Nisa berjalan menuju ruang pribadinya setelah memeriksa beberapa pasien. Kedua tangannya masuk kedalam saku jas putih khas seorang dokter. Tatapannya kosong dengan pikiran yang jauh melambung mengingat kejadian tadi pagi. Satu hal yang menjadi pertanyaan di kepalanya. Jika dia menerima semua ini, apa dia akan kuat, hidup satu atap dengan seseorang yang dia cintai tapi tidak mencintainya, apakah hatinya baik-baik saja nanti ?
Perjanjian yang diungkapkan Argi tadi pagi bukanlah hal mudah yang bisa dia terima. Dia perempuan dan dia juga menginginkan pernikahan seperti yang orang lain inginkan. Menikah sekali seumur hidup dan hidup menua bersama dengan orang yang dicintai. Apa dia tidak diizinkan merasakan itu semua?.
"Ehh..."
Asik melamun, Nisa tak menyadari jika dirinya hampir saja menabrak tiang. Dirinya baru tersadar saat telapak tangan seseorang menempel pada dahinya yang hampir saja mencium tiang rumah sakit. Nisa menoleh menatap seseorang yang sudah berdiri di sampingnya.
"Ngelamun?" tanya seseorang yang juga mengenakan jas putih sama sepertinya.
"Enggak kok, kamu dari kapan disini?" tanya Nisa masih menatap seseorang yang lebih tinggi darinya itu.
"Katanya gak melamun, aku datang disini aja gak sadar, bahkan hampir nabrak tiang," ucap orang itu terkekeh pelan.
Nisa mendengus lalu melanjutkan langkahnya. Orang tersebut tak tinggal diam, dia ikut menyusul langkah Nisa. Merangkul perempuan itu.
"Makan siang yuk," ajaknya.
"Ham, lepas iih," Nisa berusaha lepas dari rangkulan seseorang yang dia panggil dengan sebutan 'Ham' itu.
Nisa menoleh menatap laki-laki yang kini tertawa dan memasukkan tangannya ke dalam saku jas dokter yang dia kenalan. Namanya Ilham Saputra, laki-laki yang memiliki profesi sepertinya, seorang dokter yang mulai dari pendidikan sampai sekarang keduanya selalu dipertemukan. Mereka berteman baik, Ilham sering membantu Nisa dalam hal apapun. Layaknya teman yang selalu ada disaat susah. Bahkan Nisa sudah menganggap Ilham kakaknya. Laki-laki dengan perawakan tinggi dan manis itu merupakan satu-satunya teman Nisa saat kuliah dulu sampai sekarang.
"Makan siang yuk," ajak Ilham menarik tangan Nisa menuju kantin rumah sakit tanpa persetujuan perempuan itu.
Nisa hanya menurut dengan apa yang dilakukan Ilham, duduk sambil menunggu Ilham yang memesankan makanan. Nisa mendongak setelah menyadari seseorang meletakkan makanan diatas mejanya.
"Ngapain melamun gitu?" tanya Ilham sambil duduk dan menggeser piring berisi makanan yang tadi dia pesan untuk Nisa.
Nisa merutuki dirinya sendiri. Setelah bertemu Argi tadi pagi, dia jadi lebih banyak melamun dan berfikir.
"Gak papa, ayo makan," ujarnya memasukkan sesendok nasi kedalam mulutnya.
"Gak mau cerita nih?" tanya Ilham. Bahkan Nisa lupa, Ilham begitu mengenal baik bagaimana dirinya.
"Aku gak papa," jawabnya kembali fokus ke makannya.
"Jangan bohong, aku kenal kamu dengan baik Thanisa," pungkas Ilham serius.
Nisa menghembuskan nafasnya dengan gusar, meletakkan sendok makan lalu menatap Ilham dengan serius.
"Aku dijodohkan," ucapan Nisa tersebut berhasil membuat Ilham tersedak salivanya sendiri.
Dengan cepat Nisa menyodorkan minum pada Ilham yang disambut baik laki-laki itu. Dalam beberapa detik air satu gelas itu habis.
"Kamu serius?" tanya Ilham lebih serius lagi.
"Hemm," jawab Nisa cuek kembali memakan makanannya, sungguh, dia memang sangat lapar.
"Bagus dong, bentar lagi kamu nikah. Diundang kan aku?" tanya Ilham antusias, walaupun dia sedikit aneh dengan Nisa yang sepertinya tidak antusias seperti calon pengantin pada umumnya.
