Shanum bingung harus kemana. Selain Faisal dan istrinya, Dini, ia tak memiliki saudara lagi di kampung itu.
Tiba-tiba langkahnya terhenti saat ia melintasi TPQ yang selama ini menjadi tempatnya mengajar. Siang itu bertepatan dengan waktu anak-anak belajar mengaji.
Tentu saja anak-anak berwajah polos itu penasaran saat mendapati Shanum yang tengah menenteng tas miliknya.
"Mbak Shanum mau kemana?" tanya salah satu anak.
"Mulai hari ini mbak Nining yang akan menggantikan mbak Shanum mengajar di sini."
"Nggak mau. Kami mau mbak Shanum." Anak lainnya menimpali.
"Mbak Shanum minta maaf, mbak Shanum tidak bisa lagi tinggal di kampung ini."
Shanum tidak bisa lagi menahan tangis harunya saat anak-anak yang berusia 6-8 tahun itu tiba-tiba saja mendekap tubuhnya.
"Mbak Shanum jangan pergi. Hu … hu … hu." Tangis salah satu anak mulai pecah. Tidak lama berselang disusul tangis anak lainnya.
Suara tangisan anak-anak itu rupanya mengundang perhatian salah satu warga yang rumahnya tidak begitu jauh dari TPQ.
"Ada apa ini? Kenapa anak-anak ini menangis?" tanyanya.
"Mbak Shanum mau pergi. Hu … hu … hu …"
"Pergi? Memangnya kamu mau pergi kemana, Nak?"
"Saya-saya mendapat tawaran pekerjaan di kota."
"Kalau kamu pergi, siapa yang mengajar anak-anak ini mengaji?"
"Bapak jangan khawatir, Nining yang akan menggantikan saya."
"Sepertinya mereka sudah terlanjur sayang sama kamu. Tapi, bagaimana pun ini hak kamu untuk bekerja. Anak-anak, mbak Shanum ini pergi ke kota untuk bekerja. Dia pasti akan sering-sering datang ke kampung ini. Benar 'kan, Nak Shanum?"
"I-i-iya, Pak."
"Mbak Shanum bener ya, sering-sering ke sini," ucap salah satu anak.
Gadis itu menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.
"Mbak pamit dulu, nanti kalian yang nurut ya, sama mbak Nining. Assalamu'alaikum."
Shanum pun lantas meninggalkan tempat tersebut meskipun belum menentukan arah tujuan.
"Nak Shanum mau kemana?" tanya seseorang saat mendapatinya duduk di depan sebuah ruko kosong.
"Ehm … saya-saya mau ke kota, Bu," jawabnya setengah ragu.
"Mau kerja?" tanya wanita itu lagi.
Shanum menggelengkan kepalanya.
"Loh, mau ke kota kok belum tahu tujuan yang jelas. Banyak yang bilang ini kota itu lebih kejam dari ibu tiri. Yang datang dengan tujuan memperbaiki kehidupan saja belum tentu sesuai harapan, apalagi yang hanya bermodalkan nekad."
"Sebenarnya saya pergi meninggalkan kampung halaman saya karena terpaksa, Bu."
"Terpaksa?"
"Ya, Bu. Saya-saya diusir oleh pakdhe dan budhe saya dengan alasan ingin menjual rumah peninggalan mendiang ayah saya untuk membuka usaha baru," papar Shanum.
"Manusia serakah!" umpat wanita itu.
"Saya punya saudara yang tinggal di kota. Barangkali dia bisa membantumu mencari pekerjaan. Namanya pak Wira. Kamu ingat-ingat ya, alamat nya di jalan melati nomor 72. Kalau kamu naik bis dari terminal, turun di halte melati, lalu masuk gang kecil di sebelah kiri. Rumah saudara saya bercat warna ungu, ada pohon rambutan di halaman rumahnya," jelas si wanita yang kerap dipanggil bu Endang itu.
Entah mengapa Shanum tertarik untuk mencari di mana keberadaan alamat tersebut. Berhubung tak memiliki sesuatu untuk mencatat alamat itu, ia pun berusaha mengingat baik-baik setiap detail alamat yang tadi dijelaskan bu Endang.
"Terima kasih banyak untuk informasinya, Bu. Ini sangat membantu saya."
"Sama-sama, Nak. Sesama manusia harus saling membantu'bukan? Sesampainya di kota nanti sampaikan salam saya untuknya."
"Insyaallah, Bu. Ya sudah saya permisi dulu. Assalamu'alaikum."
Shanum mendatangi alamat rumah yang diberikan oleh salah satu tetangganya itu dengan menaiki bus.
"Halte melati! Persiapan" seru sang kondektur.
Shanum lekas beranjak dari bangku nya. Tidak lama ia pun dari dalam bus kota tersebut.
"Pak Wira, jalan Melati nomor 72 … eh … 27 atau 72 ya? Duh! Kok aku jadi bingung begini i," batinnya.
"Maaf, Bu. Apa Ibu bisa menunjukkan pada saya di mana alamat rumah pak Wira?" tanyanya pada seorang wanita yang berpapasan dengannya.
"Maaf, Mbak ini siapa?"
"Nama saya Shanum, Bu. Saya baru datang dari kampung."
"Lantas, apa tujuanmu mencari pak Wira?"
"Ehm … begini, Bu. Saya adalah tetangga dari bu Endang. Beliau yang memberi alamat pak Wira pada saya. Beliau bilang pak Wira bisa membantu saya mencari pekerjaan di kota."
"Oh, mbak Endang. Itu kakak ipar saya."
"Alhamdulillah, kita dipertemukan di sini tanpa saya harus mencari jauh-jauh."
Wanita yang sempat berprasangka buruk pada Shanum itu pun kini berubah ramah.
"Ayo, ke rumah saya. Memang suami saya sering mencarikan pekerjaan. Tapi itu semua tidak gratis."
"Maksud Ibu?"
"Zaman sekarang mana ada yang gratis. Buang air kecil saja bayar."
"Ehm … kalaupun harus membayar, saya tidak memiliki banyak uang. Uang ini pun susah payah saya kumpulkan dari iuran sukarela orangtua murid mengaji saya di kampung."
"Mumpung saya lagi baik hati, kamu bisa membayar berapa saja yang kamu punya."
Shanum lantas mengeluarkan lembaran-lembaran uang dari dalam tasnya lalu memberikannya pada bu Endang.
"Berapa jumlahnya?"
"Mungkin sekitar dua ratus ribu."
"Tak apa lah. Daripada tidak sama sekali."
Keduanya pun tiba di sebuah rumah. Seperti yang dikatakan bu Endang. Rumah saudaranya itu bercat ungu dan ada pohon rambutan di halaman rumahnya.
"Rumah kamu dekat dengan mbak Endang?" tanya pak Wira setelah istrinya memperkenalkan Shanum padanya.
"Lumayan jauh, Pak. Beda RT."
"Kamu yakin mau bekerja sebagai asisten rumah tangga?" tanya pak Wira lagi.
"Ya, Pak. Saya hanya tamatan SD. Selain menjadi Asisten rumah tangga, saya tidak tahu lagi mau mencari pekerjaan apa untuk bertahan hidup."
"Baiklah, saya paham." Pak Wira menulis sesuatu di secarik kertas. Ia lalu menyodorkannya pada Shanum.
"Ini adalah alamat rumah tempat kamu bekerja nanti. Maaf, saya tidak bisa mengantarmu karena sore ini saya dan istri saya harus menghadiri undangan pesta pernikahan. Rumahnya tidak sulit dicari kok. Letaknya di pinggir jalan. Cat nya berwarna ungu muda dan berlantai tiga," papar pria berbadan gempal itu.
"Baik, Pak. Terima kasih banyak atas bantuannya."
"Oh ya. Sepertinya kamu harus tahu hal ini. Rumah itu adalah milik pengusaha ternama, Ardian Permana dan istrinya Elina Permana. Mereka memiliki tiga anak laki-laki yang semuanya sedang kuliah. Dari cerita yang saya dengar tidak ada yang tahan bekerja di rumah itu karena sikap ketiga putera bapak Ardian yang nyaris semaunya sendiri."
Shanum membuang nafas. Dari cerita yang barusan didengar saja sudah membuat nyalinya menciut. Ia tidak yakin apakah bisa bekerja di rumah pak Ardian Permana dan menghadapi sikap ketiga puteranya.
"Bagaimana, Nak? Kamu siap?" tanya pak Wira.
Shanum menghela nafas.
"Insyaallah siap, Pak."
Bersambung …
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Soraya
lanjut
2023-02-24
0
Susi Andriani
oala ternyata calo
2023-02-23
0
Jumadin Adin
saya pikir kerjanta di pak wira,ternyata akan wira seorang calo
2023-02-20
1