BAB 3
Setelah berhasil melompat ke balkon kamarku sendiri, sembari memegangi pinggangku yang terasa mau copot, aku menoleh ke arah rumah Dino, tapi di balkon kamarnya sudah tidak ada orang, hhuuuhhh ... teman macam apa dia?? Teman sedang kesusahan, dia malah hilang gitu aja, bukannya nolongin, aku begini juga karena permintaan dia. Dasar teman durhaka. Padahal tadi aku mendarat di baklkon kamarku dengan keadaan yang tidak aesthetic, bokongku mendarat duluan daripada kakiku, alhasil, kini aku merasakan sakit luar biasa di pinggangku, apa ini yang dikatakan Abah encok? Ck! Aku kan masih muda, masa iya udah kena serangan encok sih?.
Aku segera bergegas menuju ke lantai bawah, berjalan patah-patah, bibir meringis menahan nyeri, sementara tanganku yang sebelah lagi menjinjing sendal jepit yang tadi sempat mendarat di wajahku ini. Aku tersenyum menatap Ambu, perempuan yang sudah melahirkanku ini, tengah menyimpan bungkusan plastik di atas meja makan. Aku mencoba tersenyum semanis mungkin, sebagai bentuk rayuan agar Ambu tidak marah lagi, dan tidak jadi menghentikan uang jajanku.
“Biasa aja senyumnya Neng, gak usah di lebar-lebarin kayak gituh, kamu gak lagi iklan senyum pepsodent” Ambu memutar kedua bola matanya.
“O ya, pagi ini, Ambu gak masak, soalnya buru-buru mau kerumah Eyang kamu, tapi Ambu udah beliin bubur ayam buat kamu, jangan lupa di makan” ucap Ambu kemudian sambil menunjuk kantong kresek yang sudah di letakkannya, kemudian Ambu beranjak menuju dapur.
“Asssiiiiaaaappp” jawabku sambil menarik salah satu kursi makan, lalu duduk dan bersiap menyambar kresek yang katanya berisi bubur.
“Ya ampun!! Andiiinnn!!” teriakan Ambu kembali terdengar memekakan telinga, membuat aku yang akan menyendokkan bubur langsung terperanjat, dan spontan berdiri, hingga kakiku menendang kaki meja, aaawww ... sakit, sumpah! Apa ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga?.
Aku segera menuju ke arah dapur, seketika aku terbelalak dan langsung menepuk jidat, kala baru kusadari kesalahanku.
Aku menatap panci tempat menjereng air dengan tatapan nanar, airnya sudah raib entah kemana? Dan pancinya sudah berubah warna menjadi hitam legam, sementara wajah Ambu sudah memerah karena menahan amarah.
Tadi, sebelum Dino chat, Ambu memang sempat menitipkan air di kompor padaku karena Ibu mau membeli bubur ayam yang ada di ujung gang depan kompleks, aku lupa gaeeeessss, hhuuupppttt.
Aku yang melihat perubahan di wajah Ambu, segera menyadarinya, bau-baunya udah gak enak banget nih. Aku menelan ludah dengan susah payah. Siap-siap bakalan dapet ceramah gratis pagi ini. Aku jadi berpikir lagi gaeeesss, apakah ini yang dinamakan sudah jatuh, tertimpa tangga, di gigit Anjing pula.
Detik berikutnya, ceramahpun di mulai, aku hanya bisa pasrah mendengarkan, dari mulai aku sarapan, mandi, beres-beres, sampai aku mau berangkat sekolah ceramah masih di kumandangkan gaeeessss. Bahkan kesalahanku dari tahun kemarenpun tak luput dari bahasan ceramah kali ini, Ambu memang ahli sejarah, hebatnya beliau tak pernah lupa akan semua kesalahan yang aku buat, dari semenjak aku lahir, hingga detik ini, semua kesalahanku terus di putar, di ulang-ulang, hingga telingaku memerah karenanya.
Dan aku bisa jamin, kesalahanku kali ini, juga akan di putar ulang di hari esok, kala aku membuat kesalahan lainnya. Hhuuuhhh ...
“Kenapa wajahnya di tekuk??” tanya Siti, saat kami berjalan bersisian kala akan berangkat sekolah.
“Tadi, lupa matiin kompor, jadinya panci Ambu jadi gosong” ucapku sambil menghela napas, dengan wajah meringis, ngilu membayangkan Ambu yang tengah ceramah tadi.
Siti terbahak, dia menepuk pundakku pelan “Yang sabar yaaa ... aku yakin seribu persen, kejadian seperti ini, akan terus di ingat dan akan selalu di bahas oleh para Ibu di dunia”.
“Udah kebal aku kalau sama ceramah Ambu, Abah bilang, perempuan memang ahli sejarah, selalu ingat dengan semua kesalahan yang di lakukan orang lain, mungkin itu sebabnya kenapa perempuan banyak yang suka ghibah, ya meski gak seluruh perempuan begitu sih, hhee” aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.
“Kayak kita??” tanya Siti menatapku, lantas kami tertawa bersama.
Tawaku seketika lenyap, kala mendengar teriakan orang di belakang kami.
“Din! Tunggu!”
Aku menoleh kebelakang, terlihat Dino berlari mengejar kami, aku mengerucutkan bibir, masih sebal sama Dino, gak ada setia kawannya dia, udah tahu aku kesusahan turun sampai di lempar sendal jepit, dia malah hilang.
“Ciieeee ... Dino ngejar Andin ciiieee” Siti menyenggol lenganku.
“Apaan sih??” aku membalas menyenggol lengan siti.
“Ciiieee yang tiap hari gak bisa kalo gak ketemu ciieee” Siti malah sengaja mengencangkan suaranya dengan mata mengedip-ngedip aneh.
“Siti! Mau kamu aku mengeluarkan jurus meong congkok??” aku memelototkan mataku.
“Ciiieee Andin pacar Dino cciieee” ucapnya sambil membekap mulutnya.
Nah, begitulah resikonya punya sahabat cowok dari kecil, seringnya banyak orang yang salah faham melihat kedekatan kami. Seringnya mereka menyangka kalau kami itu pacaran, padahal enggak sama sekali, kami mutlak hanya sahabatan.
“Huh ... hhuuhh ... hhuuhhh ... kamu kok gak nungguin sih Din?? Aku jadi lari kan, aku gak bawa motor lho” ucap Dino dengan napas tersenggal setelah berhadapan denganku.
“Temen durhaka kamu No! Kamu gak nolongin aku” ketusku sambil kembali berjalan.
“Ya maaf, tadi aku di panggil Ibu tiba-tiba” pintanya merasa bersalah.
“Terus PR ku gimana Din??” Dino masih memelas, sambil mengacungkan buku pelajaran, yang tadi sudah siap di lempar ke arahku.
“Nanti aja aku kerjain di kelas, Matematika di kelasmu jam pelajaran ke dua kan?? Bukan pagi?” tanyaku menatapnya, sambil menyambar buku dari genggaman Dino.
“Iya, beneran ya??” Dino menatapku, dengan mata berbinar.
“Mie ayamnya jadi dua mangkok” ucapku sambil berlalu, berjalan mendahului mereka, karena tahu, di pelajaran bahasa inggris nanti, aku malah harus mengerjakan PR matematika Dino.
Dino, temen gak ada akhlak emang!.
“Deal!” teriakan Dino masih ku dengar, aku hanya tersenyum sambil berlalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments