BAB 1
“Andiiiiiiiinnnnn!!! Kamu ngapain ada di atas pohon?? Turun sayang! Nanti kamu jatuh kumaha??” terdengar teriakan khas dari Ambu, yang berada di bawahku, matanya melotot sempurna, sementara itu tangannya mengamangkan sapu lidi dengan kepalan erat.
“Andin mau ngambil Mangga Ambu” rajukku pada Ambu, aku menoleh ke bawah sesaat, kemudian kembali fokus pada buah mangga yang kini sudah semakin dekat dengan jangkauan tanganku.
Ambu itu perempuan baik, lembut, penyayang, penuh perhatian, Ambu itu adalah perempuan yang di limpahkan kesabaran berlipat oleh Allah. Namun kadang, Ambu juga suka bersikap galak gaeeesss. Suka ngomel pula, khas emak-emak. Tapi aku fikir, bisa jadi semua Ibu seperti demikian.
“Eeeehhh ... nanti Abah yang ngambilin mangga buat Andin, sekarang turun dulu yah, ayo atuh da geulis” Ambu mulai merayu, tapi bagaimanapun rayuan Ambu, tetap tidak akan manjur bagiku aku selalu teguh akan pendirianku.
“Andin!!! Ayo turun atuh Neng! Gak baik perempuan naik ke atas pohon, nanti kamu jatuh bagaimana??” nah, sekarang terdengar teriakan dari Abah.
Abah itu, sosok laki-laki yang bertanggung jawab, baik, tegas, tapi juga lembut, dan bijaksana, di tempat kami, Abah menjabat sebagai kepala desa, tentu saja sosok Abah sangat berpengaruh di lingkungan kami, mungkin itu pula, kenapa sebabnya aku selalu berani melakukan banyak hal, tanpa takut apapun, karena apapun yang ku lakukan, tetap akan di bela mati-matian oleh Abah.
“Andin mau mangga Abah” rajukku lagi,
“Iya, nanti kita suruh Mang Supri buat ngambilin mangga buat Andin!” teriaknya lagi, sembari menatapku dengan raut cemas.
“Semua ini gara-gara Ambu yang terlalu memanjakan anak ini, jadinya begini, dia semena-mena!” Abah menatap Ambu yang tengah memegang sapu lidi erat.
“Eeeehhh ... Abah ini bagaimana? Memangnya kalau Andin tidak di manja sama kita, mau sama siapa lagi?? Andin ini anak kita satu-satunya” bela Ambu sambil menyingsingkan lengan baju dasternya. Ambu memang begitu, jika di hadapan Abah, Ambu akan membelaku habis-habisan, tapi jika tidak ada Abah, Ambu akan mengomel juga jika kesalahanku sudah kelewat batas.
“Ehhh ... ya manjainnya jangan kebangetan atuh Ambu, lihat sendiri kan?? Bagaimana sekarang si Andin?? Sekarang dia itu jadi kayak jalu! Kayak lalaki! Hoby nya naik pohon, sama berantem sama anak laki-laki, Ambu lupa?? Kemarin si Farel tubuhnya babak belur gara-gara di gebukin si Andin??” papar Abah berapi-api, membuat Ambu semakin gerah, tidak terima.
“Pokoknya Ambu tidak terima! Abah ngejelek-jelekin si Andin!” ucap Ambu keukeuh,
“Aaahhh! Ya sudahlahlah, kumaha Ambu wae! Abah mah pusing! Abah mau berangkat dulu ke balai desa!” ucap Abah sambil berlalu, setelah sebelumnya sempat menyodorkan tangan pada Ambu, lalu Ambu mengecup punggung tangan Abah.
“Sayang, Neng, anaknya Ambu, turun yuk ... jangan di atas pohon terus, nanti Neng jatuh” ucap Ambu lagi, terus berusaha membujukku.
“Tapi janji, nanti suruh Mang Supri ambilin Mangganya!” teriakku masih di atas pohon mangga, yang tengah berbuah lebat, yang terletak di halaman rumahku.
“Iya, Ambu janji” ucap Ambu lembut,
Lalu perlahan, aku mulai turun dari atas pohon mangga, merangkak ke bawah, dan tak butuh waktu lama, aku pun sudah tiba di tanah.
“Sekarang Andin mandi dulu yaaa ...” ajak Ambu dengan lembut,
“Gak! Andin gak mau mandi! Andin mau maen aja!” teriakku sambil berlari, melepaskan rangkulan Ambu.
“Andin! Mau kemana??!!” teriak Ambu, yang masih sempat ku dengar, tapi aku tidak peduli, aku langsung ngacir menuju rumah seseorang, yang terletak tak jauh dari rumahku.
***
Namaku, Andin Andini, nama yang aneh bukan?? Sejujurnya aku tidak suka dengan nama itu, Andin Andini, kenapa namanya harus di ulang-ulang?? Hanya di tambah hurup I di ujung nama belakangnya. Di suku Sunda, memang kebanyakan nama seperti itu, seperti Edah jubaedah, Cecep purbacep, Iceu juice, Mimin mintarsih, Kokom komariah, sampai Awan Gunawan.
Saat ku tanyakan pada Abah, kenapa namaku seperti itu? Maka jawaban Abah sangat klise
“Makna nama yang di ulang itu, melambangkan siklus dan peningkatan dari sesuatu yang baik” begitu katanya, ah ... tapi aku tidak peduli, aku tetap saja tidak suka dengan nama-nama seperti itu.
Saat ini, usiaku menginjak kelas tiga SMA, menjadi anak tunggal dari pasangan dengan keadaan ekonomi menengah yang berada di tempatku, membuatku tumbuh menjadi anak yang agak manja, meskipun pada kenyataannya ribuan kali aku menghindari predikat itu, dengan cara lain.
Yakni dengan cara, tumbuh menjadi perempuan yang mandiri, kuat, dan tak terkalahkan.
Jika sebagian anak perempuan menyukai warna pink, pakai rok, dan berjalan lenggak-lenggok, maka tidak denganku, jika sebagian anak perempuan senang bermain boneka, maka mainanku waktu kecil adalah gundu, layangan, dan adu jotos dengan teman-teman laki-laki yang berada di kampungku. Aku hebat bukan??.
Dan prilakuku yang seperti itu, membuatku di takuti oleh sesama teman perempuanku, aku cenderung lebih dekat dengan anak laki-laki saja, lagi pula, aku rasa itu lebih baik bagiku, anak perempuan terlalu lembut dan cengeng, mereka hobi sekali menangis.
“Udin! Mau kemana??” terdengar suara yang suda tidak asing lagi di telingaku.
“Heh!?? Udin, Udin, Andin gituh!” teriakku tak terima,
Memang sih, karena sifatku yang cenderung seperti anak laki-laki, maka sebagian teman sekelasku lebih sering memanggilku Udin, nah ... kan, ini salah satu alasan kenapa aku tidak suka nama ANDIN.
“Ih ... si Udin lagi mens kayaknya, tambah galak wae” ujar Otong dan Asrul, sambil berjalan melewatiku yang tengah berkacak pinggang.
“Apa??!!” aku mengedikkan wajahku, hingga mereka lari tunggang langgang ketakutan.
“Din!” terdengar lagi teriakan itu, aku menoleh, lalu ku kembangkan senyum, kala melihatnya berjalan ke arahku.
“Apa No??” tanyaku pada sahabat laki-lakiku satu-satunya, yang masih setia dan tetap bertahan denganku apapun yang terjadi.
“Mau kemana??” tanyanya.
“Mau ke rumah kamu, maen yuk” ajakku tanpa ragu, sambil meraih pundaknya, berjalan menuju tempat pavorit kami, yang biasa sering kami kunjungi.
“Gila Din, kamu gak mandi berapa hari?? Asem bener??” tanyanya sambil mengendus-endus.
“Hah?? Ih ... kalau gak salah dua hari yang lalu terakhir aku mandi” jawabku sambil mengingat-ingat.
“Hah?? Ih ... jadi cewek kok gitu amat sih??” Dino bergidik ngeri, sambil berlalu mendahuluiku.
Namanya Dino Aldino, haha ... aneh lagi bukan?? Ah ... mau bagaimana lagi?? Itu memang sudah namanya sejak orok, Dino sahabatku satu-satunya yang bertahan hingga detik ini. Selain Siti, satu-satunya teman perempuanku yang terpaksa harus bertahan menjadi temanku, mungkin karena rumah kita berdekatan, makanya persahabatan kita bertiga masih langgeng hingga sekarang.
Rumah Siti berada tepat di depan rumahku, dan rumah Dino tepat berada di sampingnya. Dan pastinya kami juga sekolah di sekolah yang sama, hanya bedanya Dino jurusan IPS sedangkan aku dan Siti di jurusan IPA. Eits ... jangan salah, meskipun aku di cap badung, tapi di sekolah, aku tetap juara satu kok, tetep ada yang bisa di banggakan dari sosok Andin Andini, yang mungkin terlalu lekat dengan predikat nakal hingga membuat Abah dan Ambu sering kejang-kejang. Hahaha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments