Zean melirik ke arah, Nyonyanya, Aina, yang tampak menahan tangis di belakang sana.
"Maaf, Bu. Ini ada tisu," ucap lelaki berusia 26 tahun itu, memberikan kotak tisu yang belum di buka pada Aina.
Aina menerimanya dan menyeka air mata yang menggenang di pelupuk matanya dengan cepat.
"Maaf, Mas Zean. Kamu jadi lihat saya seperti ini. Terima kasih tisunya," ucap Aina, pada sopir sekaligus bodyguard pribadinya itu.
Zean hanya tersenyum dan tidak berbicara. Dia kembali fokus menyetir mobil, pergi ke sekolah Nuri, anak kedua dari pasangan Tuannya.
"Sepertinya ada kecelakaan di depan sana, Bu," ucap Zean, melihat padatnya lalu lintas di depan sana.
Aina mencelinguk ke samping, menatap ke depan dari jendela bagiannya. "Sepertinya begitu. Ada jalan pintas, kan? Kita bisa lewat sana."
"Baik, Bu."
Zean segera membelokkan arah mobilnya ke kiri, memasuki sebuah gang yang cukup sempit.
Tak lama kemudian, mobil mereka sampai di depan sekolah Nuri. Aina pun lekas keluar dari dalam mobil, berjalan ke depan gerbang sekolah anak bungsunya.
"Loh? Mama?" celetuk seorang lelaki berusia 17 tahun, membuat Aina menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung.
"Kakak? Kok kamu di sini? Sudah pulang?" tanya Aina, menatap anak sulungnya yang juga menunggu di depan sekolah dengan mobilnya.
"Iya, Ma. Alva pulang duluan hari ini," jelas Alva, menatap Ibunya dengan tatapan lekat, menelisik rona merah di bawah mata dan ujung hidung wanita itu. "Mama menangis?" tanyanya, to the point.
Aina terkejut, dia segera mengambil bedak di dalam tasnya, membenarkan make upnya, menutupi rona merah itu dengan terburu-buru.
Alva diam, terus menatap kelakar Ibunya dengan saksama. Dia tak mengatakan apa pun dan tidak bertanya tentang alasan Ibunya menangis.
Melihat bagaimana reaksi wanita itu saat ingin menutupi kesedihannya, Alva sebagai seorang anak yang menghormati orang tuanya, akhirnya tak bertanya apa pun padanya.
"Bekal Ayah sudah di antar?" tanya Alva, membuat Aina mengangguk pelan dan menepuk-nepuk pundak putranya dengan lembut.
"Kamu sudah makan siang?" tanya Aina, seperti biasa. Kalem dan ramah, plus murah senyum.
"Sudah, Ma. Hemm ... karena Mama sudah di sini, Alva mau balik duluan ya? Ada PR yang mau Alva kerjakan di rumah. Banyak nih," ucap lelaki berusia 17 tahun itu, beralasan.
Aina mengangguk dan membiarkan putranya pergi setelah menyalami dia. "Hati-hati, ya."
"Iya, Ma. Dah ...."
Alva pergi, masuk ke dalam mobilnya dan menatap Pak Yanto, sopirnya, orang yang biasanya mengantar jemput dia ataupun Nuri ke sekolah.
"Kita pulang, Kak?" tanya Pak Yanto, akrab.
"Tidak, Pak. Tolong ke perusahaan Ayah. Ada yang mau Alva lihat di sana," ucap Alva, tampak asing.
Terutama sorot matanya yang tajam dan menusuk itu, membuat Pak Yanto bergidik ngeri. Karena Alva tak akan menunjukkan sorot mata mengerikan seperti itu, kecuali dia benar-benar marah pada seseorang.
"Ada masalah, kah? Kenapa Anda mencari Pak Fauzan di kantornya? Anda tidak pernah mengganggu Pak Fauzan kalau beliau sedang bekerja, sebelumnya," tanya Pak Yanto, sedikit penasaran dengan alasan Alva.
Alva tak langsung menjawab, dia memandang keluar jendela dengan tatapan kesal dan penuh amarah. Seakan berusaha menenangkan dirinya, sejenak. Agar dia tak melampiaskan amarahnya pada orang lain.
"Kayaknya Ayah habis buat Mama menangis. Saya mau ketemu Ayah untuk bertanya alasannya." Alva melirik tajam Pak Yanto. "Saya harus memastikan, apa alasan Ayah masuk akal untuk membuat Mama menangis!" geramnya, marah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments