Ethan makan malam dan tetap makan malam sendirian malam itu. Malvia tidak ikut dengannya karena dia tahu apa Malvia. Ester tentu bertanya kenapa Malvia tidak ikut makan. Ethan berkata Malvia sedikit trauma bertemu dengan orang tidak dia kenal dan berkata akan mengantarkan makanan ke kamar tamu, kamar yang di tempati Malvia.
Tok tok tok
"Y-ya?"
"Nona, ini aku. Apa saya boleh masuk?" tanya Ethan sopan.
"Te-tentu, tentu saja." jawab Malvia. Ethan membuka pintu. Dia melihat Malvia berdiri di dekat jendela. Ethan masuk ke dalam membawa nampan berisikan makanan.
"Apa semua baik-baik saja?" tanya Ethan. Dia meletakkan nampannya di meja.
"Tentu. Hanya menikmati waktu malam. Malam ini bulan begitu indah." Malvia menatap bulan yang kokoh di singgasananya. Ethan mendekat. Dia juga bisa melihat bulan itu.
"Kau benar."
"Ahh iya, apa ada masalah tuan?" tanya Malvia. Dia menatap Ethan. Ethan mengalihkan pandangannya pada Malvia. Meski dengan cahaya lilin, dia bisa melihat kecantikan Malvia. Sedari awal bertemu, Malvia kusut dan kumuh, baik wajah maupun pakaiannya. Sekarang dia sudah bersih dan mengenakan pakaian layak. Bahkan cahaya bulan yang masuk ke kamarnyapun seakan mempertegas kecantikan Malvia. Meski kulitnya lebih pucat dari kebanyakan manusia biasa, tidak menutup kecantikannya. Ya, Ethan mengakui itu. Bahkan hatinya ikut memujinya.
Ethan berdehem untuk menyadarkan dirinya dari kekaguman.
"Maafkan saya nona, tapi Ester, akan curiga jika nona tidak makan." kata Ethan akhirnya.
"Ahh benar. Saya mengerti tuan."
"Anda tidak perlu memakannya. Biar saya saja. Saya tahu jika anda--"
"Jangan! Tidak perlu tuan. Saya tahu anda sudah makan tadi. Tidak apa-apa. Letakkan saja di sini." tolak Malvia.
Ethan mengangguk. "Baiklah jika itu maumu. Ahh satu lagi. Maaf Aku tahu ini sangat tidak sopan tapi aku harus memberikan darah langsung dari kantongnya. Aku tidak ingin Ester curiga dengan gelas berlumuran darah." jelas Ethan.
"Itu juga tidak masalah tuan. Saya mengerti."
"Baiklah, kalau begitu silahkan makan malam dan beristirahatlah." Ethan tersenyum canggung dan keluar dari kamar.
Malvia menghela nafas lega saat Ethan sudah keluar. Dia duduk di ujung tempat tidurnya. Kakinya terasa lemas. Dia tiba-tiba gugup di sekitar Ethan. Terlebih saat Ethan menatapnya dengan tatapan intens seperti tadi. Dia seperti terlarut dalam tatapannya yang begitu lembut dan hangat.
"Ada apa denganku?" Malvia memegang dadanya. "Jangan katakan aku menyukainya. Seorang Malvia Wycliff? Menyukai manusia? Tidak itu tidak boleh terjadi."
...***...
Keesokan paginya, terdengar sebuah ketukan pintu di kamar Malvia.
"Y-ya?" Malvia selalu gugup jika mendengar ketukan itu.
"Maaf nona, saya Ester, pelayan tuan Sanders." kata Ester dari luar.
"Sanders? Ahh itu pasti nama pria itu."
Malvia berdiri dari duduknya lalu membuka pintunya sedikit. Dia mencoba menyembunyikan wajah dan leher pucatnya dengan membiarkan rambutnya tergerai.
"Maaf nona, apa nona ingin sarapan?" tanya Ester ramah dan sopan. Malvua menggeleng.
"Tidak, saya tidak lapar. Terima kasih."
"Anda yakin? Anda akan lemas nanti. Kata tuan Sanders, anda dalam masa penyembuhan. Jadi anda harus banyak makan." kata Ester mencoba membujuk Malvia.
"Saya baik-baik saja, terima kasih. Ahh benar, tunggu sebentar." Malvia masuk ke dalam kamar dan mengambil nampan yang semalam di antar Ethan ke kamarnya. Nampan itu kini kosong. Malvia sudah memakan semua makannya. "Makanannya enak sekali, terima kasih."
Ester tersenyum. Dia paling suka jika orang menghabiskan makanan yang dia masak. "Saya senang jika anda menyukainya." Ester mengambil nampan itu lalu di tukar dengan nampan lain yang berisi makanan. "Berjaga-jaga jika anda lapar, anda bisa memakan ini."
Malvia tersenyum. "Terima kasih, anda baik sekali."
"Sama-sama nona dan ahh! Ada gelas tertutup di atas nampan itu. Kata tuan Sanders itu ada jus mulberry yang dia buat tuan untuk anda, mungkin anda tidak berselera makan."
"Seharusnya dia tidak perlu repot." gumam Malvia.
"Tenang saja nona, tuan Sanders membuatnya untuk semua orang. Saya juga mendapatkannya. Saya permisi nona."
"Sekali lagi. Terima kasih." ucap Malvia masih dengan kesopanan.
"Tidak masalah nona."
Ester pergi dari sana dengan perasaan tenang. Awalnya dia gugup jika ketakutannya akan Malvia benar adanya. Tapi melihat Malvia sangat lembut dan sopan, dia menjadi tidak takut lagi. Justru dia menghormati Malvia. Dari sikap Malvia dan juga kata-katanya, Malvia terlihat berasal dari kelas atas, seperti bangsawan.
Malvia menghela nafas dan bersandar di pintu dengan masih memegang nampan berisi makanan. Dia begitu gugup menghadapi Ester. Bukan karena menahan nafsu ingin meminum darah Ester, melainkan dia takut ketahuan. Malvia meletakkan nampan di atas meja. Dia memperhatikan satu gelas yang sudah tertutup, tidak kelihatan apa isinya tapi Ester berkata itu jus mulberry buatan Sanders. Tapi kenapa Malvia mencium bau darah?
Malvia membuka tutup gelas itu dan benar saja, itu darah.
"Kenapa dia berkata ini jus mulberry?" Malvia mengangkat gelas itu dan memperhatikan isinya. Sedetik berikutnya dia tertawa kecil. Dia mengerti sekarang. Warnanya memang sekilas mirip darah, merah. Tapi jika di cium bau dan di perhatikan dengan benar, itu bukanlah mulberry. Ethan sengaja membuatkan semua orang jus mulberry agar dia bisa memberikan darah di gelas untuk Malvia.
"Dia melakukan ini untukku?" Malvia tersipu. Tindakan kecil Ethan untuknya membuatnya tersipu. Malvia mengigit bibir bawahnya dan tersenyum. Beberapa detik berikutnya dia menggeleng cepat. "Astaga! Kenapa denganku?"
Sudah hampir sore tapi Ethan belum datang menemui Malvia. Biasanya dia akan datang walau hanya sekedar memeriksa lukanya. Tapi Ethan tidak datang. Hanya Ester yang terus mengetuk pintu kamarnya dan memberinya makan. Malvia merasa di samakan dengan sapi karena terus di beri makan.
...***...
Kereta kuda datang di pekarangan depan rumah Ethan. Pria yang duduk di sebelah kusir kuda turun dan membuka pintu. Satu wanita paruh baya dengan rambut pirang kecokelatan tersanggul rapi di kepalanya. Pria tadi mengulurkan tangannya, menjadi pegangan saat wanita paruh baya itu turun dari kereta. Wanita itu melangkah dengan anggun. Terlihat sekali jika dia dari kalangan bangsawan dari cara berjalannya dan gaun sutra mix satinnya yang berwarna kuning gading, cukup mencolok. Beberapa orang membantunya mengangkat tas yang di bawa wanita itu. Wanita itu mengetuk pintu dengan elegan.
Ester dengan cepat membuka pintu.
"Nyonya." Ester membungkuk hormat.
"Selamat sore, Ester. Apa keponakanku ada?" wanita itu masuk kedalam rumah. Dia memperhatikan sekelilingnya.
"Tidak ada, nyonya Gardinar. Tuan sedang pergi memeriksa warga desa." kata Ester. Wanita itu duduk di salah satu sofa.
"Dia selalu melakukan amal itu. Apa tidak lelah? Tidak mendapatkan uang tapi justru menyentuh tangan-tangan kotor dan berpenyakitan." nyonya Gardinar melepaskan sarung tangannya. "Ester, aku ingin teh dan siapkan kamarku. Aku akan menginap malam ini."
"Baik, nyonya." Ester membungkuk hormat dan segera pergi.
"Ahh benar." ucap nyonya Gardinar, menghentikan langkah Ester.
"Ya nyonya?"
"Apa Ethan... Uhmm... Dekat dengan seorang wanita belakangan ini?"
"Saya tidak tahu nyonya. Setahu saya tidak. Tapi meskipun iya, saya ragu tuan Ethan akan memberitahukan saya."
"Benar, kau benar. Jadi dia tidak pernah membawa pulang seorang wanita?" tanya nyonya itu lagi. Matanya penuh menyelidik.
"Pernah, nyonya. Sekali."
Nyonya itu menatap Ester. Dia terlihat terkejut sekaligus antusias. "Benarkah? Siapa?"
"Kata tuan, tuan menyelamatkan nona itu dari para bandit di hutan dan membawanya pulang. Nona itu ada di kamar tamu sekarang dan tuan Ethan pasti sekalian melaporkan pada sherif tentang nona yang di kejar bandit itu."
"Benarkah? Aku akan menemuinya." nyonya Gardinar berdiri. "Aku harus melihat seperti apa dia dan kebenaran berita itu."
"Maaf nyonya, tuan berkata nona itu tidak boleh di ganggu."
Penolakan Ester membubuhkan kerutan di kening nyonya Gardinar. Dia menatap tidak suka pada Ester.
"Kenapa begitu?"
"Tuan berkata, kemungkinan nona itu terkena trauma, nyonya. Jadi dia tidak boleh di temui." jelas Ester.
"Aku yakin itu hanya alasan Ethan. Dia pasti menyembunyikan gadis itu." gumam nyonya Gardinar.
"Itu tidak benar, nyonya. Saya bertemu dengannya pagi dan siang ini, mengantarkan makanan. Dia terlihat sangat ramah tapi terlihat sangat gugup pula. Tangannya terdapat memar. Saya yakin tuan Ethan berkata jujur."
Nyonya Gardinar menghela nafas kasar. "Baiklah, terserah saja. Cepat siapkan kamar dan air mandiku. Gerah sekali."
"Baik nyonya."
Sore hari menjelang senja, Ethan datang dengan kuda kesayangannya. Dia memberikan kudanya pada pekerjanya lalu masuk ke rumah. Dia melihat kereta kuda milik bibinya dan segera masuk.
"Ethan.." panggil bibinya.
"Bibi Jane."
Ethan ingin memeluk Jane tapi Jane menghindar.
"Aku sudah mandi. Aku tidak ingin mandi untuk kedua kalinya. Kau bau keringat!"
Ethan tertawa. "Kalau begitu Ethan akan mandi."
"Baiklah. Kita makan malam bersama dan jangan lupa bawa gadis itu makan bersama."
Langkah Ethan terhenti. Gadis?
"Ayolah, bibi ingin bertemu dengannya dan berkenalan. Mungkin bibi mengenalinya dan bisa membantunya."
"Aku tidak yakin itu hal yang bijak, bi. Mengingat dia memiliki trauma terhadap--"
"Dia harus menghadapi traumanya cepat atau lambat, atau dia tidak pernah pulih."
"Itu benar tapi tidak semua orang bisa menghadapi trauma itu. Bisa dengan singkat, tahunan bahkan lebih lama. Kita tidak bisa menyamakannya bi."
"Bibi tidak mengerti medis ponakan. Bawa saja dia makan malam. Jika memang traumanya menjadi parah, kita kembalikan ke kamar." kata bibi Jane sambil berlalu. Ethan menghela nafas. Setelah kematian kedua orang tuanya, bibi Jane lah yang selalu mengurusnya, well tidak secara spesifik karena Esterlah yang selalu ada untuknya tapi dia tetap tidak bisa membantah bibinya.
...***...
Makan malam terasa canggung. Malvia menyanggupi makan undangan makan malam dari bibi Jane yang tentu mengejutkan Ethan. Yang lebih mengejutkan Ethan lagi adalah Malvia bisa memakan makanan manusia dengan baik dan lancar.
Bibi Jane tentu memperhatikan Malvia di setiap inci tubuh gadis itu. Dia tahu betul Malvia bukan gadis sembarang. Terlihat bagaimana sikap dan etika Malvia saat makan. Sangat berkelas dan elegan. Meskipun Malvia adalah vampir, Malvia tetaplah putri kerajaan. Dia sudah di ajarkan bagaimana bertutur kata, bersikap dan beretika dengan baik selayaknya putri kerajaan. Itu mengundang decak kagum dan senyuman penuh kekaguman dari seorang Jane Gardinar.
Kekaguman itu juga termasuk rasa penasaran yang cukup besar. Bibi Jane bertanya tentang semua hal pribadi dari Malvia. Dari nama, nama keluarga, tempat tinggal dan banyak hal. Tentu, Malvia bisa menjawab dengan baik meskipun harus berbohong.
Tapi tiba saat pembicaraan tentang vampir. Isu dan pembantaian vampir dan juga pemusnahan kaum vampir. Sekarang semua itu menjadi topik hangat di kota. Bahwa manusia sudah tidak perlu khawatir lagi untuk berjalan pada malam hari dan bebas melakukan apapun tanpa khawatir akan teror vampir.
"Mereka memang harus di binasakan kan? Maksudku, kita memang makanannya tapi bukan berarti itu harus membuat kita selalu dalam keadaan takut kan? Itu sungguh membuatku kesal. Merasa tidak aman di antara kaum sendiri. Jadi pantas saja mereka di binasakan!" ucap bibi Jane.
"Lagipula.." lanjutnya. "Bisa-bisanya raja mereka membiarkan dan memperbolehkan kaumnya membunuh, membantai semua orang. Untung saja mereka sudah mati."
"Bi..."
"Apa? Aku benar!"
Malvia meremas gaunnya dengan kuat. Dia menahan amarhnya yang mulai bergejolak. Ethan tahu itu, karena itu dia mencoba mengalihkan pembicaraannya. Malvia yang berasal dari keluarga kerajaan memiliki kemampuan untuk menyembunyikan mata merahnya. Tapi malam itu mata merahnya muncul dan wajahnya mulai mengalami perubahan. Api amarah mulai menjalar keseluruh tubuhnya. Dia terus mengatakan dirinya untuk tenang, tapi sepertinya dia tidak bisa. Tidak jika tentang keluarganya. Dia tidak ingin kehilangan kendali.
"Permisi." sahut Malvia lalu segera berlari keluar rumah. Dia sungguh tidak ingin lepas kendali. Tidak di depan pria yang telah menyelamatkannya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 15 Episodes
Comments