Chapter 5

"Shanum itu asisten rumah tangga di rumah ini. Baru sore ini dia datang dari kampung."

"Di mana dia sekarang?" tanya Adnan.

"Mungkin sedang ganti baju di kamarnya. Tadi disiram air sama mas Hanan."

"Memangnya dia salah apa hingga mas Hanan semarah itu?"

"Menurut bibi, Shanum itu tidak salah kok. Justru dia bermaksud baik dengan memberi nasehat pada mas Hanan. Mas Hanan saja yang mudah naik darah."

"Aku jadi penasaran seperti apa gadis bernama Shanum itu," batin Hanan.

"Dia sebenarnya baik, Mas, hanya saja sedikit tegas."

"Apa dia masih anak-anak?"

"Kalau Shanum masih anak-anak mana mungkin dia mencari pekerjaan. Jika dilihat dari wajahnya sepertinya usianya baru sekitar delapan belas tahunan."

"Tapi aku senang kok. Berkat dia kamarku bersih dan rapi." Adnan terkekeh.

Dibandingkan dengan kedua kakak laki-lakinya, Adnan memang paling dekat dengan bi Sumi. Dia juga yang paling menurut ucapan atau nasehat dari perempuan yang pernah menjadi pengasuhnya saat ia kecil itu.

Tidak lama kemudian terdengar suara deru mobil dari arah halaman rumah. Rupanya sang tuan dan sang nyonya yang baru kembali dari luar kota.

"Bibi ke dapur dulu membuat minuman untuk tuan dan nyonya."

Bi Ami yang sudah lebih dari 25 tahun bekerja di rumah itu tentu saja sudah hafal di luar kepala apa saja hal-hal yang disukai ataupun yang tidak disukai oleh kedua majikannya itu termasuk minuman. Tuan Ardian ataupun istrinya nyonya Elina tidak menyukai minuman yang terlalu panas ataupun dingin. Saat tersaji di meja makan harus lah dalam keadaan hangat suam kuku.

"Baru pulang, Yah, Bu," tegur Adnan.

"Seharusnya siang tadi kami tiba di rumah, tapi masih meeting diundur beberapa jam."

"Silahkan minum nya, Tuan, Nyonya," ucap bi Sumi sembari meletakkan dua cangkir teh hangat di atas meja beserta camilan favorit sang nyonya yakni keripik pisang.

Nyonya Elina meraih salah satu cangkir lalu meneguknya.

"Kenapa aku merasa rumah ini lain dari biasanya ya? Rumah ini terlihat lebih bersih dan rapi, apa Bibi yang membersihkannya?"

"Oh ya, Nyonya. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumah ini sudah datang sore tadi. Dia lah yang membersihkan ruang tamu ini."

Nyonya Elina manggut-manggut.

"Saya suka dengan hasil pekerjaannya. Di mana dia sekarang?"

"Sebentar saya panggilkan."

Bi Sumi beranjak dari ruang tamu lalu menuju kamar Shanum yang berada tepat di sisi kamarnya.

"Tuan dan nyonya ingin bertemu denganmu," ucapnya.

"Baik, Bi."

Keduanya pun lantas berjalan beriringan menuju ruang tamu.

"Siapa namamu?" tanya sang nyonya, Elina.

"Nama saya Shanum, Nyonya."

"Pernah punya pengalaman kerja sebelumnya?" Tuan Ardian menimpali.

"Belum, Tuan. Rumah ini adalah tempat pertama saya bekerja."

"Dari mana kamu tahu jika di rumah ini sedang membutuhkan jasa asisten rumah tangga?"

"Dari pak Wira."

"Ya, saya dengar orang itu memang sering mencarikan tenaga asisten rumah tangga, pengasuh bayi, ataupun perawat lansia."

Nonya Elina mengedarkan pandangannya di ruangan itu.

"Hasil kerja kamu cukup baik. Oh ya, bi Sumi sudah memberitahu apa saja tugasmu di rumah ini 'bukan?"

"Ya, Nyonya."

"Upah yang akan kamu terima setiap bulannya adalah sebesar tiga juta rupiah bersih."

"Ti-ti-tiga juta, Nyonya?"

"Ya. Kenapa? Apa tawaran gaji dari saya kurang besar?"

"Ah, tidak, Nyonya. Insyaallah cukup."

"Makan malam sudah siap, Bi?" tanya tuan Ardian.

