Chapter 3

Shanum tiba di rumah mewah itu tepat pukul empat sore.

"Selamat sore. Maaf, Pak. Apa benar di sini kediaman bapak Ardian Permana?" tanyanya pada security yang berjaga di pos.

"Selamat sore. Benar, Mbak."

Pria bernama Hartono itu lalu mengamati penampilan Shanum dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Tanpa harus menjelaskan pun pria itu sudah tahu apa tujuan kedatangan Shanum di rumah ini.

"Kamu ingin bekerja di rumah ini?"

"I-i-iya, Pak."

"Mari saya antar ke dalam."

Pak Hartono pun lantas memasuki rumah itu sementara Shanum mengikuti di belakangnya.

"Assalamu'alaikum." Shanum mengucap salam saat melangkah memasuki ruang tamu."

"Waalaikumsalam," sahut seseorang dari dari dalam sana.

Tampak seorang wanita paruh baya tengah mendorong kursi roda yang dinaiki seorang wanita yang usianya mungkin sudah lebih dari enam puluh tahun.

"Nyonya besar … Bi Sumi. Gadis ini yang akan bekerja di rumah ini," jelas pak Hartono.

"Siapa namamu, Nak?" tanya wanita yang duduk di atas kursi roda.

"Shanum."

"Ini nyonya Arimbi, dan saya sendiri bi Sumi. Kamu datang dari mana?"

"Saya datang dari kampung. Saya tahu alamat rumah ini dari pak Wira."

"Bi, antar saya ke kamar, lalu kamu ajari dia apa saja tugasnya di rumah ini," titah wanita yang dipanggil nyonya besar itu.

"Baik, Nyonya. Tunggu sebentar ya, Nak Shanum. Saya antar nyonya besar dulu ke kamarnya."

"Baik, Bi."

"Shanum mengedarkan pandangannya di ruangan yang cukup luas itu. Heran. Bukankah biasanya di ruang tamu keluarga kaya mereka akan memasang foto keluarga berukuran besar? Tapi tidak dengan keluarga ini. Yang dipajang di dinding ruangan itu justru foto bunga lotus berukuran raksasa.

"Mari saya ajak berkeliling rumah ini," ucap bi Sumi setelah ia kembali ke ruang tamu.

"Tugasmu di sini adalah mengerjakan semua pekerjaan rumah kecuali memasak."

"Kenapa aku tidak boleh memasak, Bi?"

"Entahlah, itu permintaan nyonya Elina. Memasak adalah tugas saya selain merawat nyonya Arimbi."

Langkah mbok Sumi berhenti di depan sebuah kamar.

"Ini kamar tuan muda Adnan," ucapnya seraya memutar gagang pintu.

Mata Shanum membulat. Ruangan yang tampak di hadapannya saat ini benar-benar tidak pantas disebut kamar tidur. Bagaimana tidak? Tempat tidur yang harusnya berisi bantal dan selimut saja, namun tidak dengan yang dilihatnya. Pakaian dari dalam lemari sepertinya sudah berpindah ke sana. Tidak hanya itu. Buku, piring bekas makan, bahkan sampah plastik bertebaran di mana-mana.

"Astaghfirullahaldzim," gumamnya.

"Saya tidak pernah punya waktu untuk membereskan kamar ini. Belum lagi dengan dua kamar lainnya di lantai dua dan tiga," ucap bi Sumi.

"Apa, Bi? Dua kamar lainnya?"

"Oh ya. Di sini kan ada tiga anak laki-laki yang semuanya sedang kuliah. Yang di lsntai dasar ini kamar mas Adnan, di lantai dua kamar mas Hanan, dan di lantai tiga kamar mas Raihan," papar bi Sumi.

"Apa mereka bertiga kembar, Bi?"

"Tidak, Nak. Mas Raihan anak sulung, yang tengah mas Hanan, lalu yang bungsu mas Adnan. Usia mereka masing-masing beda dua tahun. Mas Raihan 24 tahun, mas Hanan 22 tahun, dan mas Adnan 20 tahun."

"Usia mereka bahkan sudah bisa dibilang dewasa. Kenapa merapikan kamar sendiri saja tidak bisa. Hufht!" Shanum mendengus kesal.

Bi Sumi mengulas senyum tipis.

"Waktu mereka kecil dulu, sebenarnya mereka anak yang rajin. Saya juga yang mengajari mereka membereskan tempat tidur. Tapi semenjak nyonya Arimbi mengalami lumpuh 15 tahun silam, saya jadi agak kerepotan mengurus mereka. Mungkin itulah yang menjadi sebab mereka semaunya sendiri sampai sekarang."

"Tuan Ardian dan nyonya Elina 'kan orang berada. Apa mereka tidak membayar orang untuk membantu Bibi bekerja di rumah ini sekaligus mengasuh mereka?

"Bukannya tuan dan nyonya acuh. Mereka memang sibuk dengan pekerjaan akan tetapi mereka juga sudah berkali-kali mencari orang untuk bekerja membantu saya di sini. Tapi, tidak ada yang bisa bertahan lebih dari sebulan. Alasan mereka adalah tidak tahan dengan tingkah polah ketiga tuan muda. Waktu itu saya masih ingat sekali saat seorang wanita bekerja di rumah ini. Dia pamit berhenti bekerja sambil menangis. Saat saya tanya alasannya, dia bilang tersinggung dan sakit hati saat mas Adnan bilang pakaiannya tidak dicuci bersih. Pakaian yang baru saja disetrika itu lalu diinjak-injak padahal sepatu mas Adnan kotor habis hujan-hujanan," ungkap bi Sumi.

"Aku jadi penasaran dengan wajah mereka," batin Shanum.

"Bi … Bi Sumi. Buatkan saya susu hangat!" seru nyonya Arimbi dari dalam kamarnya.

"Baik, Nyonya.!" Oh ya, setelah merapikan kamar tiga tuan muda, kamu cuci pakaian di belakang. Lalu setrika pakaian yang ada di ruang setrika," ucap bi Sumi.

"Ya, Bi."

"Saya buatin susu dulu untuk bayi besar itu," bisik bi Sumi. Ia lantas terkekeh.

Dari penjelasan bi Sumi, pekerjaan Shanum di rumah ini pasti berat. Namun, ia bertekad harus bertahan apapun yang terjadi. Bahkan dia akan membuat ketiga tuan muda yang semaunya sendiri itu berubah.

Bersambung …

Terpopuler

Comments

Jumadin Adin

Jumadin Adin

jadi penasaran dg cowok² putra pak ardian

2023-02-20

1

Friasta

Friasta

Semangat, Shanum ❤

2023-01-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!