"Btw dijodohin sama siapa?" tanya Ilham membuat Nisa menghentikan pergerakannya.
Nisa kembali menghela nafas pelan. Sungguh, jika boleh Ilham lebih baik tidak mengetahui semua ini daripada dia harus bercerita panjang lebar.
"Anak om Gio," jawabannya pelan.
"Demi apa? CEO ganteng itu kan?" tanya Ilham antusias bahkan sudah menggebrak meja. Siapa yang tidak mengenal CEO muda tersebut, ayolah bahkan Ilham kenal betul siapa keluarganya. Keluarga terpandang dengan puluhan bisnis baik di dalam maupun luar negeri.
"Pelankan suara mu," tegur Nisa.
"Heheheh iyaa iya, tapi beneran ini?" tanyanya lagi.
Nisa hanya mengangguk pelan. Andai pernikahannya adalah kemauan dua belah pihak pasti dia akan seantusias Ilham sekarang.
"Do'ain yaa," pinta Nisa.
Ilham mengangguk dengan semangat, "Tentu, apapun yang terbaik buat kamu akan selalu aku doakan," ujar laki-laki itu tersenyum tulus.
"Terbaik?" gumam Nisa menghela nafas panjang. Menatap Ilham yang sudah kembali fokus pada makanannya. Sesekali mengajaknya berbicara.
"Do'ain aku sanggup jalaninnya ya, Ilham," batin Nisa.
...💔💔...
Disisi lain, Argi duduk termenung menatap layar ponselnya yang sedari tadi menampilkan room chat dengan seseorang. Senyum yang tadi mengembang di kedua sudut bibirnya kini perlahan memudar setelah melihat pesan balasan dari seseorang.
"Aku akan kembali ke Indonesia bulan depan,"
Sepeti itulah balasan yang dia dapat dan berhasil melunturkan senyum tipisnya.
"Bulan depan," gumam Argi sambil menghela nafas pelan.
Dia tidak tahu apakah dia harus senang atau bersedih sekarang. Bulan depan perempuan yang dia cintai akan kembali ke indonesia setelah hampir lima bulan berada di luar negeri mengurus berbagai jenis pekerjaannya. Tapi, yang membuatnya sedih adalah pernikahan yang diinginkan kedua orang tuanya akan terlaksana seminggu lagi. Gio, papanya sudah berbicara padanya tadi dan Argi menyetujui apapun keputusan orang tuanya. Dia bahkan mengorbankan perasaannya tapi tak tahu apakah setelah ini dia akan bahagia.
Argi menghela nafas panjang, menyenderkan tubuhnya pada sandaran sofa sambil memejamkan matanya mengingat wajah cantik perempuan yang sungguh membuatnya jatuh cinta itu. Namun, seketika kedua mata coklatnya itu terbuka saat wajah lugu, cantik dan polos milik gadis yang dia temui tadi pagi datang secara tiba-tiba kedalam bayangannya.
Argi menghela nafas panjang, dia jadi ragu untuk menikah minggu depan tapi dia juga sudah membicarakan ini bersama papanya tadi. Kenapa harus dirinya yang terjebak di posisi seperti ini.
Asik dengan pikirinnya sendiri, Argi dibuat terkejut saat ponselnya berdering nyaring dalam ruangan hening itu. Segera Argi membuka ponselnya dan nama 'Mama' tertera jelas membuatnya tersenyum simpul. Hanya Ara, mamanya yang bisa membuat Argi tak mengomel jika ditelfon. Tak menunggu lama, dia segera mengangkat panggilan dari wanita tercintanya itu.
"Halo Ma," sapa Argi lembut.
"Abang dimana, kapan pulang?"
Suara lembut dari seberang sana membuatnya tersenyum manis. Argi sangat mencintai wanita itu dan dia sangat menyukai jika mamanya bertutur lembut seperti itu padanya.
"Masih dikantor, Ma. Ada apa?" tanya Argi.
"Pulang nanti jemput mama di butik. Mama lagi liat-liat jas dan gaun pengantin. Tadi papa mu sudah bilang semuanya sama mama,"
Mendengar itu, senyum Argi luntur diganti dengan perasaan gusar. Dia tidak menyangka mamanya akan seantusias itu tapi dia juga sekarang ragu akan melanjutkan atau tidak. Setelah menghela nafas panjang, Argi mengungkap sesuatu yang membuat mamanya terdiam cukup lama lalu mematikan sambungan telfonnya sepihak.
"Boleh gak kalau pernikahannya dibatalin?" tanyanya.
...-Batas-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments