"Selamat siang, Tuan Muda. Ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang lelaki, setelah dia berlari begitu cepat menghampiri Alva di depan perusahaan.
"Tidak ada. Saya ingin bertemu dengan CEO," jawab Alva, berjalan lurus menuju lift. "Apa Presdir ada di perusahaan hari ini?" tanya, melanjutkan.
"Benar, Tuan Muda. Saya kira Anda datang untuk mengunjungi beliau. Karena biasanya begitu. Tapi ternyata Anda ingin bertemu dengan Pak CEO," ucap lelaki bernama Harto itu, terus mengikuti langkah Alva di belakangnya.
"Nanti saya akan mampir sebentar. Sekarang saya akan bertemu CEO dulu. Kalian tidak perlu mengantar, kembalilah bekerja," pinta Alva, tampak tegas dan berwibawa.
Harto pun menghentikan langkahnya di depan pintu bersama dengan para karyawan lainnya, membiarkan Alva masuk seorang diri ke dalam lift tersebut.
"Saya akan menunggu Anda di kantor Presdir, Tuan Muda," ucap Harto, setengah menundukkan kepalanya, memberi hormat pada penerus keempat perusahaan TA.
Pintu lift tertutup. Harto dan beberapa karyawan langsung menghela napas lega begitu Alva tak terlihat di mata mereka.
"Saya baru sadar jika rumor tentang Tuan Muda memang benar. Beliau seperti Nyonya Aina. Sangat tegas dan tidak pandai basa-basi," ucap seorang pegawai lelaki, sambil menyeka keringat dingin di pelipisnya.
"Tapi tetap saja, beliau memang setampan Pak CEO Fauzan. Ahh ... saya jadi ingin menjadi sekretarisnya kalau beliau sudah menyandang jabatan resmi di dalam perusahaan. Sikap buruk itu, tetap bisa di maafkan karena wajahnya!" seru pegawai wanita, salting.
Harto dan beberapa pegawai memutar bola matanya malas, meninggalkan tempat itu dengan segera dan melanjutkan pekerjaan mereka sesuai arahan Alva.
***
Alva berjalan keluar dari lift, berjalan lurus melewati lorong panjang yang membuat beberapa pegawai menoleh pada lelaki muda itu dengan tatapan beragam.
"Itu Tuan Muda!" pekik Kepala Manager Pemasaran, segera berlari mendekat pada Alva yang melewati ruang divisinya.
"Tuan, Apa yang membawa Anda kemari?" tanya lelaki itu, mengikuti langkah Alva menuju ruangan CEO mereka.
"Tidak ada. Kembalilah bekerja, saya akan menemui CEO dan pukang setelahnya," jelas Alva, tanpa menoleh pada lawan bicaranya.
Lelaki itu langsung mundur, meninggalkan Alva yang tampak marah dengan patuh, tanpa banyak bicara.
Klek!
Alva masuk ke dalam ruang sekretaris CEO, menatap Fauzan dan Keisha tengah bertengkar hebat di hadapannya.
Wanita bernama Keisha itu menggenggam sebuah benda yang membuat Ayahnya marah besar padanya.
Tanpa mendengar penjelasan keduanya, Alva langsung tahu plot twis yang terjadi, sampai membuat Ibunya menangis.
Tak banyak bicara, Alva langsung berjalan lurus ke arah Keisha, menarik wanita itu keluar dari ruang CEO dengan kasar.
Fauzan membulatkan matanya dengan sempurna, menatap sikap kasar putranya yang tak pernah dia lihat selama 17 tahun hidup bersama.
Apa seperti itu perawakan Alva saat marah? Fauzan tidak pernah tahu, karena dia selalu diam dan menuruti kedua orang tuanya, layaknya seorang anak berbakti.
"Tuan Muda, apa yang Anda lakukan pada saya!" teriak Keisha, meronta, mencoba melepaskan tangan Alva dari pergelangan tangannya. "Tangan saya sakit!" rontanya, sekuat tenaga.
Alva mendorongnya keluar ruangan CEO, membuat interaksi keduanya mendapatkan perhatian banyak orang.
"Apa yang Anda lakukan pada–"
"Pelacur!" sergah Alva, lantang dan penuh penekanan.
Keisha membulatkan matanya, menatap beberapa orang yang mulai bergunjing sambil melihatnya dengan tatapan tidak sedap.
"Alva, kenapa kamu bersikap kasar pada Keisha? Ayah yang marah pun tidak bertindak kasar padanya!" marah Fauzan, menarik tangan Alva, agar putranya mundur dari Keisha.
"Begitu?" Alva menatap lantang sang ayah, tak ada ketakutan di dalam kedua manik matanya, hanya ada amarah yang mendominasi.
"Karena Ayah tidak melihat Mama menangis, mangkanya Ayah tidak bisa marah dengan benar! Tapi Alva yang melihat, benar-benar ingin menggunduli wanita ini!" teriak Alva, jengkel.
Fauzan diam, memandang putranya dengan tatapan terkejut. Dia gelisah dan gugup saat mendengar istrinya menangis karenanya.
"Mama kamu menangis?" tanya Fauzan, tak percaya.
"Apa wajah Alva yang marah seperti ini masih bisa membuat Ayah bertanya tentang kebenaran ucapan Alva?!" geram Alva, mendesis marah. "Hati Mama terluka, dan kalian hanya bertengkar?"
Alva menatap Keisha yang masih tersungkur dengan tatapan membunuh. "Pecat wanita ini! Jika tidak, Alva akan mengatakannya pada Presdir tentang masalah ini, biar kalian berdua di tendang keluar dari perusahaan!"
