Dinda dan Bima sholat subuh bersama, dengan Bima yang menjadi Imam dan Dinda yang menjadi makmum. Mereka sholat subuh tepat waktu, setelah suara adzan subuh berkumandang, mereka duduk di atas sajadah menunggu adzan selesai bergema, begitu adzan sudah berhenti di kumandangkan, mereka membaca doa sesudah adzan, lalu setelah itu mereka baru mengerjakan sholat berjamaah. Mereka menggelar sajadah di sisi tempat tidur.
Dinda dan Bima memang merupakan pasangan muda yang begitu taat agama, bagus ilmu agamanya, hingga mereka tidak terlalu ingin di pandang wah dan berharta hidup di dunia, mereka menjalani hari-hari dengan apa adanya dengan begitu sederhana. Karena pada dasarnya, dunia hanya bersifat sementara dan akhirat selamanya. Mereka lebih memilih untuk tidak mempedulikan omongan orang-orang yang menganggap mereka miskin harta, tak mengapa bagi mereka. Asalkan mereka tidak miskin iman dan ilmu agama.
***
''Mas, aku pamit ke rumah Mama dulu, ya.'' Dinda berkata dengan begitu lembut kepada sang suami. Penampilan nya sudah rapi dengan gamis dan jilbab yang menutupi kepalanya, jilbab dengan lebar sebatas perut. Bunga masih pulas di atas tempat tidur, sengaja Dinda dan Bima tidak membangunkan Bunga, karena takutnya Bunga merengek ingin ikut mama nya ke rumah sang nenek.
''Kamu hati-hati, ya, Dek.'' Bima mengelus pucuk kepala sang istri yang tertutup jilbab.
''Iya, Mas.'' Jawab Dinda seraya mengangguk kecil. Dinda sudah makan sedikit nasi, karena ia perlu banyak tenaga untuk bekerja nantinya saat sudah tiba di rumah sang mama. Ia juga telah selesai menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan anaknya.
''Nanti, kalau kamu sudah merasa capek, istirahat saja sebentar. Jangan terlalu di paksa tubuh mu, Dek. Nanti kamu sakit,'' Bima berpesan dengan sungguh-sungguh. Karena biasanya kalau sudah bantu-bantu di rumah mamanya, Dinda suka lupa waktu.
''Iya, Mas. Aku berangkat, ya.'' Dinda mengambil tangan Bima, lalu ia mencium nya dengan penuh cinta. Bima pun balas mengecup kening sang istri. Sebelum berangkat, Dinda mencium pipi chubby Bunga sekilas, karena mungkin nantinya ia akan pulang ke rumah pada sore hari. Dan sudah pasti ia merasa rindu dengan Bunga karena seharian tidak bertemu.
Dinda berjalan kaki melewati jalan setapak, dengan senter menyala berada di tangannya, sebagai alat penerang karena di luar masih gelap, remang-remang. Rumah warga juga masih pada tutup. Udara pagi terasa begitu sejuk dan dingin, tapi Dinda sangat menikmati perjalanan nya itu. Hitung-hitung olah raga pagi. Pikirnya.
Setelah berjalan kaki cukup jauh, akhirnya Dinda tiba di tempat tujuan. Akhirnya dia tiba di rumah tempat dirinya dilahirkan dan di besarkan. Dinda tersenyum simpul melihat bangunan di depannya, karena sudah selama sebulan lebih dia tidak menginjakkan kaki nya di rumah itu. Entahlah, semenjak kematian sang papa, Dinda sudah tidak bersemangat lagi untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Karena bila dia berkunjung ke rumah orang tuanya, sang mama selalu membahas tentang kemiskinan nya, selalu merendahkan Bima yang hanya bekerja sebagai penjual ketoprak dan selalu membanding-bandingkan dirinya dengan sang kakak yang telah sukses.
Dinda mengucap salam dan mengetuk daun pintu dengan pelan. Lampu teras masih menyala, seperti nya orang-orang yang berada di dalam rumah masih tidur, karena sudah beberapa kali Dinda mengucap salam tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.
''Assalamu'allaikum, Ma ...,'' kali ini Dinda sedikit berteriak. Tidak lama setelah itu, terdengar langkah kaki mendekati pintu, dan pintu di buka dari dalam, kini Dinda bisa melihat sang mama yang berdiri dengan rambut sedikit berantakan dan menguap lebar di depannya. Sang Mama masih memakai piyama tidur.
''Mama baru bangun?'' tanya Dinda lembut.
''Iya, Dinda. Mama capek banget karena tadi malam Mama dan Naira habis shopping shoping. Kami berbelanja untuk keperluan acara lamaran Naira.'' Jawab sang mama seraya meregangkan otot-otot nya.
''Oh. Mama tidak sholat?'' tanya Dinda hati-hati.
''Nanti Mama akan sholat. Masuklah. Kamu harus mulai bekerja, di dalam kerjaan numpuk menunggu diri mu.'' Sahut sang mama merenggut.
''Iya, Ma.'' Dinda berjalan di belakang sang mama, memasuki rumah.
"Itu, ayam nya belum di cuci, kamu cuci dan ungkep ayam nya, ya.'' Tunjuk sang mama ke arah kulkas begitu mereka sudah tiba di dapur.
''Iya, Ma.'' Dinda mengangguk kecil.
''Ya sudah kalau begitu Mama mau tidur lagi, cepek banget soalnya.'' Sang Mama berjalan meninggalkan dapur.
''Sholat dulu, Ma. Nanti keburu terang cahaya di luar.'' Dinda berucap dengan nada sedikit tinggi. Sebagai seorang anak, sudah sepantasnya ia memperingati sang mama yang sedikit abai akan kewajiban, karena papa nya sudah meninggal, dan karena sang mama yang sudah berumur. Dinda sungguh takut mamanya tersesat lebih dalam dengan meninggalkan sholat sebagai kewajiban.
''Dasar, sok banget sih kamu! Terserah Mama lah, mau sholat mau tidak itu urusan Mama.'' Sanggah sang mama dengan wajah tak bersahabat.
Naira yang berada di kamar merasa terganggu mendengar suara ribut di luar, ia menutup telinga nya dengan bantal, agar tidurnya tidak terganggu.
''Astagfirullah ...,'' Dinda mengelus dadanya, dadanya yang terasa sesak mendengar bantahan sang mama.
Setelah itu Dinda mulai mengerjakan pekerjaan satu persatu, selama ini kalau lagi ada syukuran dan acara di rumah sang mama, dialah yang menjadi juru masak dan lain-lainnya. Masakan Dinda begitu lezat, pas di lidah. Dia begitu pandai dalam meracik bumbu dan mengolah masakan. Hingga dengan melihat bahan-bahan yang ada di dapur saja ia tahu harus masak apa hari ini.
Tapi sayangnya, selama acara berlangsung, tempat Dinda hanya di dapur dan di belakang, tugasnya hanya memasak, mencuci piring dan pekerjaan lainnya. Dia tidak diizinkan untuk bergabung bersama saudaranya. Kadang-kadang saudara-saudara nya memakai pakaian couple yang begitu bagus, yang di beli langsung oleh mama nya. Dinda tak pernah kebagian untuk itu, ia merasa dirinya diasingkan di keluarga nya sendiri.
Dulu saat masih ada sang papa, papa nya akan selalu menjadi pembela nya, papa nya akan selalu menganggap nya ada. Tapi saat ini, tidak ada lagi anggota keluarga nya yang benar-benar peduli terhadap nya. Lagi-lagi keadaan ekonomi lah yang menjadi tolak ukur. Siapa yang punya banyak uang dan harta, maka mereka lah yang berhak di hormati dan di hargai. Miris memang. Padahal sebenarnya keluarga kecil Dinda tidak miskin miskin amat, kalau di hitung-hitung uang tabungan mereka, mungkin sudah bisa merenovasi rumah dan membangun sebuah ruko. Tapi dirinya dan Bima masih perlu menambah tabungan mereka agar suatu hari nanti mereka bisa langsung membangun ruko yang berukuran besar.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Yuliana Tunru
yg sabar dinda ..kehidupan mmg pawang surut asal saling dukung dan terima.semua akan indah pd waktux dan sangat bahagia saat kita bisa berhasil dgn tetesan keringat sendiri bkn bantuan dari orang tua..lanjut thor
2023-01-07
2