"Sudah, Tuan."

"Di mana kakak-kakakmu?" tanya nyonya Elina pada Adnan.

"Mungkin sudah tidur."

"Mana mungkin mereka tidur di jam segini?"

"Dari tadi mereka memang tidak keluar dari kamar. Mungkin mereka betah di kamar baru mereka."

"Kamar baru?"

"Kamar baru dibersihkan maksudku."

"Ehm … Hanum," panggil tuan Ardian.

"Shanum, Tuan," ralatnya.

"Besok pagi bersihkan lemari arsip di ruang kerja saya. Ingat, jangan membuang benda apapun," titah sang tuan.

"Baik, Tuan."

"Satu lagi, bersihkan gudang di bagian samping garasi. Saya lupa kapan terakhir kali gudang itu dibersihkan."

"Baik, Tuan."

"Kamu boleh melanjutkan pekerjaan kamu."

Shanum beranjak dari ruang makan lalu menuju ruang dapur. Ia lantas membersihkan perabotan rumah bekas memasak bi Sumi dan bekas makan ketiga kakak beradik itu.

"Mbak Shanum dari kampung mana?"

Shanum tersentak kaget saat Adnan tiba-tiba saja berdiri di ambang pintu.

"Ehm … anu … kampung Sukamakmur, Mas."

"Kampung itu menjadi salah satu tempat untuk pelaksanaan kuliah kerja nyata bagi mahasiswa di kampus saya."

"Begitu ya."

"Mbak Shanum punya saudara?"

"Jangan panggil saya mbak, sepertinya justru lebih tua Mas Hanan."

"Hanan itu kakak saya yang ke dua, nama saya Adnan."

"Maaf, Mas. Saya belum hafal. Nama kalian mirip soalnya."

"Nenek yang memberi nama pada kami. Nama boleh mirip, tapi tidak dengan wajah kami. Orang-orang bilang di antara kami bertiga aku lah yang paling mirip artis Korea."

"Masa sih."

"Kamu tahu grup band BST yang ternama itu? Orang-orang bilang aku mirip salah satunya."

"Maaf, aku nggak tahu."

"Ya sudah kalau nggak tahu. Kamu masih muda, kenapa tidak melanjutkan kuliah saja?"

Shanum tersenyum getir.

"Jangankan kuliah, tempat tinggal saja aku tidak punya."

"Loh, memangnya selama ini kamu tinggal di mana?"

Shanum membuang nafas.

"Kedua orangtuaku meninggal dunia saat aku masih sangat kecil. Setelah mereka tiada kakek lah yang mengasuhku hingga akhirnya beliau meninggal dunia belum lama ini. Aku diusir oleh paman dan bibiku yang ingin menjual rumah peninggalan mendiang ayah yang akan mereka gunakan untuk menambah modal usaha mereka," ungkapnya.

"Kejam sekali paman dan bibimu. Seharusnya mereka mengajakmu tinggal bersama, bukan malah mengusirmu," ujar Adnan.

Shanum mengulas senyum tipis.

"Insyaallah aku sudah ikhlas. Oh ya, Mas Hanan dan kamu kakak beradik, tapi kenapa sifat kalian jauh berbeda?"

"Mas Hanan sebenarnya baik kok, hanya mudah marah."

"Mas Adnan butuh sesuatu?"

"Ah, tidak. Aku hanya ingin minum yang dingin." Adnan membuka pintu kulkas lalu mengambil satu kaleng minuman soda dari dalam sana.

"Ya sudah, saya keluar dulu."

"Mas Adnan mau kemana malam-malam begini?"

"Biasa lah, anak muda."

"Memangnya tuan dan nyonya tidak melarang?"

"Mana pernah mereka melarang. Kami bebas melakukan apapun asalkan tidak membunuh ataupun membuat hamil anak orang," ucap Adnan sebelum ia meninggalkan dapur.

"Astaghfirullahaldzim, cara mendidik model apa ini?" Shanum mengelus dada.

Bersambung …

Terpopuler

Comments

Nur fadillah

Nur fadillah

cemungguuuut...Shanum...💪🏻💪🏻🔥🔥

2023-05-07

0

Jumadin Adin

Jumadin Adin

ya model modern ta shanum,cara pak ardian mendidik putra² nya

2023-02-20

0

Imma Dealova

Imma Dealova

napen kakak apa? aku mampir

2023-01-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!