Greb, plak ....
Seorang wanita datang, menarik tangan Alva dan menampar pipinya dengan kuat, sambil berlinang air mata.
"Alva!" teriak Aina, menatap putarnya marah. "Siapa yang mengajarimu kurang ajar pada Ayahmu?!" lantangnya, geram.
Alva menatap sang Ibu yang menangis karenanya, langsung menunduk dalam sambil menggenggam kedua tangannya erat.
"Ma-maaf, Ma. Alva–"
"Tidak ada alasan! Pulang sekarang!" lantang Aina, menyeret putranya keluar dari perusahaan itu, tanpa memperhatikan orang-orang yang menatapnya.
Alva menoleh, menatap Keisha dengan tatapan horor. "Lihat saja nanti. Aku buat perhitungan denganmu, Keisha!" gumamnya.
Glek ....
Keisha menelan ludahnya kasar. "Mampus, mati aku!" pekiknya, dalam hati.
***
"Mama," panggil Alva, tak membuat wanita berusia 32 tahun itu menoleh padanya.
Aina hanya diam di dalam mobil, memandang keluar jendela tanpa mengatakan apa pun padanya.
Sementara Nuri juga diam dengan memandang sang Ibu, dengan tatapan sedih.
Sejak melihat Aina masuk ke dalam mobil dengan wajah yang sembab, putri bungsunya itu tak mengatakan apa pun dan hanya diam memandangnya dari belakang.
"Mama kenapa, Kak?" tanya Nuri, pada Alva, yang duduk di sampingnya dan terus memandang ke arah Ibunya.
"Tidak ada, Nuri. Jangan khawatir, semua baik-baik saja," ucap Alva, memeluk adik perempuannya dengan lembut dan menepuk-nepuk pundaknya pelan.
Nuri pun diam, tak mengatakan apa pun dan terus diam di dalam pelukan Alva, sampai mobil mereka sampai di rumah.
"Mama masuk dulu," ucap Aina, segera turun dari mobil dan meninggalkan mobil begitu saja.
Alva pun tak bisa berbuat apa pun. Dia hanya diam dengan kepala menunduk dalam, merasa bersalah karena sudah membuat sang Ibu menangis di depan banyak orang.
Alva turun dari mobil dengan menggendong Nuri yang tertidur di pelukannya. Membawa adik perempuannya ke dalam kamar dan menidurkannya dengan nyaman.
"Mbok, besok malam akan ada tamu yang datang. Tolong di persiapkan, ya!" ucap Aina, berbicara pada pembantu perempuan mereka.
Mbok Yanti menganggukkan kepalannya pelan. "Baik, Nyonya. Ada yang datang nggeh, besok?" tanyanya, penasaran.
"Iya. Besok ada tamu penting yang datang. Usahakan masak menu yang mewah ya, Mbok," seru Aina, sambil tersenyum lembut, seperti biasa.
"Baik, Nyonya. Kalau begitu saya izin pergi ke pasar untuk beli bahan makanannya, nggeh?!" ucap Mbok Yanti, bersemangat.
Aina hanya mengangguk dan membiarkan wanita berusia 40 tahun itu berlalu pergi.
Alva berjalan turun dari lantai dua sambil menatap ke arah sang ibu dengan tatapan lurus.
Aina menunggunya, menunggu Alva sampai di depannya dan membiarkan putra sulungnya mengatakan apa yang menjanggal di hatinya.
"Mama mau mengundang wanita itu datang ke rumah?" tanya Alva, dengan nada selembut mungkin. Karena dia takut membuat Ibunya menangis kembali.
Aina memandang Alva dengan tatapan sendu. Membuat hati sang anak tercabik-cabik saat melihatnya.
"Iya, sayang. Besok Keisha akan datang ke rumah." Aina menatap raut wajah Alva yang mengeras. "Tolong bersikap baik padanya, besok. Mama minta tolong sama kamu," lanjutnya, dengan suara kalem.
Alva terdiam, tak menjawab apa pun atas permintaan itu. Dia hanya berlalu pergi dengan ekspresi marah, meninggalkan sang Ibu seorang diri di lantai satu.
"Kamu belum menjawab Mama, Alva!" seru Aina, membuat Alva menghentikan langkahnya di tengah-tengah tangga.
"Iya, Alva mengerti. Alva usahkan, Ma. Senggaknya Alva gak ngerusuh dan buat Mama malu seperti tadi," jawab Alva, sambil berjalan pergi, masuk ke dalam kamarnya.
Klap ....
Aina menghela napas panjang. Dia tampak lelah menghadapi masalah ini.
Hatinya terasa berat, tapi dia berusaha menahan tangis dan amarahnya sebaik mungkin.
Setidaknya, jangan sampai kedua anaknya tahu jika dia menderita karena kehadiran Keisha.
"Mau aku buatkan minum?" tanya seorang lelaki berusia 37 tahun, keluar dari kamarnya dengan tatapan sendu.
Aina mengulas senyum lembut, menyambut kedatangan kakak iparnya dengan tatapan sedih.
"Tidak usah, Kak. Terima kasih. Kakak pulang untuk ambil baju, kan? Mau Aina bantu siapkan?" tanya Aina, menatap Fadil yang beranjak duduk di sofa sebelahnya.
"Enggak perlu. Sudah beres semua. Kamu kenapa? Fauzan berbuat buruk lagi? Biar aku marahi kalau dia bertindak tidak–"
"Fauzan punya selingkuhan, Kak."
"Apa?!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
martina melati
permisi thor...
usia bu aina 32th, anakny alva 17th berarti menikah usia brp y???
2024-10-18
0