kerjanya.
“Kenapa Mas tiba-tiba menanyakan foto anak saya ini?” tanya pria itu dengan rasa curiga kepada Nur Rahman.
“Jadi, anak yang berada di dalam foto itu adalah putri Bapak?” tanya Nur Rahman dengan tidak kalah terkejutnya.
“Iya, Mas. Ini foto anak saya. Kenapa? Apa Mas pernah bertemu dengan anak saya ini?” tanya pria itu lagi.
Nur Rahman tidak buru-buru menyahut. Pemuda itu tercengang dengan perkataan pria tersebut. Dari arah pembicaraannya, sepertinya pria itu belum tahu kalau putrinya sudah meninggal dunia.
“Foto ini waktu anak saya masih berusia enam tahun. Dia sangat lucu dan cerdas sekali sama seperti ibunya. Sayangnya ia harus tinggal terpisah dengan saya karena dua tahun lalu kami bercerai. Ibunya membawanya tinggal jauh dari kota ini. Nahasnya saya kehilangan kontak dengan mantan istri saya semenjak kami berpisah. Sepertinya kekasih mantan istri saya tidak mau saya berhubungan baik dengan mantan istri. Alhasil, sudah dua tahun ini saya tidak bisa bertemu dengan anak saya ini. Saya sudah berusaha mencari alamat istri saya dengan menanyakannya kepada semua teman dan kerabat mantan istri saya, tapi tidak ada yang mengetahui ke mana istri saya pindah membawa anak saya. Tolong, Mas! Kalau Mas memang pernah melihat anak saya ini, katakan pada saya di mana Mas melihatnya?” pria itu memohon sekali kepada Nur Rahman untuk memberikan informasi tentang putrinya kepada pria itu.
Nur Rahman tentu saja panik mendapat pertanyaan seperti itu. Ia tidak menyangka kalau pria itu tidak tahu menahu tentang kematian anak kecil itu. Padahal kedatangan Nur Rahman ke ruangan pria itu hanya untuk memastikan keterkaitan antara pria itu dengan arwah anak kecil yang dilihatnya. Ia pikir pria itu sudah mengetahui perihal kematian anak kecil itu. Nur Rahman hanya ingin memastikan apakah ada pesan terakhir anak kecil itu yang belum tersampaikan kepada pria itu. Jika memang ada maka Nur Rahman akan mencoba mengingatkan pria itu. Tapi, kenyataannya bukan begitu. Jangankan pesan terakhir, bahkan kematian anak kecil itu belum diketahui oleh pria tersebut yang ternyata adalah ayah kandungnya.
“Mas … tolong saya, Mas!” Pria itu meraih tangan Nur Rahman karena ia merasa Nur Rahman memiliki informasi penting tentang keberadaan putrinya.
Pada saat Nur Rahman dalam kondisi panik seperti itu, tiba-tiba arwah anak kecil itu muncul secara tiba-tiba di sebelah Nur Rahman. Tangan anak kecil itu memegang erat tangan Nur Rahman. Saking eratnya, Nur Rahman tidak bisa melepaskan pegangan tangan anak kecil itu. Dalam kondisi antara sadar dan tidak, Nur Rahman tiba-tiba berbicara dengan suara seperti layaknya anak kecil.
“Ayah … aku tidak pernah pergi dari rumah kita, Yah. Aku kan sudah berjanji pada ayah untuk tetap tinggal di rumah itu apapun yang terjadi. Meskipun ibu memaksa aku, aku tetap tidak mau, Yah. Om Jecko juga memaksa aku, aku tetap tidak mau, Yah. Aku bilang pada mereka kalau aku ingin tetap tinggal di rumah itu. Aku tidak peduli dengan kemarahan mereka. Yang penting aku tetap memegang janjiku kepada Ayah untuk tetap tinggal di rumah itu. Aku bahagia berada di rumah itu, Yah. Meskipun aku harus tinggal sendirian. Meskipun aku harus tidur di dalam lemari peninggalan kakek. Yang penting, setiap hari aku bisa membelikan roti tawar dan minuman rasa kopi kesukaan Ayah di Intermart.”
Pria itu menangis meraung-raung mendengar suara anak kecil yang keluar dari mulut Nur Rahman. Nur Rahman juga tak kuasa menahan tangisnya mendengar pengakuan putri petugas itu.
“Maafkan ayah, Nak! Maafkan ayah! Seharusnya ayah tidak berkata seperti itu kepada kamu,” teriak pria berseragam putih-putih itu sambil menangis meraung-raung.
Nur Rahman melihat arwah anak kecil itu sedang memeluk ayahnya dengan penuh kasih sayang. Wajahnya sudah tidak seseram saat pertama kali pemuda itu menjumpainya di depan Intermart.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
yamink oi
sedih akunya 😭😭😭😭
2023-02-12
1
Bambang Setyo
Wah perlu dicek nih dalam lemarinya...
2023-02-03
1
rajes salam lubis
lanjutkan
2023-01-30
1