'Plak' sebuah tamparan keras mendarat di pipi Alden.
Alden tentu saja emosi. Tapi dia harus sadar dengan posisinya sekarang. Saat ini dia sedang menghadap orang tua Valen, Bramantyo dan Ester. Ester sejak tadi hanya menangis sambil memeluk Valen, sedangkan Bram langsung tersulut emosi begitu Alden mengatakan bahwa Valen hamil karenanya.
Bram tidak pernah membayangkan nasib sial ini akan menimpa keluarganya. Putri yang begitu dia bangga-banggakan sekarang malah berkata bahwa dirinya hamil.
"Saya akan bertanggung jawab padanya, meskipun anda tidak setuju." jawab Alden dengan tegas.
"Valen, kamu benar-benar.." Bram membalikkan badannya, dia mengangkat Valen supaya berdiri. "Kenapa kamu kecewakan Dad seperti ini?"
"Dad.." ucap Valen begitu sedih. Dia sadar jika dia salah kali ini, jadi Valen tidak bisa berkata apapun untuk membela dirinya.
"Jawab!" Bram membentak Valen. Ester mencoba menengahi Bram supaya Bram tidak melampaui batasnya dan malah menampar Valen seperti dia menampar Alden.
Valen hanya mampu menangis lagi.
"Om, saya mohon, ijinkan saya untuk menikah dengan Valen." Alden memegang tangan Bram, tapi Bram langsung menepisnya.
"Kamu itu hanya anak angkat keluarga Sebastian. Jangan pikir, saya tidak tahu kalau kamu itu anak yang tidak diinginkan. Dan ibu mu hanya seorang pembantu." ucap Bram emosi.
Alden mengepalkan tangannya. Dia tidak terima jika seseorang mengungkit masa lalu keluarganya dan terutama menghina ibunya yang kini sudah meninggal.
"Om, ini persoalan aku dengan Valen. Kenapa anda malah membawa latar belakang saya?" ucap Alden dengan suara bergetar. Bram sungguh keterlaluan. Alden sudah bermaksud baik untuk menikahi Valen, tapi dia malah mendapatkan perlakuan seperti ini.
"Jelas saja. Saya tidak ingin anak saya hidup susah karena kamu." Bram menekankan kata-katanya.
"Dad.." Valen memegang tangan Bram supaya dia tidak melanjutkan kata-kata yang menyakitkan itu. Dia tau jika Alden begitu kesal karena wajahnya kini sudah memerah.
"Jadi, om akan biarkan dia punya anak tanpa suami?" tanya Alden menantang Bram. Dia sebenarnya bisa saja seperti pria lainnya yang kabur setelah tau jika kekasih mereka hamil. Tapi, Alden tidak mau seperti itu. Dia benar-benar jatuh cinta pada Valen dan ingin menjalani masalah ini bersama. Tapi, jika Valen menolak, maka dia tidak akan bisa berbuat apapun.
Bram hanya diam tidak menjawab Alden. Pikirannya saat ini sangat kalut. Dia ingin menjodohkan Valen dengan anak kenalannya yang lain, tapi mana ada yang mau menerima Valen yang sedang hamil itu?
"Sekarang, tinggal keputusan mu Val. Aku tidak akan meminta 2 kali, apakah kamu mau ikut dengan ku?" Alden mengulurkan tangannya dan berharap Valen menyambutnya.
Valen berdiri dengan pandangan bingung. Dia tidak memandang Bram dan Ester dan hanya memandang Alden. Betul kata Bram, Valen tidak yakin jika Alden bisa menghidupinya dan juga anaknya. Bukannya menghina, tapi Valen sudah bisa menebak reaksi keluarga Alden jika mereka membuat pengakuan seperti ini.
"Val,," Alden masih mengulurkan tangannya yang mulai pegal.
Valen menggenggam tangan Alden dengan ragu. Alden tersenyum. Dia langsung mengunci tangan Valen dengan jari-jarinya.
"Ayo, kita bentuk keluarga kecil kita sendiri." ucap Alden dengan penuh keyakinan.
"Valen, begitu keluar dari pintu itu, kamu harus meninggalkan semua fasilitas di sini, termasuk klinik milik mu. Itu semua modal dari Dad." ucap Bram yang masih tidak percaya jika anaknya ikut bersama dengan Alden. Bram berharap, dengan ancaman seperti itu, Valen pasti akan berpikir ulang untuk pergi dengan Alden.
Valen menahan tangan Alden. Dia kembali ragu dengan pilihannya. Jika Valen tidak bisa ke klinik kecantikan miliknya, maka dia akan bekerja apa?
"Val, aku akan bertanggung jawab penuh, aku janji." Alden tau isi pikiran Valen. Dia mencoba untuk membujuk Valen supaya mau ikut dengannya.
"Valenciaaa!" teriak Bram saat melihat Valen benar-benar pergi dengan Alden.
*
*
*
Alden sudah menghadapi orang tua Valen. Sekarang, Valen tampak begitu sedih. Dia menangis sesenggukan di pelukan Alden.
"Sayang, kita harus buktikan pada Dad jika kita bisa bahagia walaupun hidup sederhana." hibur Alden. Jujur hatinya sangat sakit melihat wanita yang begitu dia cintai menangis seperti ini.
"Den, tapi, bagaimana dengan Dad mu?" ucap Valen di tengah isaknya.
"Tidak apa-apa, jangan khawatir." "Berhenti lah menangis. Dokter bilang kamu tidak boleh stress.. nanti akan berpengaruh pada anak kita."
Ucapan Alden kali ini membuat Valen mulai berhenti menangis. Alden benar. Tadi mereka sudah memeriksakan kandungan di rumah sakit. Usia kandungan Valen baru memasuki 8 minggu. Dan itu sangat rentan.
Valen melepaskan pelukannya setelah lebih tenang. Alden mengusap air mata Valen yang tersisa dengan tangan kirinya. Dia lalu menggenggam tangan Valen sembari melajukan mobilnya. Kini, Alden harus bertemu dengan Benjamin Sebastian dan Lidia, alias kedua orang tuanya. Alden harus segera menyelesaikan ini semua, meskipun dia yakin, Ben akan sangat marah besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments