Bab 4

Bab 4

“Parah emang si Burhan! Ngasih hukuman sampai anak orang pingsan gitu.” Pandu membagikan minuman di meja sambil berkomentar.

“PAK Burhan, Pandu. Kualat lu sama orang tua,” celetuk Alan.

“Eleh, sama aja lah, Lan. Tetep parah dia mah,” Pandu menanggapi Alan. “Minum, Bang.” Kali ini dia menyorongkan teh botol kepada Bangun.

“Thanks,” respons Bangun datar.

“Anak tadi gak apa-apa kan, Bang?” tanya Joye.

“Anjir gak enak banget ya, gue udah kek abang lu aja, panggil “bang, bang”,” ucap Bangun.

“Ya mana gue tau, lah. Pas gue tinggal di UKS masih pingsan. Tapi langsung ditangani yang jaga UKS di sana sih,” lanjutnya lagi.

“Tapi tetep aja Pak Burhan parah deh,” ucapnya dengan memberikan penekanan dan menghadap Alan saat mengucapkannya.

“Keknya tadi sengaja deh, diberatin gara-gara ada gue sama Bangun ikutan terlambat,” kata Joye.

“Gue rasa gue gak punya masalah deh sama orang itu. Dia sensi sama lu kali, bro. Kenapa, sih?” lanjutnya Joye.

Bangun hanya mengangkat bahunya tak acuh, lalu menyeruput teh botol sampai ludes. Kemudian, dia beranjak ke konter kopi dan menekan tombol double americano dingin, lalu membayarnya di kasir. Begitu kembali ke meja, wajah Bangun mendadak marah.

“MATIIN!” perintahnya kepada Pandu.

“Santai, sih, santai, “ jawab Pandu sedikit gelagapan, tapi dia tetap menyalakan rokoknya. Dia bahkan menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menembuskannya tepat ke arah wajah Bangun. Bangun pun menatap tajam terhadap Joye, menahan napas dan bergeming.

“Gue kirain lu berubah, Bro,” celetuk Joye yang berhasil membuat Bangun memalingkan tatapan tajamnya dari Pandu.

Bukan berita baru kalau Bangun, yang notabene dikenal sebagai siswa berandalan di sekolahnya itu, membenci rokok. Pandu dan Joye berulang kali memancing agar Bangun bisa luluh sedikit dengan mereka berdua. Kalau setidaknya dia tidak merokok, ya biarlah yang lain menikmati kesenangan mereka sendiri.

“Gue tetep gak suka kalau kalian nyebat dekat gue. Apalagi buang asap di muka gue. Lu pikir muka gue cerobong asap! Kalau mau merokok, pindah meja! Atau kalau kalian tetep mau nyebat di sini, oke gue yang ngalah, pindah meja!”

Bangun mengambil ponselnya dan berniat pindah ke meja lain, tetapi lengannya keburu ditahan oleh Joye.

“Sabar, Bro. Pan, Matiin!” kata Joye.

Alan pun menyenggol lengan Pandu. Setelah beberapa detik, akhirnya Pandu mengalah dengan memadamkan ujung rokoknya di asbak.

“Inget ya! Aturan kita dulu tetap sama. Gak ada yang berubah. Apalagi soal rokok merokok. Ngerti?” ucap Bangun dengan pandangannya menatap satu per satu teman-teman yang ada dihadapannya.

“Kemarin rokoknya!” pinta Bangun.

Meski enggan, Pandu menyerahkan bungkus rokoknya kepada Bangun. Pandu pura-pura masa bodoh, dan mengunyah permen karet yang diambil dari saku celananya untuk menghilangkan bau rokok di napasnya.

“Mana punya lu?” Bangun mengalihkan pandangannya ke arah Joye.

“Gue gak punya, Bro..,” kata Joye.

“Tadi gue liat lu hampir keluarin dari saku celana lu, dan lu masukin lagi. Mana?” pintanya lagi.

Joye memang menyimpan satu bungkus di saku celana sebelah kirinya. Kalau Alan, yang paling lurus dan baik di antara mereka berempat, menggeleng dan menepuk sakunya agar memperjelas bahwa tidak terbesit di pikirannya untuk merokok. Pandangan Bangun pun menyelidik ke arah Alan tidak berakhir dengan mudah.

“Gue beneran gak punya, Bro. Beneran! Suwer!” aku Alan.

Bangun terdiam cukup lama, lalu menarik sudut bibirnya. Dia meletakkan dua bungkus rokok di hadapannya sementara menyandarkan punggung di dinding dan satu kakinya terangkat ke meja. Kemudian, tanpa menghiraukan lagi yang lainnya, dia fokus dengan permainan Mobile legend di ponselnya.

Seolah kejadian tadi tidak ada, mereka pun kembali mengobrol apapun. Dari tentang Pak Burhan lagi, lalu Mila, menggosip Nita gebetannya Alan, beralih ke taruhan sepak bola. Pembicaraan remeh nan random yang seperti biasanya.

Namun, bagi Bangun, ada hal baru. Perkara terjatuhnya karena tabrakan dengan siswi aneh di koridor. Hanya saja, itu disimpan untuk diri sendiri, ia tidak mau menceritakannya kepada teman-temannya ini.

Tiba-tiba saja Bangun mendengar suara familiar berteriak ke arah mereka.

“Akhirnya ketemu juga tempat persembunyian kalian! Saya sudah curiga dari dulu kalau mereka akan kabur ke sini!”

Empat siswa itu kaget bukan kepalang, meskipun terbiasa bolos. Kalau ketahuan tentu gelagapan juga. Bangun buru-buru menurunkan kakinya dan dia melihat ke arah teman-temannya yang menundukkan kepala.

“Berdiri kalian! Baris!” teriak Pak Burhan.

Mereka pun lantas berdiri, meja yang membatasi kubu guru versus kubu murid tersebut. Alan yang postur tubuhnya yang paling pendek di antara mereka berempat, memasukkan ujung bawah seragam putihnya yang tadi dikeluarkan. Pandu dan Joye menunduk semakin dala seolah sudah menyiapkan diri untuk diceramahi. Sementara Bangun tetap menatap tegak, bahkan metanya berserobok dengan Pak Bahrun, Bu Aina selaku guru BK, dan Bu Riri pengajar Matematika yang kelasnya mereka tinggalkan.

Pramuniaga kafe mulai siaga, seakan siap untuk mengambil tindakan kalau keributan terjadi.

“Saya tidak mengerti. Kamu maunya apa sih, Bangun Adighuna? Surat peringatan buat orangtua kamu kurang?!” ucap Bu Aini.

Bangun hanya diam dan bergeming.

“Sering terlambat, sering keluar kelas tanpa pemberitahuan. Bikin huru-hara. Kalau saya enggak memandang bapak kamu dan Surya kakak kamu, sudah dari dulu saya rekomendasikan kamu untuk dikeluarkan dari sekolah ini!” kata Pak Burhan menambahkan.

Ucapan gurunya itu langsung mengenai sasaran. Begitu nama Surya keluar, jantung Bangun tiba-tiba berpacu dengan cepat. Dia semakin menengadahkan kepala, merasa perlu menunjukkan keberatan dan ketidaksukaannya terhadap nama itu.

Perlu ditegaskan beberapa hal di sini. Pertama, dia sangat benci dengan Surya, kakaknya. Kedua, dia tidak suka dibanding-bandingkan dengan Surya. Ketiga, dia tidak perlu alasan lain untuk menyatakan perang dengan sang kakak selain dua alasan tadi.

Sorot matanya semakin menajam, seolah berkata, “Saya gak suka bapak banding-bandingan dengan kakak saya seperti itu!” Namun, Bangun masih dapat menahan dirinya. Apalagi dia sedang tidak mau mencari perkara selagi ayahnya berada di rumah.

“Lihat itu meja di hadapan Bangun Adighuna, Pak!” Bu Aini mengalihkan atensinya.

Mata ketiga guru tersebut tertuju pada benda yang tepat berada di hadapan Bangun.

Bungkus rokok!

Pandu dan Joye saling menyikut. Alan yang terlihat komat-kamit sambil tertunduk, sementara Bangun hanya melirik sebentar ke arah bungkus rokok yang teronggok di atas meja itu lalu kembali menunjukkan wajah datarnya ke depan. Anak-anak SMA Tunas Jaya tahu, ketahuan merokok saat mengenakan seragam sekolah adalah sebuah pelanggaran besar dan mendapatkan hukuman yang berat pula. Pak Burhan pun mengambil dua bungkus rokok itu dan menggiring ke empat siswanya ke ruang Bimbingan Konseling.

...****************...

Tinggalkan jejak yaw...

Kalo rame lanjut part selanjutnya...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!